MULTIKULTURAL DALAM PIAGAM MADINAH (Kajian Konsep Islam dalam Pembentukan Masyarakat Madani)

Oleh : Nabila el Chirri

tulisan ini bisa di download dalam file ms.word :
Multikultural Dalam Piagam Madinah.doc

A.  Pendahuluan
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ ...... ﴿١٤٣

Artinya : dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (al-Baqarah(2) : 143)

      Ayat di atas menjelaskan tentang penegasan Allah dalam al-Quran mengenai eksistensi umat Islam yang ummatan wasaton, yaitu umat yang ideal dan  moderat(umat yang adil) (Ahmad bin Hanbal, 1999: 11271) dan menurut Quraisy Syihab (1999: 328) ummat wasathan adalah umat yang tidak memihak ke kiri atau ke kanan sehingga dapat mengantar manusia berprilaku adil dalam keberagaman sosial masyarakat.  Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa umat Islam harus menjadi syuhada’ (bukti) atau saksi umat yang wasatan di tengah-tengah umat islam  atau umat lainnya. Allah juga tidak menjadikan umat yang satu, tetapi sebaliknya Allah menjadikan berbagai macam ragam bentuk budaya, etnis, suku, agama dan bahasa. Walaupun pada dasarnya tiada mustahil bagi Allah menjadikan umat yang satu. Seperti firman Allah :
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ﴿١١٨
Artinya : Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat. (Q.S. Hud(11) : 118)

Konsep pertama dalam surat al-Baqarah di atas pada dasarnya mampu mengakomodir keberagaman manusia, yang diciptakan dari berbagai bentuk suku,budaya,  etnis, agama dan bahasa. Sehingga perlu pemahaman yang matang untuk saling memahami keberagaman tersebut, inilah yang menjadi substansi dari multikultural, sebagai istilah yang digunakan untuk menjelaskan tentang ragam kehidupan dunia atau berbagai macam budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat (lihat, KBBI, 2007: 762).  Contoh besar itu telah dibuktikan oleh sejarah dalam kehidupan Rasul ketika beliau hijrah ke Madinah, yang disebut dengan piagam Madinah. Piagam Madinah menjadi sebuah jawaban dalam keberagaman budaya di Madinah sehingga menjadi ciri khas kota tersebut yang berbanding terbalik dengan kota Mekkah. Terbukti selama 13 tahun berdakwah di Mekkah beliau belum berhasil membentuk komunitas Islam yang bebas dan merdeka , tetapi di Madinah justeru mampu membentuknya bersama komunitas lain seperti kaum Yahudi dan kaum Nasrani, dalam rangka toleransi dan menjaga keharmonisan dalam suatu masyarakat yang madani, yang mana asal kata “madani” itu sendiri berasal dari “Madinah” yang berarti masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan di berbagai bidang baik ekonomi, sosial, politik maupun budaya.
      Namun, untuk menjadikan satu masyarakat madani bukanlah hal yang mudah, contoh kecil Indonesia, yang kita ketahui terdiri dari beragam suku, budaya, etnis dan sistem kepercayaan ini semuanya sudah ada sejak dahulu, hingga lahirlah istilah “ Bhinneka Tunggal Ika” berarti berbeda-beda tapi tetap satu. Namun, keberagaman itu terkadang menjadi muara perpecahan di Indonesia. Lalu, bagaimana Negara ini menyikapinya agar  tercipta masyarakat yang madani  seperti masyarakat kota Madinah?
      Untuk menjawab itu semua maka akan dibahas secara satu persatu, seperti apa yang dimaksud dengan multikultural, kemudian bagaimanakah konsep multikultural dalam piagam Madinah serta bagaimana konsep Islam dalam pembentukan masyarakat madani?  persoalan tersebut akan diurai dalam tulisan berikut.

 B.  Pengertian Multikultural
      Secara etimologi multikultural  berasal dari dua kata yaitu multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau kebudayaan).  Sedangkan secara terminologis, multikultural adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, agama dan politik yang dianut.
      Dari kata multikultural biasanya timbul pula istilah multikulturalisme, yang mendapat imbuhan “isme”  berarti paham.  Menurut Abdullah, multikulturalisme adalah sebuah faham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada, dengan kata lain bahwa penekanan multikulturalisme adalah kesetaraan budaya. Maka, multikulturalisme adalah merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sebuah faham tentang kultur yang beragam, dalam keragaman kultur ini meniscayakan adanya pemahaman, saling pengertian, toleransi dan sejenisnya, agar tercipta sebuah kehidupan  yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan (Ngainun Naim dkk, 2011: 125).
     
C. Rasulullah Merupakan Rahmatan li al-Alamin
       Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw dan umat Islam selama kurang lebih 13 tahun di Mekkah terhitung sejak pengangkatan Muhammad saw sebagai Rasul, belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat islam menjadi satu komunitas yang  bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrah ke Madinah, kota yag sebelumnya disebut Yatsrib (Harun Nasution, 1985: 88),  dinamakan Yatsrib karena seseorang yang membangunnya bernama Yatsrib bin Lauz  bin ‘Amliq bin Sam bin Nuh.  Kemudian diabadikan namanya sebagai nama kota tersebut. Ketika Nabi Muhammad saw  hijrah ke sana beliau menggantikan nama itu menjadi Madinah yang berasal  dari kata  tamaddun, yaitu  peradaban atau sesuatu tatanan yang tolak ukurnya adalah hukum, undang-undang atau kesetaraan. Inilah menjadi pondasi dasar nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya membangun peradaban  kota Madinah yang dikenal  dengan masyarakat madani (civil society). Untuk mengatur tata kehidupan yang berbagai macam ragam tersebut maka dibuatlah piagam Madinah (Ahmad Sukardja, 2012: 2).
       Seperti diketahui , saat hijrah ke Madinah  Rasulullah dihadapkan dengan berbagai macam ragam bentuk masyarakat, masyarakat yang masing-masing golongan bersikap bermusuhan terhadap golongan lain, terdiri dari 4 golongan besar dan masyhur saat itu. Di antaranya  muslim pendatang yaitu kaum muhajirin,  muslim pribumi (anshar)  yaitu ‘auz dan khazraj, umat  yahudi yang terdiri dari Bani Quraizhah, Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan umat Nashrani. Untuk itu, beliau melihat perlu adanya penataan dan pengendalian sosial dalam mengatur hubungan-hubungan antar golongan di bidang sosial,ekonomi, politik dan agama.
       Untuk membangun tatanan sosial dan keagamaan antara muslim dan non muslim di Madinah saat itu, maka Beliau membuat beberapa langkah. Langkah pertama adalah mempersatukan  umat muslim yang ada di Madinah, beberapa langkahnya sebagai berikut :

1. Membangun masjid,  selain sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan sebuah lembaga social kemasyarakatan (Syarif, Ahmad Ibrahim, 1972: 87),  dalam rangka persatuan umat islam dan menjadi tempat untuk pengajaran serta mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kaum muslimin dan penduduk kota Madinah. Kehadiran setiap orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda baik dari suku atau golongan menjadi prinsip pendirian mesjid, sehingga konsep masjid dapat diartikan sebagai symbol ajaran multikulturalisme di dalam islam.

