Raja Ali Haji: “Hati itu Kerajaan di dalam Tubuh”

Oleh: Ali M. Hasan Palawa***
Manusia pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur al- Jasm (jasmani, raga atau fisik), al-Nafs (nafsani, jiwa atau psikis), al- Ruh (rohani, sukma atau spirit). Ketiga unsur ini merupakan satu susunan kesatuan yang tidak dapat dipisah (integral) dan utuh (totalitas) dalam membentukan kedirian manusia. Akan tetapi, secara sederhana, demi mengikuti pemahaman masyarakat awam, Raja Ali Haji hanya membangi manusia dua unsur: rohani dan jasmani. Meskipun demikian, pada penjelasan-penjelasan berikutnya secara implisit Raja Ali Haji mengakui pembagian tiga unsur manusia: ruhani, nafsani dan jasmani. Kebenaran pernyataan disebut belakangan terlihat ketika Raja Ali Haji, misalnya menganjurkan agar penguasa memelihara ketiga unsur manusia tersebut, yaitu memelihara nyawa (rohani), memelihara nama (nafsani) dan memelihara badan (jasmanai).

Memelihara Ruhani.

      Pengertian al-ruh secara sederhana, menurut Raja Ali Haji, sama dengan nyawa yang befungsi sebagai sumber kehidupan manusia. Dalam pengertian semacam ini, ruh adalah “jisim yang halus yang terus-menerus hidup.” Roh dalam pengertian ini tetap menjadi rahasia Ilahi, sementara pemahaman manusia tentang ruh sangat terbatas. Dalam mempertegas argumentasinya, ia mengutif firman Allah: “ yasalûnaka ‘ani al-rûh kul al-rûh min ‘amri rabbî wa ma ûtîtum min al-‘ilmi illâ qalîlâ (dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Q.S. al-Isra’ [17]: 85). Bahkan Raja Ali Haji menyarankan bagi masyarakat awam untuk tidak membicarakannya, melainkan mengikuti saja pengertian ruh yang telah dijelaskan para ulama terdahulu. Raja Ali Haji menyarankan untuk mengikuti penjelasan ulama, mislanya pendapat Imam Haramain, Imam al-Ghazali, Syekh Ibrahim al-Laqani dan Imam Nawawi al-Banteni. (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, hal. 291-292 dan 28).

     Pada bagian lain, Raja Ali Haji terkadang juga secara umum dan sederhana mengkategorikan ruh sama dengan al-akal, al-qalb, dan al-nafs. (Raja Ali Haji, Tsamarat al-Muhimmah: 40) Misalnya, ia menyebutkan bahwa ruh merupakan entitas yang juga mengatahui hakekat segala sesuatu. Maka dalam pemahamahan semacam ini, ruh sama fungsinya dengan akal. Begitu pula, ruh berarti sama dengan al-kalb (hati) yang dapat merasakan kebahagian dan kesengsaraan. Ruh, juga merupakan “alat” bagi jasmani (badan atau raga) dan sumber mobilitas segala aktifitas manusia. (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa:. 292) Maka ketika ruh mengalami kerusakan akan berimplikasi mudharat kepada seluruh anggota badan. Oleh karena itu, melihat urgensi eksistensi roh, Raja Ali Ají menyimpulkan bahwa memelihara ruh hukumnya adalah wajib.

      Menurut Raja Ali Haji, sebab mula terjangkitnya “penyakit” pada rohani bagi manusia (baca: penguasa) dikarenakan “kedatangan beberapa bala’ dan susah atau anwa ‘ul bala’”. Hal tersebut dapat dilihat dari, sebagaimana dikutip secara in extenso dari Tsamarat al-Muhimmah: “Pertama, pada rezeki yakni sebab kepicikan rezeki yaitu hidup sebab papa; kedua, sebab kedatangan penyakit pada badan dan kepada tubuh; ketiga, sebab bercerai dengan kekasih, sama ada kepada manusia, seperti kematian anak-istri atau sanak keluarga, kaum kerabat dan sahabat handai atau sebab bercerai dengan kekasih, sayang daripada pangkat dan kebesaran dan kemulian …; keempat, dengan sebab kedatangan susah dari pada pihak yang ditakutkan hilang nyawa atau mudharat kepada badan yaitu kesusahan pada pihak seteruan, seperti di dalam permusuhan dan pergaduhan atau lainnya segala pekerjaan yang ditakuti; kelima, sebab kedatangan dihina-hinakan manusia atau barang sebagainya segala pekerjaan yang jatuh dirinya yang jadi menyusahkan dia….”
     Adapun cara mengobati penyakit rohani ini, pada hemat Raja Ali Haji, adalah dengan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadist serta nasehat-nasehat para ulama, dan “hendaklah sekedudukan dengan orang yang berilmu dan orang-orang sholeh”. Bahkan Raja Ali Haji menyarankan agar berdoa memohon pertolongan Allah guna mengobati penyakit ruh tersebut lewat sembahyang hajat. Lebih lanjut dalam mengobati penyakit ruh ini, Raja Ali Haji merekomendasikan, “Syahdan jika hendak terang kenyataan perkara yang tersebut itu hendaklah mentala’ah kitab-kitab ahli sufi seperti kebanyakan kitab al-Ghazali dan lainnya, intaha.” Raja Ali Haji, Tsmarat al-Muhimmah: 44).

