Bertamu ke Rumah Tuhan


Oleh: Susanto Al-Yamin

RIBUAN tahun yang lalu, di tanah kering dan tandus, di tengah kegersangan kawasan yang meranggas, di antara bukit-bukit bebatuan yang ganas, sebuah panggilan suci dikumandangkan. Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk mengumandangkan seruan haji: “Kumandangkanlah panggilan kepada manusia untuk melaksanakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS. Al-Hajj: 27).

Lalu Nabi Ibrahim menjawab: “Suaraku tidak akan dapat didengar oleh mereka ya Allah”. Kemudian Allah berfirman: “Engkau hanya mengumandangkan, Aku (Allah, red) yang akan memperdengarkannya”. Kemudian Nabi Ibrahim berdiri di dekat Kabah untuk mengumandangkan panggilan suci itu kepada seluruh umat manusia.

Sejak saat itu, panggilan haji telah didengar dan diketahui oleh setiap muslim melalui kitab suci (Alquran) dan risalah para nabi. Allah mewajibkan bagi setiap muslim yang mampu (istitho’ah) untuk memenuhi-nya. Istitho’ah adalah persyaratan utama ibadah haji secara mutlaq menurut ulama fikih berdasarkan QS Ali Imran/3: 97. 

Makna mampu di sini meliputi keuangan, ilmu, kondisi keamanan, kendaraan (transportasi) serta kondisi fisiknya. Jadi, tidak wajib hukumnya memenuhi panggilan ibadah haji, ketika kondisi fisik lemah, finansial juga lemah. Tetapi, jika dia bisa sampai ke Makkah, kemudian bisa melaksanakan haji dengan sebaik-baiknya, maka hajinya sah. Dengan demikian, tidak diterima alasan seorang muslim yang mampu (istitha’ah) untuk tidak menunaikan ibadah haji dengan alasan tidak ada panggilan atau undangan dari Allah. 

Undangan untuk menunaikan haji adalah undangan Allah yang Maha Pengasih, sehingga jamaah haji disebut Dhuyuf al-Rahman (tamu-tamu Allah Yang Maha Pengasih) karena mereka berkunjung ke Baitullah (Rumah Allah). Baitullah adalah tempat suci dan mulia. Setiap tamu yang ingin mengunjunginya dituntut untuk membersihkan diri lahir dan batin (tadzkiyah al-nafs) terlebih dahulu. Karenanya, pelaksanaan ibadah haji dimulai dengan miqat di tempat yang telah ditentukan.

Di miqat, para tamu Allah diwajibkan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini. Pakaian adalah lambang status yang dapat memicu sikap diskriminasi, keakuan, kesombongan, dan egois. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Pakaian telah memecah belah anak-anak Adam, karena itu, para tamu Allah diperintahkan untuk melepaskan pakaian kemewahan duniawi dan menggantinya dengan pakaian kerendahan hati.

Pakaian ihram menuntun manusia untuk mengubur pandangan yang mengukur keunggulan seseorang karena kedudukan, harta, gelar, ras dan keturunan. Setelah memakai pakaian ihram, para tamu Allah disuguhkan dengan sejumlah “hidangan spiritual” yang sangat nikmat dan penuh makna. 

Para tamu dipersilahkan menikmatinya secara berurutan, mulai dari thawaf (mengelilingi Kabah), sa’i (berlari kecil antara bukit shafa dan marwa), wukuf di Arafah, mabit (bermalam) di Muzdalifah dan Mina, melontar jumrah hingga tahallul. Ketika menikmati hidangan tersebut, para tamu harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan serta menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah, seperti berbantah-bantahan, berhubungan suami-istri, berburu atau membunuh binatang, dan sejumlah larangan ihram lainnya.

Ibadah haji merupakan ritual yang sarat dengan simbolisasi makna. Ketika jamaah haji thawaf mengelilingi Kabah, maka para pelakunya akan merenungkan keunikan Kabah yang menghadap ke segala arah, yang melambangkan universalitas dan kemutlakan Allah SWT; suatu sifat Allah yang tidak berpihak tetapi merahmati seluruh alam.

Selanjutnya jamaah haji harus melakukan sa’i. Sa’i atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa mengandung pesan bahwa ritual tersebut melambangkan kegigihan dalam berjuang mengarungi tantangan hidup. 

Kemudian, para tamu Allah harus wukuf di Arafah. Arafah merupakan sebuah padang yang luas. Di tempat ini jutaan umat manusia dari berbagai suku dan bangsa larut dalam suasana bathin yang damai, mereka berkumpul sambil ber-doa mengharap ridha Ilahi, merenung dan memohon am-pun atas segala kesalahan yang telah dilakukan.

Setelah wukuf di Arafah, para jamaah menuju Muzdalifah  untuk mabit. Wukuf dilakukan pada siang hari, sementara mabit pada malam hari. Siang, melambangkan amal dan kerja keras, sedangkan malam melambangkan tahap kesadaran diri dengan lebih banyak melakukan konsentrasi di keheningan malam. Kemudian di Mina, jamaah melempar Jumrah.

Melempar jumrah juga merupakan lambang perlawanan manusia melawan penindasan dan kebiadaban. Demikianlah serangkaian kegiatan haji penuh makna yang harus diikuti    oleh setiap tamu Allah. Ibadah haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melain-kan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagai manusia.

Dengan kata lain, orang yang sudah bertamu ke rumah Allah (berhaji) haruslah menjadi manusia yang “tampil beda” (lebih baik hidupnya) dibanding sebelumnya (haji mabrur). 

Tulisan ini bisa anda download dalam format PDF dan Word silakan klik tombol download dibawah



Pondok M2IQ RIAU
Email : pondokm2iqriau@gmail.com

0 komentar:

Post a Comment