2. Mempersaudarakan antara muhajirin dan anshar, Beliau melakukan hal ini karena menyambung tali silaturahmi akan memberikan keberkahan bagi hamba-Nya. Menurut Imam al-Qurthubi, secara umum kerabat dibagi menjadi dua yaitu kerabat umum dan kerabat khusus, maka persaudaraan antar muhajirin dan anshar ini termasuk persaudaraan umum karena terjalin dari faktor agama (Asy-Syahri, Shalih bin Ali, :57).   Usaha Rasul menyatukan dua golongan yang berbeda itu menimbulkan kesan mendalam, sejarah mencatat dengan tinta emas betapa indah dan tulusnya persaudaraan antara mereka (Yunahar  Ilyas, 2014: 222).  Ini merupakan fakta bahwa persaudaraan tersebut salah satu cara efisien. Misalnya persaudaraan antara Abu Bakar (muhajirin) dengan Kharijat bin Zuhair (anshar), Umar bin khattab (muhajirin) dengan ‘Itban bin Malik al-Khazraj (anshar) dan lain-lain. Hal ini merupakan  manifestasi dari firman Allah SWT :
 إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚوَاتَّقُوا اللَّـهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿١٠
“orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”(Q.S. al-Hujurat(49) : 10)

Jika langkah pertama dan kedua diatas ditujukan khusus kepada konsolidasi umat Islam, maka langkah beliau selanjutnya beliau tujukan kepada seluruh penduduk Madinah yaitu Muhajirin, Anshar, Yahudi dan Nashrani. untuk itulah beliau membuat sebuah perjanjian tertulis atau piagam yang menekankan pada persatuan yang erat  di kalangan kaum muslim dan non muslim, menjamin kebebasan beragama, menekankan kerja sama serta persamaan hak dan kewajiban bagi semua golongan. Hal ini merupakan suatu bukti yang menunjukkan  bahwa Nabi Muhammad merupakan Rasul bagi seluruh alam  atau Rahmatan li al-‘Alamin (Yusuf al-Qaradhawi, 2000: 58), dan juga merupakan bukti bahwa Beliau telah mempraktekkan sistem multikultikulturalisme,karena pada faktanya Beliau mampu membuat  umat  muslim dan non muslim bersatu dalam satu naungan dan masyarakat yang madani dengan dirumuskannya Piagam Madinah.

D.  Piagam Madinah dan Ajaran Multikulturalisme
      Menurut Ibnu Hisyam dalam kitab syarahnya Sirah Nabawiyah, piagam Madinah merupakan suatu   konstitusi yang dibuat oleh Rasulullah dalam membangun peradaban kota Madinah, menurut Imam Ali ra kesahihan piagam madinah berada setelah al-Qur’an, yang terdiri dari 47 pasal yang menjelaskan tentang tatanan masyarakat sosial Madinah.
      Adapun Prinsip-prinsip dalam piagam madinah ini adalah sebagai berikut :
      Pertama, Prinsip persatuan dan persaudaraan antar keberagaman suku serta berlaku adil satu sama lain, yang termaktub dalam piagam tersebut pada pasal 1-10 (Pulungan, J. Suyuthi, 1994: 141-142).  Prinsip ini sesuai dengan firman Allah :
إِنَّ اللَّـهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ﴿٩٠ 
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”(Q.S. al-Nahl(16) : 90)

Kedua, prinsip kebebasan beragama, penetapan prinsip ini merupakan jawaban terhadap situasi sosial penduduk Madinah yang memiliki keragaman komunitas agama dan keyakinan di kota itu (Pulungan, J. Suyuthi, 169). Prinsip ini sesuai dengan pasal ke 25 dalam piagam Madinah, serta bersesuaian dengan firman Allah yang berbunyi :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّـهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗوَاللَّـهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿٢٥٦
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”(Q.S. al-Baqarah(2) : 256)

      Ketiga, Prinsip tolong menolong antara umat muslim dan kaum yahudi, termaktub pada pasal 11-18 (Pulungan, J. Suyuthi, 189). Prinsip ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang berbunyi :
المؤمن للمؤمن كا البنيان يشدّ بعضه بعضا
Orang mukmin bagi orang mukmin lain seperti sebuah bangunan sebagiannya memperkokoh sebagian yang lain (jamius shagir, lihat Bukhari,   No. 2266:315).

      Keempat, Prinsip perdamaian antara muslim dan yahudi pada pasal 45 (Pulungan, J. Suyuthi, 196). Prinsip ini sesuai dengan firman Allah ta’ala :

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah”.

      Kelima,  Prinsip saling menghormati dalam hidup bertetangga hal ini termaktub pada pasal 40-41 dalam piagam. Dan prinsip ini sesuai dengan firman Allah :
وَاعْبُدُوا اللَّـهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا ﴿٣٦
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,”  (QS. Al-Nisa’(3) : 36)

Prinsip-prinsip di atas merupakan rangkuman yang ada dalam piagam Madinah, secara tidak langsung jika diperhatikan piagam tersebut telah mempraktekkan sistem multikulturalisme, yang pada kenyataannya mampu membawa pada kehidupan yang madani.

E. Konsep Islam dalam Pembentukan Masyarakat Madani
      Menurut Nurcholish Madjid masyarakat madani adalah suatu tatanan kemasyarakatan yang mengedepankan toleransi, demokrasi, dan berkeadaban serta menghargai akan adanya kemajemukan.
      Kemudian, jika diamati dan dicermati kehidupan pada masyarakat madani ini , maka didapati beberapa karakter untuk  mampu hidup seimbang baik di dunia maupun akhirat. Dalam hal ini Yusuf al-Qaradhawi mencatat di dalam bukunya al-Khasha'ish al-?Ammah li al-Islam ada tujuh karakteristik  dalam hal tersebut. Ketujuh karakteristik tersebut antara lain; ketuhanan (al-rabbaniyah), kemanusiaan (al-insaniyyah), komprehensifitas (al-syumuliyah), kemoderatan (al-wasathiyah), realitas (al-waqi`iyah), kejelasan (al-wudhuh), dan kohesi antara stabilitas dan fleksibelitas (al-jam’ bayna al-tsabat wa al-murunah).
      Ketujuh karakteristik inilah yang kemudian menjadi pegangan setiap Muslim dari masa ke masa. Dari ketujuh karakteristik tersebut, ada dua karakteristik yang menjadi tolok ukur pembangunan masyarakat madani, yaitu humanisme (al-insaniyyah) dan kemoderatan (al-wasathiyyah). Lima karakteristik lainnya kecuali al-rabbaniyyah sekurangnya mampu dikategorikan ke dalam kategori toleran (al-samahah). Sebab , menurut al-Qaradhawi, al-rabbaniyah merupakan titik klimaks dari masyarakat madani itu sendiri (Yusuf al-Qaradhawi, 2008: 52).
      Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Rasulullah mengajarkan tiga karakteristik keislaman yang menjadi fondasi pembangun masyarakat madani, yaitu masyarakat yang humanis, masyarakat yang moderat, dan masyarakat yang toleran. Yang akan dijelaskan di bawah ini.
     
1. Masyarakat yang Humanis
      Yang dimaksud dengan masyarakat yang humanis di sini adalah bahwa substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah, semuanya sesuai dengan fitrah manusia. Allah berfirman,
 فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّـهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّـهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٣٠
"Maka hadapkalah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah tersebut. Tidak ada perubahan terhadap fitrah Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." (Q.S. al-Rum(30) : 30)

      Karena itu, dalam aktualisasinya, ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah  dengan mudah diterima oleh akal pikiran manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam sejatinya adalah ajaran yang memanusiakan manusia dengan sebenar-benarnya.
      Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa berdasarkan fitrahnya manusia  memiliki kecendrungan untuk melakukan hal-hal yang bersifat baik dan buruk, sebab dalam al-Qur’an juga telah disebutkan bahwa manusia diberi sifat yang baik ( taqwa) maupun buruk (fuujur). Dalam hal ini, lingkungan memberikan pengaruh yang begitu kuat dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Islam, sebagai agama paripurna, diturunkan tiada lain untuk mengarahkan manusia kepada hal yang bersifat membangun dan mendatangkan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam permasalahan ini, manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalannya sendiri tatkala telah dijelaskan, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang terpuji dan mana yang tercela.
      Islam berhasil mengatur hak-hak personal dan hak-hak sosial secara seimbang, sehingga melahirkan nilai-nilai persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan universal
      Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut, manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna. Kesempurnaan itu akan berimplikasi pada kesempurnaan tatanan hidup bermasyarakat jika manusia mengikuti instruksi-instruksi Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat al-Isra’ ayat 23-34 (Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, 2002: 21-22).
     
