Showing posts with label Susanto A. Yamin. Show all posts
Showing posts with label Susanto A. Yamin. Show all posts


Oleh : Susanto Al-Yamin*
*Susanto Al-Yamin adalah Muballigh Muda Asal Kubu Babussalam.                    Belum lama ini, saya menyaksikan training motivasi yang disampaikan oleh motivator nasional di salah satu pesantren di Pekanbaru. Sang motivator itu menyampaikan materi dengan gaya bahasa dan intonasi yang sangat menarik dan menggugah. Di sela-sela penyampaian materinya, beberapa kali terdengar gemuruh tawa dan tepuk tangan dari para peserta yang terdiri dari santri dan guru pesantren.

       Walaupun acaranya berlangsung sampai larut malam, nampaknya para peserta benar-benar menikmati acara tersebut. Di penghujung acara, sang motivator mengajak para peserta bermuhasabah.


JAKARTA, Susanto al-Yamin kembali menorehkan prestasinya di tingkat nasional. Kali ini ia berhasil meraih posisi terbaik 2 dalam seleksi Pemuda Pelopor Nasional 2014 bidang pendidikan yang ditaja oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia.

Prestasi ini diraihnya setelah berhasil melewati beberapa tahap seleksi yang ketat. Mulai dari seleksi tingkat Provinsi, Seleksi Tim Fact Finding Nasional, hingga seleksi akhir di Jakarta pada tanggal 20-22 Oktober 2014 lalu.

Kepeloporan Susanto bergerak dalam bidang pendidikan. Salah satu kepeloporannya adalah Pondok M2IQ Riau. Melalui program Pondok M2IQ, Susanto aktif memberikan pelatihan menulis gratis kepada generasi muda, memberikan pembinaan keagamaan bagi masyarakat pedesaan, dan training motivasi kepada anak-anak di beberapa desa. Selain itu, Susanto juga aktif sebagai Muballigh sejak masih berstatus pelajar.
“Alhamdulillah saya bersyukur atas prestasi ini, dan mengucapkan terima kasih kepada Dispora Riau, guru-guru saya, pengurus dan binaan Pondok M2IQ Riau, sahabat-sahabat seperjuangan, dan seluruh masyarakat Riau. Mudah-mudahan prestasi ini menjadi motivasi bagi pemuda lainnya”, demikian ujar da’i muda asal Kubu Babussalam ini.

Menurut Alimuddin, salah seorang tenaga pengajar di UIN Suska Riau, Kepeloporan Susanto terlihat dengan nyata pada pendirian Pondok M2IQ Riau. Dengan keterbatasan dana yang ada, tetapi dengan tekad dan keikhlasan, Susanto tetap melaksanakan sejumlah kegiatan. “Susanto juga memiliki kemampuan untuk mempresentasikan, menyampaikan gagasannya dengan baik. Artinya, Susanto selain “tajam” penanya, juga “fasih” lidahnya, demikian tambah Hakim M2IQ Provinsi Riau ini.

Atas prestasinya itu, Susanto akan menerima penghargaan yang akan diserahkan pada acara puncak Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-86 di Yogyakarta (Humas).

Oleh : Susanto Al-Yamin*
*Penulis adalah Pimpinan Pondok M2IQ Riau.

      “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah”, demikian firman Allah Swt dalam surat al-Kautsar/108: 1-2. Salah satu pesan penting dalam ayat ini adalah tentang perintah berkurban. Dalam kajian fikih, kurban merupakan ritual keagamaan dengan menyembelih hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu dan pada waktu tertentu, yaitu sejak 10 sampai 13 Dzulhijjah dalam rangka mendakatkan diri kepada Allah Swt.

     
      Jika dikaji lebih lanjut, ibadah kurban memiliki dua dimensi makna yang bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, ibadah kurban merupakan upaya pendekatan diri paling puncak antara seorang hamba dengan sang khaliq, Allah Swt. Ibadah kurban dalam makna vertikal tecermin pada keikhlasan shahibul Kurban (orang yang berqurban) dalam menyembelih hewan Kurban tanpa mengharap imbalan apa pun, kecuali ridho Allah Swt.
     
      Keikhlasan ini tidak cukup hanya bermodal niat tetapi juga realisasi dalam bentuk hewan kurban yang diharuskan tidak boleh cacat. Artinya, keikhlasan dalam berkurban di sini tidak karena mengikhlaskan barang yang sudah tiada manfaat baginya tetapi mengikhlaskan harta yang sebenarnya masih dicintainya (QS Ali Imran/3: 92). Hal ini dilakukan karena kecintaan kepada Tuhan lebih besar melebihi dunia seisinya.
     
      Dalam catatan sejarah, Qabil dan Habil, kedua putara nabi Adam, telah mempersembahkan kurban kepada Allah Swt (QS. Al-Maidah/5: 27). Konon, Habil mempersembahkan domba terbaik yang dimilikinya, sedangkan Qabil mempersembahkan tumbuh-tumbuhan yang tidak sempurna. Sehingga, kurban Habil diterima oleh Allah Swt, sedangkan kurban Qabil ditolak. Hal ini dikarenakan kerena kurban yang dipersembahkan Qabil tidak sempurna dan tidak ikhlas.
     
      Nabi Ibrahim juga telah memberikan teladan kepada kita dalam berkurban. Ia rela menyembelih putra tercintanya demi memenuhi panggilan Allah Swt. Sehingga, karena keikhlasan dan ketaatan nabi Ibrahim, Allah Swt menebus sang anak, Ismail Alaihissalam, dengan domba yang besar (QS. Al-Shaffat/37: 102-103), dan kemudian Allah Swt mengangkat derajat mereka menjadi hamba yang mulia.
     
      Ibadah Kurban di samping memiliki makna vertikal untuk menjadikan seseorang shaleh secara ritual juga memiliki makna horizontal yang diharapkan mampu menjdikan seseorang shaleh secara sosial. Artinya, berkurban selain sebagai wujud ketundukan diri kepada Sang Pencipta (keshalehan ritual) juga ditindaklanjuti dengan peningkatan solidaritas sosial (keshalehan sosial) para pelaku kurban. Perintah kurban bukan sekadar amal tanpa implikasi sosial yang jelas, melainkan sungguh suatu upaya menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Karena kurban menuntut manusia untuk dapat memetik nilai-nilai luhur kepedulian terhadap sesama dan merealisasikannya dalam kehidupan nyata.
     
      Kurban mengajarkan manusia untuk rela berkorban dan saling berbagi. Jangan sampai sifat-sifat buruk seperti pelit, kikir, tamak, dan serakah terus menjadi sifat dalam berkehidupan sosial. Sifat-sifat tersebut harus diganti dengan sifat-sifat rela berkorban, seperti; membantu fakir miskin, korban bencana, menyantuni anak yatim, dan sebagainya. Sifat-sifat rela berkorban untuk kelangsungan hidup bersama menjadi bagian penting dari pendidikan ibadah kurban.
     
      Sejatinya ibadah kurban adalah perintah Allah Swt untuk berkorban di jalan-Nya dengan menyembelih sifat egois,  mementingkan diri sendiri, rakus dan  serakah, kemudian dibarengi dengan kecintaan kepada Allah Swt yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas dan kerja-kerja sosial. Ibadah kurban mengajarkan kita untuk menolak segala bentuk egoisme dan keserakahan. Karena kedua sifat itu hanya akan merampas hak dan kepentingan kaum dhuafa (lemah) dan mustadh'afin (dilemahkan). Di sisi lain ibadah kurban dapat menjadi solusi terhadap berbagai bentuk ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang masih mewarnai negeri ini.
     
      Perintah berkurban bagi mereka yang diberi kelebihan rizki dan membagikan dagingnya untuk kaum miskin, mengandung pesan untuk berkorban harta, jiwa dan raga. Semangat menyembelih hewan kurban yang dagingnya dibagikan kepada kaum fuqara dan masakin (fakir dan miskin), jelas dimaksudkan agar terjadi solidaritas dan tolong-menolong antar anggota masyarakat. Yang kaya menolong yang miskin dan begitu juga sebaliknya. Sikap solidaritas ini diharapkan akan mengurangi kesenjangan sosial dan kondusif bagi pemberdayaan masyarakat.
     
      Dalam konteks kekinian, substansi kurban dapat direalisasikan dengan memberikan bantuan kepada kaum fakir dan miskin, anak yatim, anak jalanan, umat Islam yang sedang dijajah di Palestina dan umat Islam lainnya yang masih tertindas, para korban bencana seperti korban banjir, gempa bumi dan korban bencana alam lainnya. Memberikan sumbangan dalam bentuk apa pun, sesuai dengan kemampuan masing-masing, akan sangat besar manfaatnya.
     
      Selain itu, umat Islam dituntut untuk mengorbankan sebagian hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Karena tak sedikit dari mereka yang tidak memiliki tempat tinggal layak huni. Kemiskinan dan penindasan telah memaksa mereka untuk tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit, serta harus meminta-minta demi sesuap nasi. Untuk itu, perlu pengorbanan dari para aghniya’ (orang kaya) terhadap mereka yang membutuhkan. Karena dalam harta orang kaya itu ada hak kaum yang membutuhkan (QS Az-Zariat/51: 19, lihat juga QS al-Ma’arij/70: 24-24).
     
      Nah, di sinilah substansi Kurban mesti diterapkan. Jangan sampai dalam agama Islam, terdapat ajaran berkurban dan diikuti banyak kaum Muslimin namun mereka tidak bisa memetik makna di dalamnya. Jika pada hari raya Idul Adha, banyak umat Islam yang rela berkurban, namun setelah Idul Adha berakhir, mereka seolah menutup mata atas persoalan sosial umat Islam.
     
      Karena itu, jika ibadah kurban pada hari raya Idul Adha adalah sarana tarbiyah (pendidikan) dan latihan berkurban, maka pemberian bantuan kepada fakir miskin, korban bencana dan orang-orang yang membutuhkan adalah hasil dari tarbiyah dan latihan tersebut. Kurban adalah salah satu suri teladan sikap rela berkorban dalam kehidupan nyata. Dalam berkurban, seorang Muslim yang mempunyai kekayaan disunahkan mengikhlaskan sebagian hartanya, dimanfaatkan untuk saudaranya yang membutuhkan. Hanya saja, bentuknya ditentukan sebagaimana dalam syarat dan rukun kurban. Dalam kehidupan nyata, seorang yang kaya semestinya menyedekahkan sebagian harta untuk kelangsungan hidup saudaranya yang membutuhkan.
     