2. Masyarakat yang Moderat
      Yang dimaksud dengan masyarakat yang moderat adalah keseimbangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Kemoderatan pulalah yang membedakan substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah  dengan ajaran-ajaran lainnya, baik sebelum Rasulullah  diutus maupun sesudahnya. Secara etimologis, kata 'moderat' merupakan terjemahan dari al-wasathiyah yang memiliki sinonim al-tawazun (keseimbangan) dan al-i?tidal (proporsional) (Lihat Munjid, 2005: 900). Dalam hal ini Allah  menjelaskan karakteristik umat Rasulullah sebagai umat yang moderat. Seperti firman allah dalam surat l-baqarah 143 :

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan.”

      Dalam histori kehidupan Rasulullah, hal seperti ini sudah secara sempurna diaplikasikan Rasulullah. Terbukti adanya hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah pernah berkata dalam penggalan doanya, "Ya Allah, perbaikilah agamaku sebab ia adalah penjaga urusanku. Perbaikilah pula duniaku karena di sinilah tempat hidupku. Dan perbaikilah pula akhiratku kerena di sanalah tempat kembaliku", (Lihat Shahih Muslim, 2720).
      Dari kemoderatan inilah konsepsi-konsepsi kemasyarakatan yang asasi diturunkan menjadi konsep yang utuh dalam membangun masyarakat Madinah yang solid dan memegang teguh nilai-nilai dan norma keislaman. Konsep-konsep kemasyarakatan tersebut adalah keamanan, keadilan, konsistensi, kesolidan, superioritas, dan kesentralan (Yusuf al-Qaradhawi, 2008: 119-122). Konsep integral inilah yang kemudian merasuk ke alam bawah sadar setiap masyarakat madinah yang diiringi dengan aktualisasi konsep tersebut secara multidimensi, sehingga lambat laun konsep tersebut menjadi identitas keislaman yang diajarkan Rasulullah di Madinah dan menjadi masyarakat tauladan bagi siapa saja yang datang setelahnya.
     
3. Masyarakat yang Toleran
      Kata toleran merupakan terjemahan dari al-samahah atau al-tasamuh yang merupakan sinonim dari kata al-tasahul atau al-luyunah yang berarti keloggaran, kemudahan, fleksibelitas, dan toleransi itu sendiri (Munjid ). Kata 'toleran' di dalam ajaran Islam memiliki dua pengertian, yaitu yang berkaitan dengan panganut agama Islam sendiri (Muslim), dan berkaitan dengan penganut agama lain (Nonmuslim).
      Jika dikaitkan dengan kaum Muslimin, maka toleran yang dimaksud adalah kelonggaran, kemudahan, dan fleksibelitas ajaran Islam bagi pemeluk-pemeluknya.  Sebab pada hakikatnya, ajaran Islam telah dijadikan mudah untuk dipahami maupun diamalkan. Sehingga Islam sebagai rahmatan li al-alamin benar-benar dimanifestasikan di dalam konteks masyarakat Madinah pada masa Rasulullah.
      Bukti logis bahwa Islam sebagai rahmatan li al-alamin yang baik pada setiap zaman dan tempat, maka substansi ajaran Islam harus benar-benar mudah dipahami dan mudah pula untuk diamalkan. Sehingga di dalam perjalanannya, banyak didapati teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menyinggung masalah tersebut. Allah berfirman,

 "Allah tidak membebani seseorang hamba, melainkan pembebanan tersebut sesuai dengan kesanggupannya." (Q.S. al-Baqarah(2) :286)

"Allah hanya menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran sedikit pun." (Q.S. al-Baqarah(2) : 185)

      Maka tatkala ajaran Islam memiliki konsekuensi supaya sesuai dengan fitrah dan kondisi manusia, Allah pun mengetahui sifat lemah pada diri manusia sehingga Ia mengatakan,

 "Allah hanya menghendaki keringanan untuk kalian, dan manusia telah diciptakan dalam keadaan lemah." (Q.S. al-Nisa’(4) : 28)

      Inilah bentuk kemudahan dan kenyamanan dalam ajaran Islam, dan juga masih banyak teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menjadi bukti bahwa ajaran Islam sangat mencintai kemudahan, kasih sayang, dan kedamaian bagi para pemeluknya, maupun terhadap mereka yang berbeda agama, sebagai upaya mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai dan norma keislaman. Sehingga ajaran Islam yang mengarah kepada kekerasan dan sikap non toleran pun tidak akan didapati sedikit pun, kecuali pada dua hal:
      pertama, ketika berhadapan dengan musuh di dalam peperangan, bahkan Allah memerintahkan untuk bersikap keras, berani, dan pantang mundur (Lihat al-Taubah : 153). Hal tersebut diperintahkan untuk menjaga marwah Islam dan tidak memungkinnya berlemah lembut di hadapan musuh, ini semua demi kemenangan dan kejayaan Islam.
      Kedua, tegas  dalam menegakkan serta melaksanakan konsekuensi hukum syar’i ketika  dilanggar. Sehingga Allah tidak mengenal belas kasihan terhadap orang yang melanggarnya.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّـهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”(an-Nur : 2)
     
     
      Sikap keras dan tegas ini merupakan upaya untuk menghindari penyebab terganggunya konstelasi kehidupan bermasyarakat yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma kemanusiaan.
      Pada realnya, jika kita cermati hukum-hukum Islam seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain, kita akan mendapati kemudahan di sana. Kita juga akan mendapati berbagai indikasi augmentatif yang secara tidak langsung mengukuhkan eksistensi setiap anggota masyarakat sebagai khalifah di muka bumi, baik aspek personal maupun sosial, seperti peningkatan mutu kepribadian seseorang, baik yang berbentuk konkret maupun abstrak atau perintah untuk membangkitkan kepekaan sosial yang dibangun atas dasar persaudaraan dan solidaritas. Karena itu, dalam perjalanan sejarahnya syariat Islam tidak pernah menghambat laju peradaban. Islam justru selalu mendorong umat manusia untuk melakukan inovasi demi kemaslahatan manusia banyak. Islamlah yang senantiasa menyeru umat manusia untuk tekun menuntut ilmu dan melakukan berbagai kegiatan ilmiah guna menunjang eksistensi atau keberlangsungan umat di dunia ini (Lihat 58:11, 6: 50).
      Sedangkan jika kata toleran dikaitkan dengan Nonmuslim, maka yang dimaksud adalah nilai-nilai toleransi yang dipahami oleh khalayak pada umumnya. Dalam hal ini, ajaran Islam sangat menghargai perbedaan keyakinan. Mereka yang berbeda keyakinan akan mendapatkan hak-hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Dengan kata lain, Islam benar-benar menjamin keselamatan dan keamanan jiwa raga mereka, selama mereka mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Darah mereka haram ditumpahkan sebagaimana darah kaum Muslimin. Allah  berfirman,

"Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan ketentuan yang sesuai." (Q.S. al-An’am: 151)

      Rasulullah juga bersabda, "Barang siapa yang membunuh dzimmi (Nonmuslim yang hidup di daerah kaum Muslimin dengan ketentuan yang telah disepakati) tanpa alasan yang jelas, maka Allah mengharamkan baginya masuk surga" ( Raghib al-Sirjany, 2010: 22).
      Umar Abdul Aziz Quraisyi menjelaskan bahwa sikap toleran Islam terhadap penganut agama lain dibangun atas empat dasar:
      pertama, dasar nilai-nilai keluruhan sebagai sesama manusia, meskipun dari beragam agama, etnis, dan kebudayaan
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا ﴿٧٠ 
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”  (al-Isra : 70)

      kedua, dasar pemikiran bahwa perbedaan agama merupakan kehendak Allah semata,
 وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ ﴿٩٩
“dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? “(QS. Yunus : 99 )

       ketiga, dasar pemikiran bahwa kaum Muslim tidak berhak sedikit pun untuk menjustifikasi kecelakaan mereka yang berlainan keyakinan selama di dunia, karena hal itu merupakan hak Allah di akhirat kelak, sedangkan
       keempat, adalah pemikiran bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil dan berakhlak mulia, meskipun terhadap mereka yang berlainan agama.
Beberapa hal di atas merupakan trik-trik Rasulullah dalam membentuk Madinah sebagai kota yang aman serta kota yang dihuni dengan masyarakat yang madani dan bermartabat. Jika kita bandingkan dengan negara-negara yang ada saat ini seperti Indonesia, apakah system yang telah dipraktekkan Rasulullah tersebut  juga dipraktekkan oleh Indonesia? tentu sudah dipraktekkan. Terbukti dari keberagaman suku, agama, bahasa, budaya dan etnis yang ada di Indonesia dapat bersatu di bawah naungan pancasila, sebab isi pancasila sebagai dasar Negara berasal dari syariat islam. Sedangkan, islam di Indonesia saat ini merupakan agama mayoritas, sehingga islam selalu menghargai seluruh perbedaan yang ada baik dari segi agama, ras, suku, budaya dan etnis. Sehingga, Indonesia bisa bersatu dan tidak pecah. Karena pada dasarnya setiap Negara yang didominasi oleh umat muslim tidak akan memerangi umat non muslim. Namun, jika dilihat kembali pada sebuah Negara yang mana Islam merupakan agama minoritas, maka muslim di dalamnya  seperti terpenjara, tidak bebas untuk menjalankan syariat agamanya, seperti kisah seorang pendatang Indonesia yang bekerja di sebuah perusahaan besar di Eropa, menyatakan kekecewaannya karena tidak adanya kebebasan di kantornya untuk melaksanakan ibadah salat jika sudah tiba waktunya, sehingga ia harus mencuri-curi kesempatan dan waktu untuk melaksanakan ibadah tersebut. Ini merupakan satu bukti bahwa muslim minoritas pada umumnya didiskriminasikan, yang pada dasarnya harus menghargai hak satu sama lain baik beragama maupun berbudaya.
      Dari itu, Islam jelas-jelas mampu menghargai hak dan kewajiban satu sama lain, sehingga tidak mengesampingkan makna dari umat yang ideal tersebut serta mampu menjadi contoh bagi umat lain. Inilah konsep multikulturalisme dalam Islam yang mampu menghantarkan umatnya ke gerbang masyarakat madani (civil society).
     
F. Kesimpulan
      Konflik keberagaman yang ada di Indonesia akhir-akhir ini, berpotensi membawa kepada perpecahan Negara berlambang pancasila ini. Tentu harus ada solusi untuk mengembalikan “Bhinneka Tunggal Ika” ini kepada arti kata yang sebenarnya yaitu “berbeda tapi tetap satu jua”. Maka,  jika Negara ini ingin menjadi Negara yang madani, langkah untuk menciptakannya adalah pemerintah bersama masyarakat harus saling bekerja sama dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing, seperti menegakkan kehidupan berdemokrasi dan berlaku adil, adanya persamaan hak dan kewajiban satu sama lain, kebebasan dalam menentukan agama yang dianut serta bermusyawarah demi memajukan Negara.
Jika Negara Pancasila ini ingin seperti Madinah, maka tiada kata mustahil untuk mewujudkannya. Mari  kita tilik kembali kepada ajaran umat Islam dahulu (awal), Dimana mereka tidak mendikotomikan dunia terhadap akhiratnya. Yakni tidak mementingkan dunia di atas akhirat maupun mementingkan akhirat di atas dunia. Mereka bersikap tawassuth dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Kemudian, negara juga harus memiliki masyarakat yang humanis yaitu yang memanusiakan manusia sebenar-benar manusia dan juga berupaya menjadi masyarakat yang toleran yang memberikan kelonggaran, kemudahan, dan fleksibelitas ajaran Islam bagi pemeluk-pemeluknya.  Sebab pada hakikatnya, ajaran Islam telah dijadikan mudah untuk dipahami maupun diamalkan.  Jika sikap yang melekat pada masyarakat madinah mampu dipraktekkan pada negara kita, niscaya kebangkitan Islam akan menunggu waktu saja. Semoga Negara ini mampu menjadi sebuah Negara madani serta mampu diisi dengan masyarakat madani pula. Amin.
Demikianlah akhir dari tulisan ini, penulis berharap semoga ada hikmah-hikmah yang dapat dipetik dan mampu diaktualisasikan dalam kehidupan bernegara khususnya Indonesia. Dan ungkapan akhir penulis jika ada kata-kata yang salah dalam penulisan ini, mohon ampun saya kepada Allah Swt mohon maaf kepada pembaca. Wallahu Muwafiq

1 komentar:

Post a Comment

AKHLAK DI ATAS FIKIH (Telaah Kritis Terhadap Metode Dakwah Salafi Wahabi)

oleh : Nabila El Chirri
tulisan ini bisa didownload dalam file ms.word :
Akhlak diatas fikih.doc

A.  Pendahuluan
      Syahdan, suatu ketika Hasan al-Banna masuk ke sebuah masjid pada bulan Ramadhan dan menghadapi sekelompok orang yang sedang bertengkar masalah fikih mengenai jumlah rakaat tarawih. Satu kelompok menyatakan bahwa rakaat tarawih berjumlah 11 rakaat, kel`ompok lain menyatakan 23 rakaat. Al-Banna lalu bertanya pada kelompok yang mendukung 11 rakaat: “Menurut kalian, apa hukumnya salat tarawih?”“Sunnah!” jawab mereka. Kepada yang 23 juga ditanya hal sama. Jawabnya: “Sunnah!” Lalu dia bertanya lagi: “Apa hukum bertengkar antara sesama kaum muslimin di masjid?” Semua sepakat menjawab “haram”. Al-Banna lalu menyadarkan mereka, “Mengapa kalian melakukan yang haram demi mempertahankan yang sunnah?”. Penggalan kisah ini merupakan suatu sikap bijaksana seorang Hasan al-Banna dalam mengatasi permasalahan umat.
      Salah satu perkembangan memprihatinkan di masyarakat Islam khususnya Indonesia belakangan ini, adalah makin kuatnya kecenderungan meninggalkan akhlak ketika menghadapi perbedaan dalam paham keagamaan. Hal ini diperparah oleh keadaan dengan munculnya paham keagamaan yang lebih fokus dalam membahas perkara kontraversial fikih daripada pembahasan akhlak sehingga terjadi benturan-benturan sosial pada masyarakat yang sangat mengkhawatirkan.
Salah satu contoh paham atau aliran keagamaan yang cukup fenomenal belakangan ini adalah apa yang disebut dengan Salafi Wahabi. Gagasan utama yang diusung oleh pendirinya,  Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya adalah, bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari jalan Allah yang lurus, dan hanya dengan kembali kepada satu-satunya ajaran agama yang benar. Abdul Wahab hendak membebaskan Islam dari semua perusakan yang diyakini telah menggerogoti agama Islam, diantaranya adalah tasawuf, doktrin perantara (tawassul) (Siradjuddin Abbas, 2008 : 361),  Syi’ah, serta masih banyak praktek lain yang dinilainya sebagai inovasi dari bid’ah.
      Fokusnya aliran ini terhadap kontraversial fikih membuat mereka mendapat peminat yang banyak khususnya orang-orang yang haus akan kebenaran dalam pengamalan ibadah. Doktrin yang ditanamkan bahwa sebaik-baik manusia dalam melaksanakan ibadah harus sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, menjadi bius yang kuat sehingga dimensi akhlak menjadi suatu yang dikesampingkan pada aliran ini. Merasa paling benar, merendahkan pendapat orang lain, menuduh tanpa memahami keadaan kultur masyarakat, menjadi momok yang membahayakan bagi kelangsungan dakwah Islam dan persatuan  umat.
      Bagaimana sepak terjang aliran Salafi Wahabi dalam mengesampingkan dimensi akhlak? Dan bagaimana konsep Islam dalam mendahulukan akhlak di atas fikih? Tulisan ini akan mengurai permasalahan tersebut dan sebagai solusi dalam menghadapi degradasi akhlak sehingga terwujudnya persatuan  umat.
   
B.  Sejarah Perkembangan Salafi Wahabi
      “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di masaku, kemudian yang mengikuti mereka(tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka(tabi’ al-tabi’in)”(Mundziri, Imam, al, 2012: 670). dari hadis ini salaf dimaknai sebagai “generasi tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah”, yakni para sahabat, para tabi’in dan tabi’ al-tab’in. oleh karena itu seorang salafi adalah seorang yang mengikuti ajaran-ajaran sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.
      Dari defenisi di atas, sebenarnya tidak ada yang salah dengan klaim salafi ini. Sebab, setiap muslim tentu mengakui legalitas para sahabat Nabi Saw dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya. Siapapun yang mengaku muslim sedikit banyak memiliki kadar ke”salafi”an dalam dirinya, meskipun pada dasarnya tidak perlu menggembar-gemborkan bahwa ia seorang salafi.
      Sayangnya, akhir-akhir ini istilah salafi ini sudah tercemar. Ada sebagian kelompok(sekte) yang begitu giat melakukan propaganda dan klaim sebagai satu-satunya kelompok salaf, dan menuding kelompok lain tidak mengikuti salaf. Kelompok yang mengaku-aku sebagai salafi ini adalah wahabi. Namun, mereka merasa risih disebut sebagai wahabi. Lalu, mereka berganti baju dengan menyebut dirinya salafi atau terkadang Ahlussunnah, ini semua dikarenakan imej buruk sudah melekat pada “wahabi”. Demikian yang dikemukakan oleh Ramadhan al-Buthi (Syaikh Idahram, 2011: 33-35).
      Semua orang yang mengetahui sejarah Arab pasti sudah mengetahui kemunculan Wahabi yang ditandai dengan pertumpahan darah kaum muslimin dikarenakan ketidak-inginan untuk taqlid terhadap pemahaman mereka. Lalu,Wahabi  melakukan propaganda untuk mempedaya kaum awam dengan ajakan kembali pada “pemahaman salaf”, namun jika dicermati mereka justeru melarang umat islam untuk mengikuti pemahaman salaf seperti imam mazhab yang empat (Hanafi, Malik, Syafi’I dan Ahmad).
      Pembuktian di atas menggambarkan bahwa wahabi bukanlah dari salafi atau pengikut salaf, lebih tepatnya disebut sebagai “salafi wahabi”. Yang diusung oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang berasal dan lahir di Uyainah, Najd, Saudi Arabia sebelah Timur pada tahun (1115-1201 H/1703-1787 M) (Nasir, Sahilun, A, 2012: 288).
   
C. Dakwah Wahabi
      Dakwah merupakan kepentingan setiap umat, guna menyampaikan ajaran-ajaran yang diyakini, setiap aliran atau golongan memiliki metode berdakwah yang berbeda-beda. Allah SWT juga menganjurkan kepada manusia untuk selalu menyeru kepada kebaikan(dakwah). Keharusan berdakwah ini tidak terlepas dari firman Allah SWT :
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿١٠٤﴾
“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”(Q.S. Ali Imran(4) :104)

      Demikian juga dengan wahabi, tentu memiliki metode dakwah yang sudah disepakati oleh kelompok mereka, maka untuk memahami aliran Wahabi ini secara mendalam, kita harus memahami metode atau cara apa sebenarnya yang digunakan oleh kelompok ini dalam menjalankan syi’ar dakwahnya.
      Sebenarnya ada dua metode dakwah salafi wahabi yang sering menjadi sorotan, dalam artian prakteknya sudah menjamur dimana-mana terutama di Arab Saudi, yang nyatanya tidak toleran terhadap umat. Namun, daripada itu  golongan ini tetap memiliki tempat berpijak sebagai dalil syiar mereka. Yang termaktub dalam firmanNya :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿١٢٥﴾
“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(Q.S. Al-Nahl(16) :125)

      Berpijak kepada ayat di atas Salafi Wahabi lebih menampakkan dan mengedepankan mujadalah dibanding mau’izhah dan hasanah, tentu metode seperti ini tidak memiliki keseimbangan dalam berdakwah, yang ternyata malah menimbulkan perpecahan sebab  hanya mengedepankan debat yang ujung-ujungnya menjurus kepada perselisihan umat. Dari sini, dakwah Wahabi dikenal sebagai golongan yang memaksakan kehendaknya, padahal di dalam Islam sendiri kebebasan dalam beragama pun mendapat toleransi, apa lagi hal yang hanya bersifat syariat.
      Kemudian, sifat dakwah yang dominan dilakukannya adalah seakan-akan hanya dia yang mampu memberi hidayah, sedangkan Nabi Saw saja yang sudah jelas tempatnya di sisi Allah Swt tidak bisa memberi hidayah pada pamannya Abu Thalib ketika beliau (pamannya) ingin menghembuskan nafas terakhir (Q. Shaleh, 2009: 402). Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿٥٦
Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”(Q.S. al-Qasas(28):56