      Meskipun ibadah kurban hanya ada sekali dalam setahun, namun semangat berkurban tersebut seharusnya tidak  hanya lahir ketika Idul Qurban saja. Semangat berkurban harus terus-menerus hidup dalam diri kita walau di luar Idul Qurban. Semangat berkorban yang merupakan substansi ibadah kurban itu tidak harus berbentuk penyembelihan hewan. Ia dapat berupa apa saja yang bisa mendorong terwujudnya masyarakat yang sejahtera.
     
      Semoga dengan pelaksanaan ibadah kurban tahun ini, akan muncul semangat berkorban di masyarakat, apalagi pemerintah. Semangat berkorban ini sangat penting artinya dalam membangun masa depan bangsa dan negara ke arah yang lebih maju, lebih baik dan lebih sejahtera. Pemaknaan seperti inilah yang akan menemukan relevansinya dengan kondisi bangsa kita yang sedang didera banyak derita, bencana dan krisis di berbagai sektor. Semoga ibadah kurban kita semua menjadi ibadah yang hakiki baik dalam konteks ritual maupun sosial. Wallahu A’lam.
     
Sumber : Riau Pos
Oleh : Susanto Al-Yamin
* Penulis adalah Guru Aqidah dan Tafsir Hadits di Al-Ihsan Boarding School (IBS), Riau.

      Pekan ini, helat akbar Ujian Nasional tingkat SMP sederajat kembali digelar oleh Pemerintah. Pelaksanaan helat akbar tahunan ini hampir tidak pernah sepi dari masalah hingga menuai kontroversi. Banyak hal yang dipersoalkan terkait pelaksanaan Ujian Nasional ini. Mulai dari substansinya sebagai salah satu faktor penentu kelulusan peserta didik, isu kebocoran soal, penyebaran kunci jawaban, kecurangan dan lain sebagainya.
     
      Sebenarnya, Ujian Nasional dengan berbagai macam namanya, mulai dari Evaluasi Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), Ujian Akhir Nasional (UAN), dan sekarang Ujian Nasional (UN), sudah sejak lama dilaksanakan. Ujian Nasional telah dijadikan sebagai alat ukur yang digunakan oleh pemerintah untuk menilai keberhasilan proses belajar mengajar secara nasional.
     
      Sejak dijadikan sebagai penentu kelulusan, Ujian Nasional benar-benar menjadi momok yang menakutkan. Bagaimana tidak, keberhasilan pendidikan yang telah ditempuh selama tiga tahun, hanya ditentukan oleh Ujian Nasional yang hanya dilaksanakan beberapa hari saja. Ketakutan dan kekhawatiran itu, tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi kepala sekolah, kepala dinas, hingga kepala daerah. Hal ini terjadi karena keberhasilan UN yang dilihat dari tingkat kelulusan peserta didik di suatu sekolah atau daerah akan berpengaruh dalam meningkatkan gengsi sekolah atau daerah tersebut. Disadari atau tidak, kondisi ini secara otomatis telah menjadi faktor penting yang pendorong munculnya berbagai tindak kecurangan dan ketidakjujuran dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Mulai dari nyontek berjamaah, guru dan kepala sekolah yang menyebarkan kunci jawaban, jual beli kunci jawaban, dan sebagainya.
     
      Kejujuran sepertinya telah menjadi barang langka dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Lihat saja misalnya, kasus contek massal yang pernah terungkap. Kisah dramatis Alif dan ibunya. Alif dan ibunya diusir dari kampungnya karena tidak setuju dengan kecurangan itu. Untuk menyukseskan praktik mencontek itu, wali kelas Alif sempat melakukan simulasi, sehingga masing-masing siswa sudah tahu perannya masing-masing dalam aksi contek massal tersebut.
     
      Itu hanya sekelumit kisah kebohongan yang pernah terungkap. Mungkin masih banyak kebohongan lain yang terjadi dalam pelaksanaan Ujian Nasional di negeri ini. Inilah potret pendidikan kita. Masih jauh dari nilai-nilai kejujuran. Hal ini telah merusak wajah dunia pendidikan di negeri ini. Pendidikan yang seyogyanya berfungsi sebagai institusi yang berperan dalam membangun generasi bangsa secara fisik dan mental, sepertinya telah gagal. Sayangnya, kegagalan ini justru terjadi karena ulah dari para pelaku pendidikan itu sendiri. Jika hasil Ujian Nasional diperoleh dari perbuatan yang tidak jujur, maka bagaimana mungkin bisa digunakan sebagai alat ukur kualitas pendidikan negeri ini.
     
      Kita memang boleh berbangga dengan perolehan nilai akademik anak negeri ini. Kita juga boleh berbangga dengan banyaknya sekolah yang mampu meluluskan siswanya seratus persen. Tapi, pernahkah kita bertanya, sudahkah anak negeri ini dan para gurunya telah lulus ujian kejujuran? Bukankah kejujuran salah satu karakter terpuji yang akan kita tanamkan kepada anak didik kita? Bukankah mencetak generasi yang jujur merupakan salah satu cita-cita luhur pendidikan kita?
     
      Ya, kejujuran merupakan sifat terpuji yang akan melahirkan kebaikan-kebaikan lainnya. Namun sebaliknya, kebohongan merupakan sumber kejahatan. Kejujuran merupakan mutiara yang senantiasa memancarkan cahaya kebenaran di setiap ruang dan waktu. Setiap orang yang menghiasi dirinya dengan kejujuran pasti akan terlihat indah dan menawan.
     
      Ketika mutiara kejujuran telah tertanam dalam diri seseorang, maka ia akan memancarkan cahaya kebaikan. Karena kejujuran merupakan sumber segala kebaikan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah Saw "Hendaklah kamu berlaku jujur, kerena sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan membawa ke surga. Dan seseorang yang bersifat jujur dan menjaqa kejujuran, maka ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur… (Shahih Muslim, Bab Qabhu al-Kadzib wa Husnu al-Sidq wa Fadlh, hadits no. 4721).
     
      Namun sayang, kejujuran seakan menjadi barang langka untuk ditemui. Sebaliknya, kebohongan terjadi di mana-mana, mulai dari lembaga pendidikan sampai pada lembaga pemerintahan. Kebohongan telah dijadikan benteng pembelaan diri dari kesalahan dan kekurangan.
     
      Tatkala kejujuran telah hilang dan sulit ditemukan lagi, maka kebenaran akan semakin sulit dirasakan. Padahal, pada saat seseorang menyembunyikan kebenaran dengan memunculkan kepalsuan yang dibalut dengan rekayasa dan tipu daya, pada waktu bersamaan mereka telah membohongi hatinya. Sebab, kebenaran tak bisa ditutupi dari hati setiap manusia.
      Oleh karena itu, bangsa ini memerlukan sistim pendidikan yang mendorong penyelenggara pendidikan dan peserta didiknya untuk berlaku jujur. Sebenarnya, sejauh ini pemerintah telah menggagas dan mulai menerapkan pendidikan karakter di Sekolah. Namun pendidikan karakter dalam diri peserta didik yang dilakukan melalui pendidikan karakter dan sejumlah mata pelajaran lainnya, masih tetap dilingkupi oleh permasalahan pelik, formalitas. Sebagai proses penanaman nilai, pendidikan karakter terjebak dalam kedangkalan, normatif, dan formalitas, serta mengabaikan subtansi, kedalaman, pemaknaan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.
     
      Karenanya, menurut hemat penulis, diperlukan pendidikan karakter yang tidak hanya terbatas pada pendidikan formalitas di sekolah. Melainkan pendidikan karakter yang berorientasi pada penghayatan dan pengamalan. Penanaman karakter dalam pendidikan hendaknya tidak hanya berorientasi pada kecerdasan kognitif, melainkan harus menyentuh segala aspek kecerdasan siswa yaitu, afektif, kognitif dan psikomor. Karena manusia yang dididik adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika. Sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, Jasmani dan rohani, ilmu dan tingkah laku (M. Quraish Shihab, 1994: 173).
     
      Karena itu, untuk mensukseskan pendidikan karakter bagi generasi muda bangsa ini, diperlukan sistim pendidikan yang integral (menyatu) dan holistik (menyeluruh), baik dari segi meteri pembelajaran, proeses pembelajaran, maupun evaluasi pembelajarannya. Pelaksanaan evaluasi pembelajaran dan sistim penilaian hasil belajar siswa hendaknya tidak hanya dilihat dari kecerdasan kognitif saja, malainkan semua aspek, khususnya kejujuran.
     
      Sejauh ini, dalam praktek pendidikan kita lebih mementingkan aspek kognitif saja. Kriteria kelulusan siswa sebagian besar dilihat dari nilai akademiknya tanpa memperhatikan karakter terpujinya. Bayangkan saja, pendidikan yang mereka tempuh selama tiga tahun, sangat ditentukan oleh ujian tulis selama empat hari. Singkatnya, jika sistim pendidikan kita masih karut-marut seperti ini, maka ujian nasional yang digelar tidak akan mampu menumbuhkan karakter terpuji dalam diri generasi muda bangsa ini. Bahkan sebaliknya, mendorong kepala sekolah, guru, dan siswa untuk berbohong dan berlaku curang. Akhirnya penulis mengucapkan selamat menempuh ujian kejujuran. Semoga sukses. Wallahu A’lam.

Sumber : Riau Pos
Oleh : Susanto Al-Yamin
* Penulis adalah Pimpinan Pondok M2IQ Riau
     
     
Dalam beberapa pekan terakhir ini, kita dikejutkan oleh pristiwa tragis yang menimpa generasi muda bangsa. Aksi tawuran semakin marak terjadi. Pada hari Kamis (11/10/2012) kemaren, tawuran antar mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) kembali terjadi di Kampus UNM, Parangtambung, Makassar. Tawuran ini menyebabkan dua orang mahasiswa meninggal dunia (www.tribunnews.com). Sebelumnya, seorang pelajar, Deny Januar dari SMA Yayasan Karya meregang nyawa akibat pengeroyokan dalam tawuran pelajar yang terjadi di Jalan Minangkabau, Manggarai, Jakarta Selatan, Rabu (29/9/2012). Tak selang dari sepekan sebelumnya, Alawi Yusianto Putra, siswa SMA 6 Jakarta juga meninggal akibat tawuran dengan puluhan siswa dari SMA 70 yang lokasi sekolahnya tak jauh dari SMA 6 (www.tempo.com).

      Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, pada tahun 2011 tawuran pelajar mencapai 339 kasus dan korban tewas 82 orang. Jumlah ini meningkat 165 persen dari 128 kasus pada tahun sebelumnya. Tingginya kasus tawuran di kalangan pelajar dan mahasiswa merupakan "PR" bagi dunia pendidikan kita, baik formal maupun non formal.
     
      Kasus tawuran yang terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa merupakan akibat dari krisis karakter yang telah lama menimpa anak bangsa. Krisis karakter yang menimpa anak bangsa ini berdampak buruk. Selain berdampak menimbulkan tindakan kekerasan, krisis karakter juga menjadikan mereka sebagai generasi yang linglung dalam kontestasi pergaulan global, krisis karakter juga menjadi “kanker” dalam pertumbuhan dan perkembangan mentalnya. Untuk itu diperlukan upaya yang serius untuk merekonstruksi karakter anak bangsa.
     
      Untuk menjawab permasalahan tersebut, pemerintah telah menggagas dan mulai menerapkan pendidikan karakter di Sekolah. Bahkan pemerintah kembali memasukkan pelajaran PPKN pada tahun depan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah (www.jppn.com). Namun pendidikan karakter dalam diri peserta didik yang dilakukan melalui pendidikan karakter dan sejumlah mata pelajaran lainnya, masih tetap dilingkupi oleh permasalahan pelik, formalitas. Sebagai proses penanaman nilai, pendidikan karakter terjebak dalam kedangkalan, normatif, dan formalitas, serta mengabaikan subtansi, kedalaman, pemaknaan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.
      Karenanya, menurut hemat penulis, diperlukan pendidikan karakter anti kekerasan yang tidak hanya terbatas pada pendidikan formalitas di sekolah. Melainkan pendidikan karakter yang berorientasi pada penghayatan dan pengamalan. Pendidikan karakter anti kekerasan adalah upaya preventif yang paling efektif untuk menghapus tindakan kekerasan. Pendidikan sendiri merupakan “pabrik” sekaligus “bengkel” kemanusiaan.
     
      Pendidikan dapat dijadikan solusi atas persolaan tawuran yang melilit generasi muda bangsa ini. Memberikan pendidikan sejak dini kepada anak bangsa dengan menanamkan sikap dan prilaku anti kekerasan, yang dikenal dengan istilah pendidikan karakter anti kekerasan, dapat dijadikan upaya preventif terhadap tindakan kekerasan. Pendidikan karakter anti kekerasan ini sebenarnya dapat dilaksanakan di mana saja, baik di sekolah, lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Namun pendidikan karakter anti kekerasan akan lebih efektif jika dilakukan di lembaga pendidikan formal.
     
      Keterlibatan pendidikan formal dalam upaya pencegahan tindak kekerasan memiliki kedudukan strategis-antisipatif. Upaya pemberantasan tindak kekerasan di kalangan pelajar dan mahasiswa terlebih dahulu dapat dilakukan dengan mencegah berkembangnya mental kekerasan sejak dini. Sebab masa yang tepat dalam pendidikan anak adalah di waktu kecil. Memperoleh pengetahuan untuk mencapai sifat yang akan terus melekat dalam jiwa itu sulit dan tidak mungkin kecuali dilakukan sejak dini. Pendidikan sejak usia dini akan mengakar dalam kesadaran si anak sehingga setelah dewasa akan sulit untuk dihapus.
     
      Pendidikan karakter anti kekerasan ini akan berpengaruh pada perkembangan psikologis peserta didik. Melalui pendidikan ini, diharapkan semangat anti kekerasan akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Munculnya generasi baru yang anti kekerasan diharapkan mampu mendobrak budaya kekerasan yang saat ini berdiri dengan kokoh. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana model pendidikan karakter anti kekerasan yang paling efektif untuk diterapkan.
     
      Paling tidak, terdapat dua model yang menjadi wacana dalam pelaksanaan pendidikan karakter anti kekerasan. Pertama, menjadikan pendidikan karakter anti kekerasan sebagai satu mata  pelajaran  khusus dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP). Kedua, melalui pengembangan kurikulum, pendidikan karakter anti kekerasan diintegrasikan (dipadukan) pada  materi-materi pelajaran dalam kurikulum KTSP yang dianggap mengandung nilai-nilai anti korupsi, seperti pada mata pelajaran Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Sejarah dan materi pelajaran lainnya. Materi-materi tersebut diintegrasikan agar dapat membangun nilai-nilai luhur anti kekerasan kepada peserta didik.
     
      Menurut hemat penulis, pendidikan anti kekerasan akan lebih efektif jika diintegrasikan dengan mata pelajaran yang telah ada melalui penanaman nilai-nilai anti kekerasan. Bahkan di sinilah substansi dari pendidikan anti kekerasan tersebut. Dengan demikian pendidikan anti kekerasan akan menyentuh ranah afektif dan psikomotor yang secara otomatis dapat membentuk sikap dan perilaku anti kekerasan pada siswa, menuju penghayatan dan pengamalan nilai-nilai anti kekerasan. Namun, jika pendidikan anti kekerasan terjebak pada penguasaan materi saja, maka tingkat kegagalannya pun akan semakin tinggi.
     
      Selama ini, proses pembelajaran selalu dilaksanakan secara tekstual, sehingga nilai-nilai anti kekerasan tersembunyi di balik setumpuk materi yang diajarkan. Stagnasi pengembangan materi pembelajaran mengakibatkan tidak  terintegrasinya materi dengan problem-problem kontekstual. Hal tersebut diperparah lagi dengan proses pembelajaran yang berjalan secara monoton dan hanya  berorientasi pada penguasaan materi konvensional (subject oriented curriculum).
     
      Selanjutnya perlu diperhatikan, penanaman nilai-nilai moral dalam pendidikan anti kekerasan tersebut hendaknya tidak hanya berorientasi pada kecerdasan kognitif, melainkan harus menyentuh segala aspek kecerdasan siswa yaitu, afektif, kognitif dan psikomor. Karena manusia yang dididik adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika. Sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, Jasmani dan rohani, ilmu dan tingkah laku (M. Quraish Shihab, 1994: 173).
     
      Pendidikan anti kekerasan membimbing para generasi bangsa menjadi manusia yang berbudaya anti kekerasan, berwatak anti kekerasan, dan bertanggung jawab terhadap problematika kekerasan. Dengan pendidikan karakter anti kekerasan, beberapa tahun ke depan generasi bangsa Indonesia diharapkan secara moral telah terbekali. Sehingga, mereka tumbuh menjadi anak bangsa yang berkarakter mulia. Semoga. Wallahu A’lam.***

Riau Pos, Senin, 22 Oktober 2012.
Oleh : Susanto Al-Yamin*
*Penulis adalah Pimpinan Pondok M2IQ Riau


      Suatu hari, Umar bin Khattab pernah menulis instruksi kepada para pegawai dan pejabat negaranya. Sosok yang bergelar al-Faruq ini menegaskan bahwa shalat dijadikan sebagai takaran profesionalisme kinerja dan performa seseorang. Shalat adalah tolok ukur konsistensi seseorang.

      Khalifah Umar bin Khattab yakin bila shalat seseorang terjaga maka orang tersebut tidak akan menelentarkan urusan lainnya. “Urusan terpenting bagiku dari kalian adalah shalat. Barang siapa yang menjaga dan membiasakannya maka ia telah memelihara agamanya. Jika meninggalkannya maka ia rentan menelantarkan urusan selain shalat”, demikian katanya sebagaimana yang dikutip oleh Nashih Nashrullah.

      Pernyataan Umar bin Khattab di atas sangat sesuai dengan ajaran dan pesan-pesan Islam, terutama yang terkandung dalam perintah shalat. Dalam ajaran Islam, Shalat merupakan ukuran kokohnya agama seorang hamba. jika ditinggalkan robohlah agamanya, sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah Saw dari Umar bin Khattab yang diriwayatkan Imam Baihaqi; “Shalat adalah tiang agama, siapa yang mendirikan shalat berarti telah mendirikan agama, dan barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti telah menghancurkan agama”. Raja Ali Haji melalui untaian kata puitisnya, Gurindam Dua Belas, juga menyebutkan, ”Barangsiapa meninggalkan sembahyang/seperti rumah tiada bertiang”.

       Perintah shalat adalah ibadah yang diterima langsung oleh Rasulullah Saw dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Ini merupakan bukti posisi vital perintah shalat. Shalat adalah tiang agama dan menjadi rukun kedua setelah syahadat. Shalat, seperti ditegaskkan oleh Rasulullah, merupakan identitas kuatnya agama seorang Muslim. “Beda antara Muslim dan kafir adalah shalat,” demikian sabda Rasulullah Saw.

       Shalat adalah perkara pertama yang akan dihitung (dihisab) pada hari kiamat. Luqman al-Hakim, seorang ayah yang bijaksana, seperti yang diabadikan oleh Allah Swt dalam Q.S. Luqman/31: 17, pernah berwasiat kepada anak-anaknya. Nasihat tersebut berisi seruan untuk mendirikan shalat dan menjadikannya sebagai daya dorong mengajak ke arah kebajikan dan mencegah perbuatan mungkar serta bersabar atas segala persoalan hidup. Ini merupakan pesan bahwa kesalehan spiritual shalat semestinya tidak terpisahkan dari kesalehan sosial.

        Dalam Islam, ibadah shalat merupakan sumber dari segala kebaikan. Bahkan seecara khusus, shalat dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari perbuatan keji dan munkar sehingga melahirkan pribadi yang shaleh secara spritual maupun sosial. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Ankabut/ 29: 45: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Firman  Allah Swt di atas menunjukkan  bahwa salah satu hikmah  penting perintah shalat adalah untuk menuntun pelakunya  menjadi sosok yang shaleh secara sosial yang selalu mengajak umat pada kebaikan dan mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Shalat menjadi “madrasah” untuk mendidik kecerdasan dan kepedulian sosial.  Seluruh rangkaian ritual shalat memiliki pesan penting untuk memupuk kesalehan spiritual dan sosial seseorang. Misalnya, ucapan salam pada penutup shalat yang diiringi dengan menoleh ke kiri dan ke kanan merupakan simbol kepedulian sosial. Ucapan salam yang merupakan doa untuk keselamatan dan kesejahteraan orang banyak, baik yang ada di depan kita maupun yang tidak,  dan  diucapkan sebagai  pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial.