   
Dua metode  dakwahnya yang terkesan ngotot serta tidak mempertimbangkan kebaikan dan keburukan yang ditimbulkannya ini haruslah diperbaiki, Wahabi tidak boleh memaksakan kehendaknya begitu saja (Jalaluddin Rakhmat, 1991: 22).
       Pada dasarnya kewenangan manusia dalam berdakwah juga tidak bisa terlepas dari hidayah. Jika Allah Swt memiliki iradah untuk menunjuki seseorang kepada  jalan yang lurus maka, itu merupakan hal yang sangat mudah bagi Allah Swt dan sebaliknya.
Dari pada itu, golongan ini memiliki beberapa materi pokok yang menjadi sentral pembahasan dalam melanggengkan aksi dakwah Wahabi, yang pada akhirnya ditemukan pergeseran nilai-nilai kebenarannya. Materi-materi pokok tersebut meliputi tauhid, tawassul, ziarah kubur, takfir, bid’ah, khurafat, ijtihad, dan taqlid. (Sahilun, 289). Yang dirangkum dalam poin-poin berikut :

a. Tauhid, merupakan ajaran pokok Wahabiyah, yang berbicara tentang keesaan Allah Swt. Seperti yang dipahami oleh umat Islam, tauhid dibagi menjadi tiga bagian: Pertama,  Tauhid al-Rububiyah yakni penegasan keesaan Allah, bahwasanya hanya Allah Swt sang Maha Pencipta alam semesta; Kedua, Tauhid Uluhiyah, menegaskan hanya Allahlah yang berhak disembah; Ketiga, Tauhid al-Asma’ wa al-Sifat (keesaan nama dan sifatnya) yang berhubungan dengan Sifat-sifat Allah Swt. Dari tiga pembagian tauhid tersebut, hanya Tauhid Uluhiyah lah yang dipegang oleh Wahabiyah untuk menjadi tolak ukur kemurnian tauhid umat. Sebab, hanya Allah lah yang wajib dan berhak untuk disembah. Namun, menurut Wahabiyah kebanyakan manusia yang menolaknya (tauhid uluhiyah) dan manusia lebih mengutamakan dua tauhid selebihnya yaitu Tauhid al-Rububiyah dan Tauhid al-Asma’ wa as-Sifat. Dari sinilah Wahabiyah berangkat mengkafirkan manusia yang tidak mengutamakan Tauhid Uluhiyah tersebut.

b. Menafsirkan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi secara tekstual/zahir teks dan literal, dengan meniadakan arti majazi/kiasan. Padahal, di dalam al-Qur’an didapati ayat-ayat yang muhkamat (jelas pengertiannya) dan ayat-ayat mutasyabihat (memerlukan takwil).  Sebagai contoh, di dalam al-Qur’an didapati kata-kata “tangan”
يد الله فوق أيديهم
Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka
Dilihat dari teks ayat di atas, bahwa kata-kata “yad” jika diartikan secara tekstual seperti yang dipahami oleh Wahabiyah berarti “tangan”. Ini menunjukkan bahwa Allah SWT memiliki tangan,  padahal kata “yad” tersebut merupakan ayat mutasyabihat yang jika ditakwil berarti “kekuasaan”. Ini salah satu contoh bahwa ayat-ayat dalam al-Qur’an tidak dapat dipahami hanya dengan cara zahir, sebab jika dipahami secara zahir saja, ini berarti Allah memiliki ruang dan waktu.

c. Penolakan keras terhadap praktik tawassul. Tawassul  adalah menjadikan orang-orang saleh dan suci yang memiliki kedudukan mulia di sisi Allah sebagai perantara untuk membantu terkabulnya permintaan dan doa kepada Allah Swt. Pandangan Wahabi terhadap ajaran ini sebagai perbuatan syirik, sebab mereka beranggapan bahwa itu merupakan sebagai keyakinan akan sekutu bagi Allah Swt. Karena itu, mereka menjatuhkan vonis syirik dan kufur bagi mereka yang bertawassul. Padahal di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa tanpa adanya perantara penghambaan kepada Allah Swt tidak bisa diwujudkan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣٥
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. al-Maidah (5) : 35)

Dalam ayat tersebut terdapat kata  “Wasilah” , yang masing-masing kelompok menafsirkannya dengan sudut pandang  yang berbeda. Wasilah yang dipahami oleh Ahlussunnah adalah menjadikan orang-orang yang saleh sebagai perantara untuk membantu diijabahnya doa atau keinginan mereka. Namun, Wahabi menolak keras terhadap ini, menurut pendapatnya ibadah harus merujuk kepada ucapan dan tindakan secara lahir dan batin yang diperintahkan Allah SWT. Bahwa meminta perlindungan kepada pohon, batu, dan semacamnya adalah syirik, demikian juga dengan praktek tawassul ini, yang mana Wahabi menyamakannya kepada pohon dan batu, sebab Nabi ataupun para Auliya’ tidak bisa memberi petunjuk kepada manusia.   Menurut Quraish Syihab menuliskan dalam Tafsirnya, bahwa kata  “Wasilah” diartikan sebagai sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan menyebut nama Nabi Saw dan para wali(orang-orang yang dekat kepada-Nya), yakni berdoa kepada Allah Swt guna meraih harapan demi Nabi atau para wali yang dicintai Allah Swt (Quraisy Syihab, 2002: 108-109).

Dan menurut K.H sirajuddin Abbas (1970 : 154) dalam bukunya 40 masalah agama bahwa tawassul harus dan sah baik ketika Rasul masih hidup atau sesudah Beliau meninggal, alasannya  agar mempermudah terijabahnya doa oleh Allah Swt sebab, keimanan para Nabi dan Rasul serta para auliya’.
Maka, Ayat di atas telah jelas membolehkan praktik tawassul, dan tiada tempat bagi Wahabiyah untuk menjatuhkan vonis syirik apalagi mengkafirkan.

d. Anti Bid’ah, sebab  menurut Wahabiyah bid’ah adalah sesuatu yang bukan berasal dari Rasulullah Saw. Dan setiap bid’ah itu sesat, mereka beracuan pada hadis Rasululullah:

Artinya : “Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallu ‘Anhu, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal yang baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat-buat yang baru dalam masalah agama. Dan setiap perbuatan baru yang dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat” (HR. Ibnu Majah).

  Wahabi menyalahkan kaum Sunni yang melakukan tradisi tahlilan, ziarah kubur, maulid nabi dan lain sebagainya. Padahal perilaku di atas merupakan sebuah tradisi atau kebiasaan bukan merupakan ibadah. Tradisi baik yang dilakukan kaum Sunni sebagai salah satu metode dakwah, seperti yang dibuktikan oleh para wali songo untuk mengislamkan nusantara.
Demikian sebagian dari metode-metode dakwah Wahabi dengan kedok memurnikan akidah umat, padahal tersebut justeru mendangkalkan akidah umat.

D.  Pentingnya Akhlak di atas Fikih
      Tersebut ada sepenggal kisah tentang Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii. Suatu hari, Imam Syafii salat di Baghdad yang dulunya bernama Kufah. Beliau tidak melaksanakan qunut pada waktu subuh. Lalu orang-orang bertanya: “Kenapa Anda tidak qunut?” Imam Syafii menjawab, “Aku menghormati shahib tilkal maqbarah” (penghuni kuburan di situ). Ketika itu, Imam Abu Hanifah sudah meninggal dunia dan orang di sekitar situ tetap mengikuti pahamnya. Maka, demi menghormati Abu Hanifah, Imam Syafii memutuskan untuk tidak membaca qunut.
      Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah adalah ahli fikih yang masing-masing memiliki pandangan dan pemahaman fikih yang berbeda. Kisah tersebut di atas mengkisahkan bahwa seorang Imam syafi’I memiliki sikap toleran dengan tidak membaca doa qunut demi menghormati Abu Hanifah.  Meskipun  di hadapan beliau saat itu hanyalah makam. Ini merupakan satu contoh keteladanan akhlak lebih tinggi di atas fikih. Terbukti Imam besar pada bidang fikih sendiri pun lebih meninggikan akhlak.
      Realita yang terjadi saat ini adalah satu golongan selalu merasa yakin bahwa fikih yang dianut itulah yang dirasa paling benar dan fikih orang lain dianggap keliru. Padahal pada dasarnya semua fikih memungkinkan adanya kesalahan. Ungkapan ini dipinjam dari ucapan seorang  ulama “ra’yî shawâb wa yahtamilul khata’ ” (pendapat saya benar, tapi memungkinkan adanya kesalahan). Hal ini bisa dilihat pada golongan Wahabi yang merasa paling benar, gerakan yang memprioritaskan fikih. Contoh kecilnya, adanya penolakan Wahabi terhadap praktik tawassul, ibadah
yang selalu dianggap membawa kepada syirik dan kekufuran. Seperti adanya kecaman keras ziarah  ke kuburan serta adanya bangunan kubah hijau (al-qubbatul khadra’) di kuburan seperti kuburan Rasulullah. Yang pada awalnya, Muhammad bin Abdul Wahab membolehkan berkunjung ke kuburan, dengan syarat dilakukan sesuai dengan ajaran Islam. Namun ketika ia melihat banyak umat Islam berziarah sambil bertawassul, mengambil berkah dari kuburan para nabi dan orang shaleh, akhirnya diharamkan ziarah kubur tersebut. Ia  berpendapat, seluruh makam yang dianggap “suci” tersebut harus diratakan bahkan makam Rasulullah sendiripun hendak diratakan, namun niat itu diurungkan oleh pihak internasional karena Wahabi dikecam dan diancam (Siradjuddin Abbas, 2008: 374-375).
      Ini merupakan satu kasus kesalahan Wahabi dalam memahami posisi fikih sehingga menghilangkan nilai-nilai etika dalam hubungan sosial antar makhluk. Padahal syari’at telah mengajarkan  di samping mengatur hubungan baik dengan Allah Swt, hubungan baik dengan manusia juga harus diperhatikan, sehingga tidak sampai terjadi pertikaian dan perpecahan umat (Yunahar Ilyas, 1999 : 12). Firman Allah Swt tentang ini :
  
       Artinya : dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Q.S. al-Maidah(6) : 153)
     
     
       Seperti tersebut dalam kitab Ihya `Ulumiddin, berkisah tentang seseorang perempuan  yang sangat rajin beribadah. Dalam satu hadis disebutkan datanglah seseorang melapor kepada Rasulullah “Inna fulanah tashumun nahara wa taqumul laila walakin tu’dzi jiranaha bilisaniha” (ada seorang yang rajin puasa siang dan salat malam, tapi suka menyakiti tetangga dengan lidahnya). Apa kata Rasulullah? “Hiya fin nar” (dia di neraka) (Ghazali, Imam al, 1998: 588). Kemudian, dalam satu perbincangan membahas perihal mana lebih diutamakan seorang yang memiliki akhlak yang baik namun salatnya buruk dan salatnya baik namun akhlaknya buruk, mereka sepakat bahwa akhlak yang bagus lebih diutamakan walaupun salatnya buruk. Demikian juga pada ibadah lainnya, seperti haji, sekalipun haji dijalankan sebaik-baiknya dan mungkin dilaksanakan setiap tahun, namun jika di dalam pelaksanaannya ada rafats (berkata kotor), fusuq (berbuat maksiat), dan jidal (bertengkar), maka hajinya akan dipandang rusak sampai ia membayar dam. Hal ini disyariatkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّـهُ ۗوَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ ﴿١٩٧
“ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.”(Q.S. Al-Baqarah(2) :197)

      Pelaksanaan sedekah disusul dengan ucapan yang menyakitkan hati yang menerimanya , maka sedekahnya akan batal. Dalam al-Qur’an diterangkan,
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّـهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٢٦٢
“orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima)”.(Q.S. Al-Baqarah(2) : 262)

      Dikisahkan terjadinya dialog antara nabi Yahya dan Iblis berbicara tentang keimanan seorang manusia, nabi Yahya bertanya kepada iblis apa yang paling disukai dan yang paling dibenci dari manusia, lalu iblis menjawab, "Orang mukmin yang paling aku sukai adalah orang mukmin yang bakhil. Sedangkan orang mukmin yang paling aku benci adalah orang mukmin yang fasik (rusak amalny) tetapi dermawan.". Dialog di atas menggambarkan bahwa akhlak seseorang lebih utama ketimbang amalannya yang boleh dikatakan sangat baik, sebab seorang mukmin yang taat akan tetapi kikir(bakhil) lebih berpotensi untuk digoda ketimbang mukmin yang tidak taat namun tidak kikir. Ini berarti akhlak jauh sangat tinggi derajatnya di atas ibadah, sebab sasaran akhir Islam adalah akhlak, jika seseorang tidak melaksanakannya berarti ia telah melupakan sasaran akhir tersebut. Dalam hadis Rasulullah juga disebutkan, “ Sesungguhnya Aku diutus kepadamu untuk menyempurnakan akhlak” (Lihat, Sunan Baihaqy al-Kubra, 21301: 191).
      Dari sekian banyak contoh perilaku fikih yakni shalat, puasa, haji dan sedekah seperti telah jelas di atas, semua ungkapan dan maknanya bermuara kepada pembentukan akhlak. Rasulullah juga bersabda dalam hadisnya, dari Anas: Nabi Saw bersabda : “ Sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat tinggi di hari akhirat dan kedudukan yang mulia karena akhlaknya yang baik walaupun ia lemah dalam ibadah”. (H.R al-Thabrani, al-Targhib 3:404).
      Imam as-Syatibi (wafat 790 h) yang mempelopori kajian maqasid sariah (tujuan syarak) secara sistematik, di dalamnya juga dituliskan prinsip yang mengaitkan fikih dengan akhlak. Hukum fikih tidak boleh dirumuskan apabila melanggar lima prinsip utama kemaslahatan (al-mashalih al-dharuriyyah), al-muwafaqat jil 1 pengantar awal as syatibi, yaitu (as-syatibi, 1997.1)

  1.  Memelihara agama, tidak boleh ada ketetapan fikih jika dapat merusak keagamaan seseorang.
  2. Memelihara jiwa, tidak boleh jika mengganggu jiwa orang lain atau menyebabkan orang lain menderita.
  3. Memelihara akal, tidak boleh jika mengganggu akal sehat, menghambat perkembangan pengetahuan atau membatasi kebebasan berpikir.
  4. Memelihara keluarga, tidak boleh jika berpotensi merusak hubungan kekeluargaan, seperti hubungan orangtua dan anak.
  5. Memelihara harta, tidak boleh jika menimbulkan kerusuhan seperti merampas kekayaan tanpa hak.

      Prinsip-prinsip di atas seharusnya mampu menjadi tolok ukur individu ataupun satu golongan seperti Wahabi untuk menjaga hubungan  baik mereka dengan golongan lain yang berbeda ajaran, tidak perlu saling menjatuhkan sehingga menghantarkan manusia pada kedamaian.