        Dengan demikian, maka shalat yang dimulai (dibuka) dengan takbir sebagai pernyataan  hubungan harmonis antara hamba dan Tuhannya dan diakhiri dengan taslim (ucapan salam) sebagai simbol pernyataan hubungan harmonis dengan sesama manusia. Karena  itu,  jika shalat seseorang tidak mampu menumbuhkan kepedulian dan keshalehan sosial, maka berarti shalatnya merupakan suatu kegagalan dan diduga ada yang salah dengan pelaksanaan shalatnya. Sebagai contoh, misalnya shalat orang-orang munafik. Meskipun mereka shalat bersama Nabi saw, namun mereka justru menjadi penghuni neraka yang paling bawah. Karena shalat yang dilakukan dengan penuh kemalasan dan bermaksud untuk riya. Seakan-akan mereka mendirikan shalat dengan penuh khusyuk, namun sejatinya mereka tidak shalat. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, tetapi Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya (ingin dipuji) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (Q.S. An-Nisa/4: 142). Shalat seperti inilah yang akan mendapatkan celaan sebagaimana yang digambarkan Allah Swt dalam Q.S. Al-Maun/107: 4-5.

       Jadi, shalat yang mempu memberikan pengaruh positif bagi pelakunya bukanlah shalat asal-asalan yang dikerjakan sekedar untuk memenuhi kewajiban saja, melainkan shalat yang dilakukan dengan baik dan benar, penuh ketulusan dan kesungghuhan. Muhammad Ali Ash-Shobuni dalam kitab Safwah al-Tafẚsir (2004: 901) menjelaskan bahwa, shalat yang dapat mencegah perbuatan keji dan munkar adalah shalat yang didirikan sesuai dengan syarat, rukun dan adabnya, serta didirikan dengan penuh kekhusyukan sembari mengingat kebesaran Allah Swt.

       Dengan demikian, shalat yang khusyu’ dapat membangun keshalehan spiritual dan sosial. Shalat khusyu’ adalah shalat yang terlahir dari kesadaran setiap hamba yang memiliki kerinduan tertinggi kepada Penciptanya. Kesadaran itu lahir dari kerendahan hati dan kecintaan yang tulus seorang hamba kepada Tuhannya. Setiap muslim yang memiliki kesadaran tersebut akan senantiasa rindu dan ingin berdialog dengan tuhannya serta rela meluangkan waktu berlama-lama untuk “curhat” kepada Allah Swt dalam shalat, baik terkait persoalan pribadi, keluarga mapun bangsanya. Dengan kata lain, shalatnya dilakukan tidak sekedar untuk menggugurkan kewajiban, melainkan untuk membentuk pribadi unggul dan mulia.

       Shalat seperti inilah yang akan membuahkan keshalehan spiritual dan kepedulian serta keshalehan sosial bagi pelakunya. Oleh karena itu, dalam peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw tahun ini, marilah kita dijadikan sebagai momentum untuk mengevaluasi kualitas ibadah shalat kita. Jangan hanya dijadikan sebagai rutinitas formal dan acara seremonial yang “hampa makna”. Semoga. Wallahu A’lam.***

Riau Pos, Jum’at, 7 Juni 2013
Oleh : Susanto Al-Yamin
* Penulis adalah Pimpinan Pondok M2IQ Riau


Tak lama lagi rakyat Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi. Pemilihan presiden Republik Indonesia masa bakti 2014-2019 akan digelar pada tanggal 9 Juli 2014 mendatang. Ada dua pasangan capres dan cawapres yang akan dipilih langsung oleh rakyat pada Pemilu Presiden tahun ini, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Masing-masing tim sukses sudah gencar memperkenalkan sosok capres dan cawapres jagoan mereka. Berbagai kelebihan capres-cawapres dan keunggulan programnya pun telah disampaikan untuk menarik simpati pemilih.

Namun sayang, sebagaimana diberitakan di beberapa media, demi menjatuhkan lawan politik, terdapat kampanye hitam yang diduga dilancarkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab terhadap masing-masing capres-cawapres. Bentuk kampanye hitam tersebut sangat bervariasi, mulai dari masalah HAM, nasionalisme, SARA, dan bahkan tentang kadar ketaatan beragama dari capres atau cawapres. Lebih riskan lagi, kampanye hitam tersebut sudah sampai pada sikap saling mengkafirkan.

Kapanye hitam semacam ini merupakan istilah lain dari ghibah. Ghibah dalam berpolitik. Dalam Islam, ghibah dimaknai dengan menceritakan tentang hal ihwal orang lain yang membuatnya tidak suka. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah?”, mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Beliau bersabda, “yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka”. Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ceritakan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahi-nya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah membuat kebohongan atasnya”. (HR. Muslim bab Tahrim al-Ghibah).

Ghibah merupakan perbuatan keji yang tidak dirihai oleh Allah Swt. Pelaku ghibah diumpamakan bagaikan manusia pemakan daging saudaranya. Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan (ghibah) satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang" (Q.S. Al-Hujarat/49: 12).

Imam al-Baihaqi pernah meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sekali-kali kamu melakukan pergunjingan, karena pergunjingan itu lebih berat dari perzinaan. Karena, jika seseorang yang berzina kemudian bertobat maka Allah mengampuninya. Sedangkan penggunjing tidak akan diampuni Allah, sebelum orang yang digunjingkan itu memaafkannya”.

Selain itu, ghibah juga dapat mengundang siksa kubur. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan imam Ahmad, diceritakan bahwa ketika Rasulullah SAW berjalan melewati dua kuburan, beliau mendengar suara manusia yang sedang diazab. Rasulpun menjelaskan bahwa salah satu penyebab penghuni kubur tersebut diazab adalah kerena ghibah.

Alangkah beratnya siksa yang akan dialami oleh para pelaku ghibah. Betapapun dia bertobat kepada Allah, pintu pengampunan tidak akan terbuka, kecuali dia datang dan bersungguh-sungguh meminta maaf kepada orang yang di-ghibahi itu. Tidakkah kita takut pada siksaan Allah SWT? Bagaimana bila orang yang dighibahi itu tidak bersedia memaafkannya? Jangan sampai hal ini terjadi.

Betapa besarnya dosa yang disebabkan oleh ulah lidah, menggosip (ghibah) dan mencela atau mencaci orang lain. Betapapun rajin kita beribadah di hadapan Allah Swt, maka ibadah kita tidak akan sempurna, selama lidah kita menggosip (ghibah) dan menyakiti orang lain. Bukankah Rasulullah Saw pernah menyampaikan bahwa seorang muslim yang baik itu adalah mereka yang membuat orang lain selamat dari bahaya lisan dan tangannya.

Muadz bin Jabbal pernah bertanya pada Rasulullah SAW, “Apakah kita akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang kita ucapkan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Hai Ibnu Jabbal, tidaklah manusia-manusia itu akan ditelungkupkan dengan hidungnya terlebih dahulu di neraka, melainkan karena apa yang dilakukan oleh lidahnya” (HR. al-Hakim).

Saat ini, ghibah seolah telah menjadi hal biasa. Ghibah seolah menjadi menu pokok yang disuguhkan media kepada masyarakat. Wajar jika kemudian ghibah telah menjadi tontonan yang mampu mengangkat rating tayangan televisi. Dalam dunia politik, ghibah merupakan senjata yang paling ampuh untuk mehancurkan harga diri, popularitas, dan reputasi lawan politiknya. Ghibah sangat marak terjadi dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Bahkan ghibah telah menjalar hingga ke akar rumput perpolitikan negeri ini. Banyak sekali materi politik yang ditampilkan melalui media baik elektronik, cetak maupun televisi yang mengandung unsur ghibah atau menjelekkan lawan ataupun orang yang berseberangan dengan pandangan politiknya. Sehingga wajar jika kemudian banyak terjadi sengketa, permusuhan, dan perkelahian dalam pesta demokrasi di negeri ini.

Inilah potret panggung politik di negeri tercinta ini. hanya kekurangan dan keburukan orang lain saja yang banyak ditampilkan demi mengundang simpati pemilih. Sungguh lebih arif dan bijak bila mereka berkata apa adanya tentang capres-cawapres mereka dan mengedepankan pandangan politik terkait pembangunan dan kemajuan bangsa serta rakyat yang akan dipimpinnya, daripada harus sibuk mencari dan membeberkan (meng-ghibah) kekurangan dan aib capres-cawapres lainnya.

Karena itu, marilah kita tampilkan sikap politik yang santun dan jujur. Lebih fokus menyusun dan melaksanakan program strategis untuk pembangunan bangsa ini. Hentikan segala bentuk ghibah politik (kampanye hitam). Sungguh tidak ada manfaatnya mengumbar aib dan keburukan orang lain. Kalaupun pelaku ghibah menang, itu hanyalah kemenangan semu dan sementara. Karena kebenaran pasti menang, dan kebohongan akan terungkap. Semoga Allah Swt melindungi dan memelihara kita dari ghibah dan memberikan pemimpin terbaik untuk negeri ini demi terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Semoga.***

Riau Pos, Rabu, 11 Juni 2014.


Uje

Oleh : Susanto Al-Yamin*
*Susanto Al-Yamin adalah Pengasuh Kajian Islam MT. Raudhatul Jannah, Pekanbaru.


Jum’at pekan lalu, umat Islam di seluruh penjuru Indonesia dikejutkan oleh berita wafatnya seorang da’i kondang, ustad Jeffri al-Buchori. Ustad Jeffri al-Buchori atau yang akrab disapa Uje, meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Da’i gaul yang masyhur ini meninggal dunia dalam usia yang masih muda, 40 tahun.

Keluarga, sahabat, dan jamaah seolah tak percaya akan berita kematian itu. Uje pergi begitu cepat. Ia meninggalkan dunia yang fana ini tanpa sakit yang berarti. Sengguh kematian yang sangat mendadak. Tapi, begitulah kematian.

Kematian pasti datang tepat waktu, tak bergeser walau sedetikpun ((QS. Al-A’raf/7: 34 dan Ali-Imran/3: 145), merenggut nyawa dengan paksa, melenyapkan segala kenikmatan dunia. Kematian tak pernah memilih baik tua maupun muda, sehat ataupun sakit, rakyat biasa maupun pejabat, para da’i maupun jama’ah. Singkatnya, semua yang bernyawa pasti mati (QS. Ali-Imran/3: 185).

Rumah yang kokoh dan megah tak mampu melindungi kita dari kematian. Tumpukan uang tak mampu menyogok malaikat Maut untuk menunda kematian. Bahkan, benteng yang kokohpun tak mampu melindungi seseorang dari kematian (QS. An-Nisa’/4: 78).

Kematian selalu datang mendadak, dan tak seorangpun mengetahui kapan datangnya. Karena itu, sebelum kematian datang merenggut, persiapkanlah bekal (QS. Al-Hasyr/59: 18), dan sebaik-baik bekal adalah takwa (QS. Al-Baqarah/2: 197).

Dalam pandangan penulis, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Uje termasuk orang yang beruntung. Ia telah berhasil bangkit dari lembah kelam yang sempat menjerumuskannya. Ia telah mengisi hari-harinya dengan amal dan budi baik. Dakwah dan kebaikannya akan selalu dikenang ummat. Kepergiannya menghadap Ilahi, diiringi do’a dari ribuan jam’ah. Semoga semua itu juga dinilai baik di sisi Allah Swt. Amiin.

Demikianlah, Uje telah pergi menghadap Ilahi dengan bekal yang telah disiapkannya. Lalu, bagaimana dengan kita? Kapan, di mana, dan bagaimana kita akan diwafatkan? Sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk perjalanan panjang itu? Sudahkah kita menanam budi kepada sesama manusia? Akankah kepergian kita diiringi dengan “tangisan suci” dan untaian do’a dari banyak orang? Atau sebaliknya? Wallahu A’lam.***


Susanto al-Yamin adalah guru, penulis dan da’i muda asal Riau. Pernah menerima penghargaan sebagai Pemuda Pelopor Nasional Bidang Pendidikan Kemenpora RI tahun 2014. Ia juga pernah meraih juara cabang Menulis Makalah Ilmiah Al-Qur’an (M2IQ) pada MTQ Nasional tahun 2012 di Ambon, Maluku.  

    Beberapa tulisannya telah terbit dalam buku Renaisans; Sebuah Percikan (Pekanbaru: LPP UIN Suska Riau, 2011), buku Mutiara Dakwah (Pekanbaru: MDI Provinsi Riau, 2013), dan yang paling fenomenal adalah buku Pendidikan Anti Korupsi: Memotong Generasi Korup (Yogyakarta: WR, 2015). Ia juga pernah diminta menjadi tim penulis buku Paduan Musabaqah Makalah Al-Qur’an (Pekanbaru: LPTQ Bengkalis, 2017), dan buku Al-Qur’an dan Problema Kebangsaan: Kumpulan Karya Terbaik MMQ Rohil (Yogyakarta: WR, 2019). Ia juga kerap diminta menjadi editor, memberikan endors, dan menulis prolog buku.

       Tulisan-tulisannya juga sering dimuat di media cetak maupun online, diantaranya: Riau Pos, Koran Riau, Majalah Dinamis Kanwil Kemenag Riau, Tribun Pekanbaru, Buletin Bandung Agamis MUI Kota Bandung, Harian Sumut Pos, Metro Siantar, Harian Babel Pos, Manado Pos, Jambi Ekspres, Radar Sulbar, Radar Tegal, Posmetro Rohil, Majalah Ahsanta, dan sejumlah media online lainnya.

          Selain menulis, ia juga aktif menjadi hakim dan pelatih MMQ Kabupaten Rokan Hilir dan Kota Dumai, mengisi seminar dan pelatihan terutama tentang kepenulisan dan MMQ di berbagai kabupaten/kota di Riau. Beberapa binaannya berhasil meraih juara dalam berbagai perlombaan menulis baik di tingkat kabupaten maupun nasional. 

              Dalam rangka membumikan dakwah lewat tulisan, juara M2IQ yang dikenal produktif berkarya ini bersama teman-temannya mendirikan Pondok M2IQ Riau; sebuah komunitas sederhana tanpa fasilitas memadai namun memiliki semangat berkarya. M2IQ merupakan singkatan dari Menulis Makalah Ilmiah al-Qur’an, yang merupakan salah satu cabang yang diperlombakan dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Dari wadah yang didirikannya ini, ia  berharap mampu melahirkan generasi muda yang unggul dan produktif dalam  menghasilkan karya tulis, baik karya M2IQ maupun karya tulis bernuansa dakwah lainnya. Menurutnya, siapapun boleh bergabung dan belajar di Pondok M2IQ Riau. 

            Bagi yang ingin bersilaturahim dan berbagi pengalaman, ia menyediakan alamat e-mail: 

susanto_alyamin@yahoo.com dan pondokm2iqriau@gmail.com. Atau dapat mengunjungi Blog: pondokm2iq.blogspot.com.

Oleh : Susanto Al-Yamin
(Pimpinan “Pondok” M2IQ Riau)

    Suatu hari, saya pernah diundang untuk menyampaikan ceramah di salah satu acara. Panitia menginformasikan kepada saya, bahwa peserta yang hadir berasal dari berbagai Agama. Saya pun diminta untuk menyesuaikan materi ceramah. Saya mengangguk setuju. Bahkan tidak hanya itu, saya mencoba untuk menyesuaikan “pakaian" saya. Saya pun datang dengan mengenakan pakaian “biasa”, tanpa mengenakan peci dan sorban, sebagaimana pakaian yang lazim dipakai oleh seorang da’i. 


      Sesampainya di lokasi acara, saya melihat sejumlah panitia sibuk menghubungi panitia lainnya. Mereka menayakan, kenapa ustadznya belum datang? Padahal saya telah hadir di tengah-tengah mereka. Maklum, wajah saya kurang familiar, dan panitia yang mengundang/mengenal saya belum datang. Saya pun tersenyum. 

      Beberapa saat kemudian, salah seorang panitia yang mengenal saya pun datang dan menghapiri saya, kemudian  memberitahukan kepada panitia lainnya, bahwa sayalah penceramah yang sedang mereka tunggu. Mereka terlihat heran, karena biasanya para da’i begitu mudah dikenali melalui peci dan sorbannya.

     Di tempat yang lain, saya juga pernah menghadiri sebuah pengajian. Saya datang dengan mengenakan jubah panjang, peci, dan sorban yang serba putih. Sejumlah pengurus langsung menyambut saya dengan ramah, dan mempersilahkan saya duduk di barisan paling depan. Mereka menduga bahwa sayalah penceramahnya, padahal bukan.

     Ya, begitulah manusia. Manusia selalu melihat dan menilai seseorang melalui pakaian dan sesuatu yang tampak secara lahiriah. Pakaian selalu dijadikan sebagai penentu status sosial dan ukuran kemuliaan seseorang. Padahal, Rasulullah Saw pernah bersabda, bahwa Allah Swt tidak menilai tampilan fisik (pakaian) dan harta seseorang, melainkan hati dan amal ibadahnya.

     Islam memang memerintahkan umatnya untuk memakai pakaian yang indah, tapi tidak boleh berlebihan (QS. Al-A’raf/7: 31). Pakaian yang indah tidak selalu harus mahal dan berlebihan. Bahkan, ketika umat Islam menunaikan ibadah haji, mereka diwajibkan untuk mengenakan dua helai pakaian berwarna putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini. 

     Pakaian hanyalah tampilan fisik yang mudah direkayasa dan diganti kapan saja. Oleh karena itu, kemuliaan dan status seseorang tidak dapat ditentukan dari pakaiannya. Wallahu A’lam.

Oleh: Susanto Al-Yamin

     Koruptor adalah musuh terbesar bangsa ini. Mereka telah merusak seluruh sistem kehidupan dan mengubur nilai-nilai Agama dan warisan luhur para pendiri bangsa. Sehingga berakibat pada rapuhnya pembangunan, lumpuhnya ekonomi, lemahnya penegakan hukum, tersumbatnya pendidikan, meningkatnya angka kemiskinan dan pada akhirnya berpotensi menghancurkan bangsa ini.

   Sungguh tindakan korupsi merupakan perbuatan keji dan berbahaya. Maka wajar jika seluruh Agama besar di Dunia ini melarang tindakan korupsi dan mengutuk para pelakunya. Bahkan dalam Islam, tindakan korupsi merupakan dosa besar dan pelakunya harus diberikan sangsi yang tegas.

      Menurut ajaran Islam, korupsi dapat dikategorikan dalam tindakan ghulul/penggelapan (Q.S. Ali-Imran/3: 161), mengambil harta dengan cara yang batil (Q.S. al-Baqarah/2: 188), seperti, suap (risywah), aklu al-suht atau mengambil harta orang lain dengan cara yang diharamkan (Q.S. al-Maidah/5: 62). Dalam perspektif al-Qur’an, setiap perbuatan yang dilarang akan menimbulkan kemudharatan (dampak negatif), dan setiap kemudharatan harus ditolak. Bagi yang tetap melakukan larangan Allah swt, akan mendapat celaan dan hukuman baik di dunia maupun akhirat. Adapun hukuman duniawi bagi koruptor dalam Islam adalah hukuman ta’zir.

Ta’zir adalah sebuah sangsi hukum yang diberlakukan kepada seorang pelaku jarimah atau tindak pidana yang melakukan pelanggaran-pelanggaran baik yang berkaitan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia, dan pelanggaran yang dimaksud tidak termasuk dalam kategori hukuman hudud, qishas dan kaffarat. Hukuman ta’zir tidak ditentukan secara langsung oleh al-Qur’an dan al-Hadits, oleh karena itu jenis hukuman ta’zir menjadi wewenag hakim dan penguasa setempat (M. Nurul Irfan, 2009: 151).

      Namun demikian, dalam memutuskan suatu jenis dan ukuran sangsi ta’zir ini, penguasa negara dan hakim setempat tetap harus memperhatikan isyarat-isyarat dan petunjuk nash keagamaan secara teliti, baik dan mendalam, sebab hal ini menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum atau masyarakat dalam sebuah negara. Sehingga dengan demikian, penerapan hukuman ta’zir dapat berfungsi untuk mencegah pelaku tindak pidana dari rutinitas kejahatannya dan menolak pelaku dari berbuat kemaksiatan. Demikian ditegaskan oleh Ibnu Manzur dalam Lisan al-‘Arab.

     Oleh karena hukuman ta’zir tidak disebutkan langsung dalam al-Qur’an dan al-Hadits, maka para ulama berbeda pendapat mengenai jenis dan bentuk hukuman ta’zir yang boleh dijatuhkan. Sebagian ulama membatasi hukuman ta’zir tidak boleh melewati hukuman hudud dan qishas. Namun sebagian lain berpendapat bahwa hukuman ta’zir dapat lebih berat dari hukuman hudud bahkan dapat dijatuhkan hukuman mati jika tindak pidana yang dilakukan menimbulkan mudharat yang besar. Pendapat ini dijelaskan oleh beberapa ulama kontemporer seperti Abdul Qadir Audah dalam kitab at-Tasyrri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’i dan Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqhu al-Islam Wa Adillatuhu.