E.  Akhlak untuk Persatuan Umat
      Lama setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, orang bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah Saw,  “ akhlak beliau adalah al-Qur’an”. Ketika orang itu mendesak Aisyah, “ apa yang dimaksud dengan akhlak Rasulullah itu al-Qur’an?”. Aisyah menjawab, “ tidakkah kamu baca surah al-Mu’minun”. Versi lainnya, surah al-Hujurat. Jika ditelaah pada surah al-Mu’minun ayat 1-11, dalam kandungannya dirangkum perintah untuk salat, menjauhkan diri dari hal yang tidak berguna, menunaikan zakat, memelihara kehormatan dan amanah. Adapun dalam surah al-Hujurat ayat 1-12 diperintahkan, untuk bertakwa pada Allah dan Rasul-Nya, larangan meninggikan suara, perintah untuk bersabar, tidak ceroboh dalam menerima informasi sehingga tidak mencelakakan umat manusia, jika ada dua orang yang bertengkar maka damaikanlah sebab mukmin itu bersaudara, larangan mengolok-olok satu kaum dan memanggil dengan gelar yang buruk, larangan banyak prasangka, tidak mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak menggunjing.
      Jika diperhatikan, kandungan yang terdapat dalam surah al-Mu’minun ayat 1-11 intinya untuk kepribadian manusia, yakni mendidik mukmin supaya menjadi pribadi yang sukses. Adapun dalam surah al-Hujurat 1-12 diindikasikan untuk masyarakat, yakni untuk  membangun Negara yang berakhlak dan ideal maka akhlak masyarakat pun harus dibenahi. Demikianlah, kedua surah tersebut menjelaskan kepribadian Rasulullah yang seperti al-Qur’an itu.
Pada dasarnya seluruh ajaran yang ada dalam al-Qur’an adalah akhlak. Di dalam al-Qur’an banyak dikisahkan tarikh dari umat terdahulu. Ketika al-Qur’an berbicara tentang Fir’aun, misalnya ia dilukiskan sebagai simbol tiran yang berakhlak buruk.
 “Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”.(Q.S. al-Qashas( ):4)

Kemudian, ketika al-Qur’an menceritakan hari akhirat, penghuni surga dan penghuni neraka diceritakan lebih banyak dari segi akhlaknya di dunia.

 “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.”(Q.S. al-Shaff( ): 15-17)

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?", mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan Kami tidak (pula) memberi Makan orang miskin, dan adalah Kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya”. (Q.S. al-Mudatsir ( ): 42)

Kemudian, ada ikhtilaf di kalangan para ulama tentang jumlah ayat-ayat hukum dalam al-Quran. Mulai dari ratusan ayat sampai kepada puluh ayat saja. Barangkali satu-satunya ayat yang jelas-jelas mengajarkan fikih adalah ayat tentang wudlu
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”(Q.S. al-Maidah( ) :6)

      Hampir tidak ada perincian fikih di dalam al-Quran. Yang paling menarik adalah kenyataan bahwa ayat-ayat tentang fikih selalu dihubungkan dengan akhlak. Salat dalam defenisi Al-Quran adalah sesuatu yang dapat mencegah kekejian dan kemungkaran.
 “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. al-Ankabut( ) : 45)




      Puasa diwajibkan untuk melatih orang agar menjadi manusia yang bertakwa
 “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Q.S. al-Baqarah(2) : 183)

      Haji harus dilakukan dengan memelihara akhlak, barang siapa yang melakukan kewajiban haji, maka hendaklah dia tidak berkata kotor, tidak melakukan kefasikan dan tidak bertengkar pada waktu haji(Qs. Al-Baqarah: 197) . zakat menjadi sia-sia bila diikuti dengan kecaman dan kata-kata yang melukai hati: hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekah-mu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. (Qs. Al-Baqarah: 264).
Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam salah satu tulisannya menyatakan, bahwa ilmu fikih yang ada dimaksudkan untuk memelihara keutamaan, budi pekerti luhur, dan akhlak yang mulia. Dan ibadah disyariatkan untuk membersihkan diri, menyucikannya, dan menjauhkannya dari kemungkaran. Riba diharamkan untuk menyebarkan semangat saling membantu dan saling mencintai di antara sesama manusia, serta memelihara orang-orang yang kekurangan dari kerakusan pemilik harta. Menipu, berkhianat, melanggar janji, memakan harga dengan batil, dan hal-hal lainnya yang dapat merusak kesepakatan dilarang demi menyebarkan kasih sayang, meneguhkan kepercayaan, mencegah pertengkaran, mengangkat diri dari kotoran materi dan memuliakan hak orang lain (Jalaluddin Rakhmat, 2002: 152).
Dalam hal itu, maka jika agama dan akhlak dapat saling memperkukuh satu sama lain, terciptalan kesejahteraan individu dan masyarakat sekaligus. Dengan itu, juga dirintis jalan keabadian nikmat di alam akhirat. Kerinduan akan keabadian adalah cita-cita umat manusia sejak dahulu. Karena itu, tujuan akhir dari fikih adalah kebaikan manusia yang sebenarnya dan kebahagiaannya di dunia dan akhirat (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 1 : 22-23).


F. Kesimpulan
      Kenyataan saat ini yang cukup fenomenal adalah perkara kontraversial fikih di kalangan manusia yang haus akan ilmu keagamaan, khususnya masyarakat Indonesia. Ditandai dengan berbagai macam paham atau aliran, seperti Ahlussunnah, Syi’ah, Ahmadiyah dan lain sebagainya yang masing-masing memiliki metode berbeda dalam  berdakwah.
      Salah satu aliran yang memiliki metode “anti bid’ah” adalah Wahabi, diketuai oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Yang mengaku-ngaku bahwa diri mereka sama dengan Salafi, mengaku bahwa golongan mereka lah yang benar, mencari-cari kesalahan orang lain dan golongan lain seperti Ahlussunnah dkk merupakan golongan sesat (Al-Husaini, Khalaf Muhammad, 2002: 142). Alasannya, perilaku fikih golongan lain adalah salah, seperti bertawassul, ziarah, tahililan dan semacamnya sehingga menghalalkan segala cara baik dengan tindak kekerasan sampai kepada pembunuhan demi memberantas inovasi dari bid’ah yang mereka yakini itu, padahal Rasul tidak pernah mengajarkan hal seperti itu.
      Ini jelas-jelas merupakan satu bentuk kesalahan fatal dalam membangun Islam. Padahal Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan kecuali dalam peperangan dan pelaksanaan rajam bagi pezina, bahkan dalam memilih agama pun Allah Swt tidak pernah memaksa. Ini berarti Allah Swt mengajarkan manusia untuk saling-menghargai satu sama lain, dengan cara memperhatikan kemaslahatan umat daripada fikih yang bisa-bisa saja berbeda dalam setiap aliran. Dari itu tidak wajar seseorang mengucilkan kelompok lain, tidak pula baik berprasangka buruk tanpa alasan, atau menceritakan keburukan seseorang dan menyapa dengan sebutan yang buruk(baca al-Hujurat(49) : 11-12) (Quraisy Syihab, 1996: 356). Pada dasarnya semua ijtihad fikih merupakan upaya nalar yang maksimal dalam mencari kebenaran hukum. Atas setiap upaya yang dilakuakn setiap golongan diberikan apresiasi berupa pahala satu poin, dan bagi yang bersesuaian dengan kebenaran di sisi Allah layak diberikan satu poin pahala lagi sebagai reward kesesuaian hukum. Maka, tiada kata perpecahan dalam menetapkan satu hukum karena manusia memang diciptakan oleh Allah dengan bentuk yang berbeda baik budaya, suku dan bangsa, namun tetap satu tempat muara yaitu tauhid atau Allah Swt (Surahman Hidayat, 2007: 143).
      Dari itu, salah satu cara untuk menjawab persoalan ini adalah tinggalkan fikih demi persaudaraan dan memandang benar pada   mazhab, maka tentu tidak akan sulit meninggalkan fikih demi persaudaraan di antara kaum muslimin. Dan boleh-boleh saja menganggap pendapat yang ada pada dirinya lebih kuat dari yang lain, tetapi ketika mengamalkannnya ikutilah yang lazim di tengah-tengah masyarakat dengan belajar dari teladan Nabi Saw dan para sahabatnya yang selalu dihiasi dengan akhlakul karimah. Wallahu a’lam.

0 komentar:

Post a Comment