     Lebih rici Wahbah Az-Zuhaili membagi jenis hukaman ta’zir menjadi lima macam yaitu, hukuman pencelaan, hukuman penahanan, hukuman pemukulan, hukuman ganti rugi materi, dan hukuman mati. Jenis hukuman ini dapat dikenakan kepada pelaku kejahatan sesuai dengan tingkat kejahatannya dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan dan ketegasan hukum. Tindakan korupsi kecil dapat diberikan hukuman ta’zir yang ringan seperti hukuman pencelaan dan penahanan, sementara hukuman kasus korupsi besar harus dihukum berat bahkan dapat dihukum mati.

    Adapun pelaksanaan hukuman ta’zir bagi koruptor di Indonesia menurut Azzumardi Azra tidak dapat dilaksanakan. Karena hukuman ta’zir hanya bisa diterapkan di Negara Islam, sementara Indonesia bukanlah Negara Islam (dalam M. Nurul Irfan, 2009: 273). Akan tetapi di antara beberapa macam dan bentuk hukuman ta’zir dalam Islam terdapat tiga macam hukuman yang disebutkan dalam undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu; hukuman mati, hukuman penjara dan hukuman ganti rugi/denda.

      Hukuman mati yang tertera dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan jika tindakan korupsi dilakukan dengan jumlah besar dan Negara sedang dalam keadaan krisis atau tertimpa bencana besar, sehingga tindakan korupsi tersebut meminbulkan kemudharatan yang lebih besar.

     Beberapa jenis hukuman yang disebutkan dalam undang-undang tindak pidana korupsi di atas, sebenarnya sudah sangat ampuh untuk memberantas para koruptor jika diterapkan dengan tegas dan adil tanpa diskriminasi. Hanya saja, di Negeri ini hukuman untuk sang koruptor masih terlalu lemah dan terkadang mengubur nilai-nilai keadilan. Para penegak hukum lebih bergairah menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada masyarakat awam yang mencuri semangka dan buah pisang dari pada menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada para koruptor kelas kakap yang telah merugikan negara miliaran bahkan triliunan rupiah.

      Di Negeri ini, vonis-vonis hukuman untuk para koruptor selalu saja tidak sepadan dengan besarnya kasus korupsi yang dilakukan, sehingga para koruptor menjadi manja dan tak jera. Menurut Yusuf Rahman (2011: 4), hukuman terberat sejauh ini adalah vonis 18 tahun penjara yang dijatuhkan kepada jaksa Urip Tri Gunawan, jaksa di Kejaksaan Agung. Setelah itu tidak ada lagi vonis di atas 10 tahun. Vonis-vonis kebanyakannya di bawah 5 tahun, padahal mereka telah merugikan Negara dengan jumlah yang cukup besar. Hukuman yang rendah ini sangat berpotensi memotivasi munculnya koruptor-koruptor baru.

      Oleh karena itu, harus ada batasan dan ketentuan yang jelas dan tegas tentang hukuman bagi para koruptor. Hukuman untuk para koruptor harus disesuaikan dengan besar kecilnya kasus korupsi yang dilakukan. Mulai dari hukuman ganti rugi/denda, hukuman penjara hingga hukuman mati harus ditegakkan dengan tegas dan adil tanpa diskriminasi.

     Selain itu juga perlu diberikan hukuman tambahan berupa penyitaan harta yang terbukti diperoleh dari hasil korupsi dan dikembalikan kepada Negara untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini juga sesuai dengan konsep al-Qur’an dan al-Hadits, bahwa seseorang yang mengambil harta orang lain akan diampuni kesalahannya setelah ia meminta maaf dan mengembalikan harta yang diambilnya/dikorupsi kepada pemiliknya. Semoga. Wallahu A’lam Bissawab.


*Tulisan ini telah dimuat di Majalah Dinamis Kanwil Kemenag Riau.

Download tulisan ini 
 





Oleh: Susanto Al-Yamin

RIBUAN tahun yang lalu, di tanah kering dan tandus, di tengah kegersangan kawasan yang meranggas, di antara bukit-bukit bebatuan yang ganas, sebuah panggilan suci dikumandangkan. Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk mengumandangkan seruan haji: “Kumandangkanlah panggilan kepada manusia untuk melaksanakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS. Al-Hajj: 27).

Lalu Nabi Ibrahim menjawab: “Suaraku tidak akan dapat didengar oleh mereka ya Allah”. Kemudian Allah berfirman: “Engkau hanya mengumandangkan, Aku (Allah, red) yang akan memperdengarkannya”. Kemudian Nabi Ibrahim berdiri di dekat Kabah untuk mengumandangkan panggilan suci itu kepada seluruh umat manusia.

Sejak saat itu, panggilan haji telah didengar dan diketahui oleh setiap muslim melalui kitab suci (Alquran) dan risalah para nabi. Allah mewajibkan bagi setiap muslim yang mampu (istitho’ah) untuk memenuhi-nya. Istitho’ah adalah persyaratan utama ibadah haji secara mutlaq menurut ulama fikih berdasarkan QS Ali Imran/3: 97. 

Makna mampu di sini meliputi keuangan, ilmu, kondisi keamanan, kendaraan (transportasi) serta kondisi fisiknya. Jadi, tidak wajib hukumnya memenuhi panggilan ibadah haji, ketika kondisi fisik lemah, finansial juga lemah. Tetapi, jika dia bisa sampai ke Makkah, kemudian bisa melaksanakan haji dengan sebaik-baiknya, maka hajinya sah. Dengan demikian, tidak diterima alasan seorang muslim yang mampu (istitha’ah) untuk tidak menunaikan ibadah haji dengan alasan tidak ada panggilan atau undangan dari Allah. 

Undangan untuk menunaikan haji adalah undangan Allah yang Maha Pengasih, sehingga jamaah haji disebut Dhuyuf al-Rahman (tamu-tamu Allah Yang Maha Pengasih) karena mereka berkunjung ke Baitullah (Rumah Allah). Baitullah adalah tempat suci dan mulia. Setiap tamu yang ingin mengunjunginya dituntut untuk membersihkan diri lahir dan batin (tadzkiyah al-nafs) terlebih dahulu. Karenanya, pelaksanaan ibadah haji dimulai dengan miqat di tempat yang telah ditentukan.

Di miqat, para tamu Allah diwajibkan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini. Pakaian adalah lambang status yang dapat memicu sikap diskriminasi, keakuan, kesombongan, dan egois. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Pakaian telah memecah belah anak-anak Adam, karena itu, para tamu Allah diperintahkan untuk melepaskan pakaian kemewahan duniawi dan menggantinya dengan pakaian kerendahan hati.

Pakaian ihram menuntun manusia untuk mengubur pandangan yang mengukur keunggulan seseorang karena kedudukan, harta, gelar, ras dan keturunan. Setelah memakai pakaian ihram, para tamu Allah disuguhkan dengan sejumlah “hidangan spiritual” yang sangat nikmat dan penuh makna. 

Para tamu dipersilahkan menikmatinya secara berurutan, mulai dari thawaf (mengelilingi Kabah), sa’i (berlari kecil antara bukit shafa dan marwa), wukuf di Arafah, mabit (bermalam) di Muzdalifah dan Mina, melontar jumrah hingga tahallul. Ketika menikmati hidangan tersebut, para tamu harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan serta menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah, seperti berbantah-bantahan, berhubungan suami-istri, berburu atau membunuh binatang, dan sejumlah larangan ihram lainnya.

Ibadah haji merupakan ritual yang sarat dengan simbolisasi makna. Ketika jamaah haji thawaf mengelilingi Kabah, maka para pelakunya akan merenungkan keunikan Kabah yang menghadap ke segala arah, yang melambangkan universalitas dan kemutlakan Allah SWT; suatu sifat Allah yang tidak berpihak tetapi merahmati seluruh alam.

Selanjutnya jamaah haji harus melakukan sa’i. Sa’i atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa mengandung pesan bahwa ritual tersebut melambangkan kegigihan dalam berjuang mengarungi tantangan hidup. 

Kemudian, para tamu Allah harus wukuf di Arafah. Arafah merupakan sebuah padang yang luas. Di tempat ini jutaan umat manusia dari berbagai suku dan bangsa larut dalam suasana bathin yang damai, mereka berkumpul sambil ber-doa mengharap ridha Ilahi, merenung dan memohon am-pun atas segala kesalahan yang telah dilakukan.

Setelah wukuf di Arafah, para jamaah menuju Muzdalifah  untuk mabit. Wukuf dilakukan pada siang hari, sementara mabit pada malam hari. Siang, melambangkan amal dan kerja keras, sedangkan malam melambangkan tahap kesadaran diri dengan lebih banyak melakukan konsentrasi di keheningan malam. Kemudian di Mina, jamaah melempar Jumrah.

Melempar jumrah juga merupakan lambang perlawanan manusia melawan penindasan dan kebiadaban. Demikianlah serangkaian kegiatan haji penuh makna yang harus diikuti    oleh setiap tamu Allah. Ibadah haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melain-kan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagai manusia.

Dengan kata lain, orang yang sudah bertamu ke rumah Allah (berhaji) haruslah menjadi manusia yang “tampil beda” (lebih baik hidupnya) dibanding sebelumnya (haji mabrur). 

Tulisan ini bisa anda download dalam format PDF dan Word silakan klik tombol download dibawah



Pondok M2IQ RIAU
Email : pondokm2iqriau@gmail.com

Penulis Susanto A. Yamin
ERA globalisasi meminjam istilah Thomas L Friedman yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengantarkan manusia pada suatu kampung yang tidak dibatasi oleh sekat waktu dan tempat. Teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology [ICT)), bagi masyarakat global (dunia) melahirkan suatu kecenderungan paradigma masyarakat terbuka, yaitu suatu kenyataan dimana tidak ada sekat dan batas yang menghalangi untuk saling berinteraksi. Sebagai konsep komunikasi global, manusia dapat ber-interaksi secara cepat, langsung, dan seketika.

Karenanya, umat Islam tidak boleh berdiam diri terhadap perkembangan ICT. Perkembangan ICT yang semakin canggih harus dimanfaatkan untuk berbagai kepent-ingan, khususnya kepentingan dakwah, terutama di era globalisasi ini. Karena saat ini, selain karena kesibukan, umat Islam (khusus-nya generasi muda), juga tidak begitu tertarik terhadap dakwah qurani yang dilakukan di masjid-masjid. Umat Islam lebih banyak menambah wawasan keagamaan mereka melalui sejumlah fasilitas informasi yang tersedia dalam perangkat ICT. Untuk itu, dalam rangka membumikan ajaran Alquran di era glo-balisasi ini, maka integrasi ICT dalam dakwah sangat diperlukan.

ICT adalah perangkat teknologi yang merangkum dua aspek yang sulit dipisahkan, yaitu informasi dan komunikasi. Teknologi informasi adalah teknologi yang membantu manusia dalam mencari/mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data, baik data yang berbentuk teks, video, audio, visual mau-pun animasi yang terhimpun dalam perangkat teknologi modern yang terdiri dari hardware dan software. Sementara teknologi komuni-kasi adalah teknologi yang mampu meng-hubungkan manusia tanpa sekat waktu dan tempat yang terkoneksi melalui jaringan in-ternet.

Dalam bidang dakwah, ICT harus di-manfaatkan sebagai media (wasilah) dakwah, supaya setiap pesan dakwah dapat disampaikan kepada objek dakwah (mad’u). Hal ini harus dilakukan mengingat pengguna ICT yang semakin tinggi. Menurut data yang dirilis oleh MarkPlus Insight, jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2012 mencapai 61,08 juta orang. Angka tersebut naik sekitar 10% ketimbang tahun 2011 (dalam, http://evoucher.co.id). Lebih rinci lagi, Forum Viva merilis pengguna internet berdasarkan usia. Ternyata pada segmen penduduk usia 15-19 tahun paling tinggi dibandingkan segmen usia lain dengan persentase sebesar 64 persen. Diikuti usia 20-24 tahun sebesar 42 persen. Berikutnya usia 25-29 tahun sebesar 28 persen, kemudian usia 30-34 tahun sebesar 16 persen, usia 40-44 tahun sebesar 12 persen, dan usia 45-50 tahun sebesar 5 persen. Forum Viva juga berkesimpulan, bahwa pengguna internet tidak hanya di kota besar, tetapi juga menyebar di kota-kota kecil dan pedesaan (http://forum.viva.co.id).

Kehadiran ICT merupakan anugerah istimewa dalam dakwah era globalisasi. Melalui teknologi ini, misi dakwah untuk seluruh umat dunia dapat terlaksana. Karena menurut Yusuf al-Qaradhawi, dakwah Islam merupakan dakwah global, tidak dibatasi waktu dan
tidak terkait dengan tempat (dalam Akram Kassab, 2010: 210). Hal ini sesuai dengan pesan Alquran, “Dan tidaklah aku mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya’: 107). Allah juga berfirman, “Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua’” (QS. Al-A’raf: 158). Dalam surat yang lain, Allah juga berfirman, “Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (yaitu Alquran) ke-pada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (QS. Al-Furqan: 1).

Demi terwujudnya cita-cita dakwah yang bersifat global tersebut, maka diperlukan kebijaksanaan (al-hikmah) dalam berdakwah (QS. An-Nahl/16: 125). Menurut M Yunan Yusuf (2003), dalam bidang dakwah, kata al-hikmah dapat dimaknai dengan melakukan kegiatan dakwah, termasuk dalam memilih metode (thariqah) mau-pun media (washilah) yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Dengan demikian, kegiatan dakwah harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Kini umat Islam telah memasuki era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ICT, di mana manusia dapat mengakses informasi dan saling berkomunikasi tanpa dibatasi oleh jarak dan waktu. Karenanya, integrasi ICT merupakan kebutuhan dakwah masa kini demi terca-painya tujuan dakwah, yaitu mengajak manusia ke jalan Tuhan.

Untuk kepentingan dakwah, ICT dapat dimanfaatkan sebagai media (wasilah) dakwah. Melalui media inilah dakwah dapat memainkan perannya dalam meneyebarkan informasi tentang Islam kepada umat manusia khususnya generasi muda di selu-ruh penjuru tanpa ada batas waktu dan wilayah.

Penggunaan ICT dalam dakwah adalah kebutuhan yang harus segera dipenuhi oleh para da’i dan ulama. Pemanfaatan ICT dalam dakwah dapat dilakukan dengan me-manfaatkan berbagai fasilitas yang tersedia dalam perangkat ICT. Dalam rangka mem-berikan informasi tentang ajaran Islam, para pendakwah dapat memanfaatkan fasilitas website, blogdan sejenisnya dengan cara mengirim pesan dakwah, baik yang berbentuk teks (tulisan), audiomaupun video, ke dalam website maupun blog pribadi atau mengirimkan tulisan dakwah ke sejumlah media online,seperti Republika online dan Riau Pos online.

Melalui ICT juga, para pendakwah dap-at melakukan interaksi dua arah secara online dengan fasilitas e-mail, Facebook, Twitter, Skype dan sejenisnya. Dengan fasilitas tersebut, para pendakwah dapat berkomunikasi langsung dengan objek dakwah, baik melalui pesan dalam bentuk teks maupun video. Media ini semakin populer digunakan untuk pengembangan media dakwah, karena selain bersifat interaktif, juga terkoneksi dengan jaringan global, sehingga jangkauan aksesnya tak terbatas.

Integrasi ICT dalam dakwah, selain memberikan kemudahan dalam mengakses informasi dan berkomunikasi tanpa batas waktu dan tempat, juga dapat “mengawetkan” pesan dakwah. Sehingga pesan tersebut tahan lama, dan dapat diakses kembali jika suatu saat diperlukan. Hal ini sangat berbeda dengan dakwah konvensional, dimana pesannya mudah hilang (dilupakan) dan sangat sulit bahkan tidak bisa diakses kembali ketika dibutuhkan.

Dengan demikian, dakwah dalam menyebarkan ajaran Islam seperti kandun-gan Alquran, tauhid, ibadah, akhlak, dan sebagainya tidak lagi disampaikan secara manual-tradisional, akan tetapi secara modern interaktif menggunakan ICT dalam berbagai bentuk yang tersedia di berbagai tempat di dunia global, disediakan oleh berb-agai sumber dan dapat diakses dengan mudah, cepat, murah, dan dapat digunakan dalam kelas tradisional modern maupun dalam kelas maya atau virtual.

Mudah-mudahan dengan memanfaatkan ICT dalam berdakwah, pesan dakwah dapat sampai kepada objek dakwah yang kini sedang asyik berselancar di dunia maya, sehingga ajaran Islam tidak hanya bisa dipelajari di madrasah, masjid dan majelis taklim, tetapi juga dapat dipelajari di dunia maya yang kini banyak dikunjungi umat Islam, terutama generasi muda penerus bangsa. Harapannya, pesan Alquran dapat membumi di era globalisasi ini. Semoga. Wallahu a’lam.***

Download artikel ini




Toleransi dan Kedamaian Abadi
Penulis : Susanto Al- Yamin

ISLAM adalah agama kedamaian dan pembawa rahmat bagi sekalian alam (QS al-Anbiya/21: 107). Islam mengajarkan sikap toleransi (tasamuh)kepada pemeluknya. Berbicara mengenai toleransi dalam beragama, Islam memberikan batas-batas dalam menghormati penganut agama lain termasuk perayaan Natal yang dirayakan umat kristiani setiap 25 Desember.

Menurut ajaran Kristen, 25 Desember merupakan hari bersejarah dan suci yang harus dirayakan dengan melaksanakan ritual keagamaan. Perayaan Natal merupakan bagian dari kepercayaan umat Kristen yang harus dihormati dan dihargai sesuai dengan un-dang-undang dan ajaran agama demi terciptanya kerukunan umat beragama. Adapun batas toleransi dalam bidang ibadah adalah dengan menghargai dan memberikan kebebasan kepada penganut agama lain yang melaksanakan ritual keagamaan. Namun Islam tidak membenarkan seorang muslim ikut meraya-kan atau mengikuti ritual agama lain, terma-suk Natal. Sebab dalam Islam, setiap umatnya harus menjalankan ajaran agama masing-masing tanpa mencampurbaurkan dengan ajaran agama lain (QS al-Kafirun: 1-6 dan al-Baqarah: 42).

Sementara dalam bidang muamalah, umat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan umat agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan (QS al-Hujarat: 13; Luk-man: 15 dan al-Mumtahanah: 8). Berdasarkan dalil-dalil naqlidi atas, seorang muslim tidak dibenarkan untuk mengikuti atau mer-ayakan Natal bersama umat Kristen ken-datipun dengan alasan toleransi. Toleransi atau tasamuhterhadap kepercayaan agama lain hanyalah sebatas tidak mengganggu aga-ma lain yang sedang beribadah. Lantas, apakan Islam membolehkan umatnya mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu penulis ingin mengemukakan beberapa pendapat ulama beserta hujjah-nya.

Pertama,dibolehkan mengucapkan selamat Natal kapada umat Kristen sebagai wujud toleransi dalam beragama. Pendapat ini dipelopori oleh kaum liberal dan sekuler. Mereka berpendapat bahwa, Alquran telah melegitimasi bahkan memerintahkan umat-nya untuk mengucapkan selamat atas kelahiran Nabi Isa As yang mereka samakan dengan Yesus dalam agama Kristen. Perintah mengucapkan selamat atas kelahiran Isa terse-but termaktub dalam surat Maryam ayat 33-34 yang artinya: “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa), pada hari Aku di-lahirkan, pada hari Aku meninggal dan pada hari Aku dibangkitkan hidup kembali. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantah-an tentang kebenarannya.”

Berdasarkan ayat di atas, Islam memerin-tahkan umatnya mengucapkan selamat atas kelahiran Nabi Isa As. Tetapi persoalannya adalah, apakah sama Isa As yang diyakini umat Islam sebagai seorang Nabi dengan Isa atau Yesus yang diyakini oleh umat Kristen sebagai Anak Tuhan? Jawabannya tentu saja tidak sama, sebab Islam meyakini bahwa Tu-han itu tidak beranak dan tidak pula diper-anakkan (QS al-Ikhlas). Dengan demikian, pendapat pertama ini secara otomatis berten-tangan dengan ajaran Islam dan tidak dapat diterima.

Kedua,dibolehkan mengucapkan selamat Natal dengan catatan tidak ditujukan atas kelahiran Yesus anak Tuhan menurut umat Kristen, akan tetapi ditujukan atas kelahiran Nabi Isa As menurut ajaran Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh M Quraish Shihab dalam rajutan karyanya Membumikan Al-Quran halaman 372. lebih lanjut beliau menyebutkan, dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Alquran memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan Alquran adalah ayat-ayat dalam QS 34: 24-25.

Alasan yang dikemukakan oleh M Quraish Shihab di atas dapat diterima dan tidak men-yalahi ketentuan syarak. Secara umum, pendapat ini dapat dijadikan alasan untuk mengucapkan selamat Natal bagi umat Kristen sebagai wujud toleransi beragama. Namun, ketika dika-ji lebih lanjut, persoalan yang muncul adalah benarkah Nabi Isa As dilahirkan pada 25 Desember? Jawabannya boleh jadi benar boleh jadi salah, sebab dalam Islam tidak ada dalil shahih yang menyebutkan tanggal kelahiran Nabi Isa As. Oleh karena itu, pendapat kedua ini menjadi syubhat(samar-samar/tidak jelas) dan harus dihindarkan.

Sementara pendapat ketiga mengatakan, seorang muslim tidak boleh mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen. Pendapat ini dipelopori oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut golongan ini, mengucapkan selamat Natal adalah bagian dari ibadah dan keyakinan. Hal ini dapat dianalogikan (diqiyaskan) dengan tidak bolehnya mengucapkan salam kepada non muslim yang telah dilarang oleh Rasulullah dalam haditsnya. Mengucapkan selamat Natal bukanlah satu-satunya cara untuk menghargai dan menghormati umat Kristen. Sebab substansi dari sifat toleransi dalam beragama adalah tidak mengejek dan mengganggu ketenangan agama lain yang sedang menjalankan ritual agamanya masing-masing.

Sementara dalam bidang muamalah atau hubungan sosial Islam memperkenan penga-nutnya untuk melakukan kerja sama seluas-luasnya, seperti kerja sama dalam bidang ekonomi dan pemerintahan. Dengan demiki-an, kerukunan umat beragama akan terjalin dengan baik tanpa ada pihak yang merasa dirugikan sehingga terciptalah kedamaian abadi. Dalam Islam, praktik toleransi atau tasamuhterhadap non-muslim memiliki akar historis dalam sejarah perjalanan Islam. Baik pada zaman Nabi, sahabat, tabiin, mau-pun ulama-ulama mutaakhirin. Rasulullah SAW dikenal sebagai orang yang paling toleran terhadap non muslim.

Beberapa kisah di atas sengaja penulis kemukakan untuk menunjukkan nuansa harmoni hubungan Islam dan Kristiani di zaman Nabi dan Sahabat. Sikap saling menghargai dan toleransi sesama telah begitu mudah diteladankan Nabi beserta sahabatnya. Mudah-mudahan pada perayaan Natal tahun ini, umat Islam dapat memahami dan menerapkan sikap tasamuh (toleransi) dengan baik dan benar. Sehingga tidak ada lagi pengeboman gereja atau kerusuhan dalam perayaan Natal serta tidak pula perayaan Natal bersama oleh umat Islam dan Kristen. Karena itu semua telah menodai makna toleransi dalam beragama. Semoga.***

Artikel ini bisa anda download dalam format PDF dan word, silakan klik tombol download dibawah :






Pahlawan Anti Korupsi
Oleh : Susanto Al-Yamin*

*Penulis adalah Pimpinan Pondok M2IQ Riau, dan Peserta MTQ Nasional 2012.



    Setiap tahun bangsa Indonesia rutin memperingati Hari Pahlawan yang jatuh setiap tanggal 10 November. Pada saat itulah kita mengenang jasa para pahlawan yang telah bersedia mengorbankan harta, jiwa dan raganya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Ditetapkannya tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan, karena pada tanggal tersebut para pejuang kita bertempur mati-matian untuk melawan tentara penjajah di Surabaya. Pertempuran ini merupakan simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap penjajah.
        Kini zaman penjajahan telah berlalu. Bangsa Indonesia telah merdeka dari jeratan agresor bangsa asing. Namun harus diakui dengan jujur bahwa bangsa ini pada hakikatnya belum sepenuhnya merdeka. Hal ini mengingat banyaknya permasalahan yang melilit dan menjajah bangsa ini, mulai dari kemiskinan hingga tindakan korupsi yang tak kunjung henti. Bangsa ini masih dijajah oleh para koruptor yang pada dasarnya adalah “anak kandung” bangsa ini.

Koruptor Penjajah Masa Kini
        Koruptor adalah musuh nyata bagi bangsa Indonesia. Para koruptor yang dijuluki “tikus berdasi” masih tetap menggerogoti bangsa ini. Para koruptor tumbuh subur, patah tumbuh hilang berganti di berbagai lembaga, mulai dari centra kekuasaan Negara seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif hingga tingkat kelurahan, bahkan sampai tingkat RT. Koruptor telah ada sejak Negeri ini merdeka, mulai dari orde lama, orde baru hingga masa reformasi. Bahkan yang sangat memperihatinkan adalah di masa reformasi ini para koruptor malah semakin merata dan mengganas.
        Menurut catatan Litbang Kompas, selama tahun 2005 sampai tahun 2009 saja, terjadi kasus korupsi besar di 21 lembaga, mulai dari lembaga Negara seperti penegak hukum, BUMN, departemen, pemerintah daerah, partai politik hingga para anggota parlemen (dalam Muhammadun, 2011: 4). Sementara pada tahun 2010 tercatat ada tiga kasus besar yang menonjol ketika itu, yakni pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century, mafia pajak yang melibatkan mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Gayus Tambunan, dan pembagian cek perjalanan saat pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia tahun 2004.
         Para koruptor muncul silih berganti dan semakin mengganas bahkan bertambah banyak setiap tahunnya. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dimuat Riau Pos (24/12/2011) disebutkan bahwa kasus korupsi di tahun 2011 meningkat bila dibanding tahun sebelumnya. Di mana ada 59 persen atau 175 terlapor tindak pidana korupsi dari 294 laporan tindak pidana sepanjang tahun 2011. Kemudian pada tahun 2012 ini, kita dihebohkan oleh kasus korupsi wisma atlet, proyek hambalang dan kasus simulator SIM.
           Tindakan korupsi telah merusak seluruh sistem kehidupan dan mengubur nilai-nilai Agama dan warisan luhur para pendiri bangsa. Sehingga berakibat pada rapuhnya pembangunan, lumpuhnya ekonomi, lemahnya penegakan hukum, tersumbatnya pendidikan, meningkatnya angka kemiskinan dan pada akhirnya berpotensi menghancurkan bangsa ini. Sungguh tindakan korupsi merupakan perbuatan keji dan berbahaya.
            Tindakan korupsi telah memusnahkan harapan berjuta anak bangsa di negerinya sendiri. Akses pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan menyempit akibat terampasnya hak mereka oleh ulah saudara sendiri. Perjuangan melawan korupsi ini menjadi lebih berat karena yang akan dihadapi adalah “anak kandung” bangsa ini.
           Tindakan korupsi yang terjadi di negeri ini membutuhkan perjuangan anak bangsa. Perjuangan yang takkan pernah berhenti selama hayat masih dikandung badan. Generasi bangsa saat ini harus berjuang sebagaimana para pahlawan bangsa ini telah berjuang. Apapun posisi kita di negeri ini tetap berperan penting dalam berjuang melawan tindakan korupsi di Indonesia.

Pahlawan Masa Kini
      Setiap zaman memang selalu menghadirkan tantangan berbeda. Zaman kita saat ini tidaklah sama dengan zaman sebelum kemerdekaan. Jika dulu para pendahulu kita menjadi pahlawan karena merebut kemerdekaan, maka kini kita harus menjadi pahlawan dalam pemberantasan korupsi. Walau dalam konteks berbeda, namun memiliki cita-cita yang sama untuk membangun negeri yang bernama Indonesia. Karenanya, sebutan pahlawan pantas diperuntukkan bagi setiap orang yang berperang melawan korupsi. Dengan pemahaman ini, kiranya gelar “pahlawan” dapat disandang oleh setiap anak negeri yang telah berjuang memberantas tindakan korupsi yang telah mengakar dan menjalar di negeri ini.
       Pahlawan anti korupsi tidak dituntut untuk berperang dengan bambu runcing maupun senjata modern yang serba canggih. Pahlawan anti korupsi adalah mereka yang berani mengungkap skandal korupsi tanpa tebang pilih pada seluruh lapisan birokrasi pemerintah dan peradilan di negeri ini. Pengungkapan skandal korupsi harus didasari dengan niat yang tulus dalam rangka menegakkan kebenaran, bukan karena sebuah kepentingan kelompok tertentu.
        Pahlawan anti korupsi harus siap berkorban jiwa dan raga. Karena koruptor bukanlah musuh biasa yang tidak begitu kuat melakukan perlawanan, melainkan musuh yang hebat dan selalu melakukan perlawanan. Karena itu, siapa saja yang berusaha melawan koruptor akan mendapat perlawanan hebat. Para pahlawan anti korupsi pasti akan dihajar fitnah, digempur perang opini, dan dilemahkan dengan semua cara. Karenanya, semua pahlawan anti korupsi harus selalu tangguh dan pantang menyerah.
         Pahlawan anti korupsi dapat berasal dari kalangan dan kelompok mana saja. Karena perang melawan korupsi bukan hanya urusan para penegak hukum tapi tanggung jawab seluruh komponen bangsa, melibatkan semua orang, semua pihak, pada semua level, dan semua masyarakat Indonesia. Tentunya perjuangan melawan korupsi ini dilakukan sesuai dengan kapasitas kita masing-masing.
Dalam hal ini, setiap anak bangsa harus giat melakukan gerakan-gerakan anti korupsi dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar, karena setiap anak bangsa bertanggungjawab dalam mengajak pada kebaikan dan melarang berbuat keburukan. Bagi pemimpin dan penegak hukum, berkewajiban menegakkan keadilan, jangan hanya bergairah ketika mengadili anak negeri yang dituduh mencuri sandal jepit dan lemah tak berdaya ketika mengusut dan mengadili kasus korupsi besar seperti, kasus Bank Century, wisma atlit, proyek hambalang, serta kasus-kasus korupsi besar lainnya.
          Kita berharap peringatan Hari Pahlawan tahun ini tidak hanya menjadi upacara seremonial yang hampa makna belaka. Mudah-mudahan melalui peringatan Hari Pahlawan ini, semangat perjuangan para pejuang bangsa ketika melawan penjajah dapat mengalir dalam darah anak bangsa dalam memerangi tindakan korupsi. Sehingga akan lahir para pahlawan baru yang siap berkorban jiwa dan raga demi terciptanya Indonesia bebas korupsi,  Semoga. Wallahu A’lam.

 Artikel ini bisa anda download dalam format PDF dan Word. klik tombol download di bawah.