     Kalaupun bala’ tersebut telah menimpa, Raja Ali Haji menganjurkan’ “hendaklah berbaik sangka kepada Allah Ta’ala sebab hikmahnya tiada kita ketahui.” Dalam menerima cobaan, di samping mengupayakan penyembuhannya, hendaknya dihadapi dengan ridha, “tidak berkeluh kesah dan mengadu kesana kemari,” penuh kesabaran serta tawakkal kepada Allah. Kerena “Allah mengasihi orang sabar dan meluaskan orang tawakkal.” Dengan begitu, Allah akan memberikan balasan yang lebih baik dan akan memberikan pahala bagi orang yang bersabar dan bertawakkal di dalam menghadapi cobaan. Anugrah dan pahala bagi orang yang sabar dan tawakkal, kata Raja Ali Haji, tidak saja akan diperolah di akhir, tetapi juga di dunia ini, sebagaimana yang telah dianugrahakan Allah kepada Nabi-nabi-Nya.

Memelihara Nafsani

     Manusia adalah makhluk yang, menurut Raja Ali Haji, diciptakan dari tiada menjadi ada (cretion ex nihilo). (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 28).Unsur kedirian manusia yang paling “hakiki dan sejati” adalah al-nafs (nafsani, jiwa atau psikis). Ia disebut demikian karena al-nafs berada dan segaligus “terombang ambing” antara pengaruh baik al-Ruh (rohani, sukma atau spirit) dan “pengaruh” buruk dari al-Jism (jasmani, raga atau fisik). Dalam pengertian ini, refresentasi perwujudan al-nafs ini dalam diri manusia adalah al-qalb (arti harfiahnya bolak-balik). Al-Qalb (hati) adalah cerminan bagi perbuatan baik dan buruk manusia. Kalau al-qalb dekat dan mengikuti pengaruh al-ruh, ia akan menjadi baik dan terangkat derajat kemanusiaanya, sebaliknya kalau al-qalb dekat dan mengikuti pengaruh al-jasm, ia akan menjadi buruk dan terjatuh derajat kemanusiannya. 

    Karenanya, untuk menuju kembali kesempurnaan diri manusia, menurut Nurcholish Madjid, ada tiga jenjang perjuangan pribadi yang harus dilakukan. Pertama, jenjang al-nafs al-ammârah bi al-su‘, yaitu berjuang dan mengalahkan dorongan “nafsu amarah” kepada kejahatan. Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (Q.S. Yusuf [12]: 53). Kedua, jenjang al-nafs al-lawwâmah, yaitu membangun kesadaran disertai dengan penyesalan akan kejahatan diri, “nafsu lawwamah”. Al-Qur’an menyebutkan, “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (Q.S. al-Qiyamah [75]:2.) Ketiga, jenjang al-nafs al-muthma‘innah, yaitu menggapai kebahagian surgawi dengan jiwa yang damai. Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku.” (Q.S. al-Fajr [89]:27-30).

    Eksistensi manusia diukur, dalam pandangan Islam, sangat tergantung dari akhlaknya yang kemudian dimanifestasikan dalam amal-amal shaleh. Islam tidak terlalu menekannkan prinsip “cogito ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada), sebagimana dianut oleh filosuf rasionalis Barat, Rene Descartes, tetapi lebih pada prinsip “labora ergo sum” (aku beramal, maka aku ada). Artinya, ukuran keberadaan seseorang lebih ditentukan amal-perbuatnnya, bukan yang lainnya, semisal kepandaian. Karenanya, seseorang yang beramal baik akan mendapat sebutan/ nama baik, sebaliknya seorang yang beramal jelek akan mendapat sebutan/ nama jelek pula. Dalam “Syair Nasehat” Raja Ali Haji menyebutkan: Jalan kehidupan ditunjukkan/ Berkebun berladang disukakan// Berbuat baik dipujakan/ Berbuat jahat dihinakan//
Untuk itu, menjaga/ memelihara nama baik, kata Raja Ali Haji, sama pentingnya “memelihara agama”. Kongkritnya, ia mengatakan untuk dirinya, “biaralah kita jadi orang miskin atau jadi orang kecil asal jangan kita cacat kepada agama dan nama. Karena apabila orang2 tiada memelihara yang dua perkara itu, tiada guna panjang umur di dunia karena sama juga dengan binatang.” (Ian van der Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan: 60). Umur panjang tiada artinya, tanpa menorehkan nama baik lewat amal sholeh. Dengan melakukan amal sholeh manusia sepeninggalannya akan dikenang kerena nama baiknya, seperti kata pribahasa manusia mati meninggalkan nama. Sebaliknya, manusia yang tidak melakukan amal sholeh, kedudukannya sama dan bahkan mungkin lebih rendah dari binatang. Bukankah binatang dikenang orang kerena sesuatu yang ada pada dirinya dan bermamfaat bagi manusia, seperti ungkapan pribahasa, “harimau mati meninggalkan belang.” 

     Oleh sebab itu, apabila seorang penguasa ingin mendapat predikat baik (nama baik), menurut Raja Ali Haji, hendaknya menunjukkan sikap-sikap yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Menurutnya, sejelek-jelek sebutan (asma’ al-sayyiah) atau seburuk-buruk akhlak (akhlaq al-madzmûmah) bagi seorang penguasa adalah sebutan zalim, bodoh, lalai, dan penakut. Sebaliknya, sebaik-baik sebutan (asma’ al-hasanah) atau semulia-mulia akhlak (akhlaq al-mahmûdah) bagi seorang penguasa adalah adil, cerdas, rajin dan pemberani. Diantara keempat tersebut yang paling hina dan keji disandang bagi seorang pengasa adalah sebutan zalim. Begitu pula sebaliknya, sebutan yang paling mulia dan terpuji bagi seorang penguasa, sebagaimana disebutkan dalam Tsamarat al-Muhimmah, adalah sifat adil. Karenanya, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Raja Ali Haji menjadikan sifat “adil” salah satu syarat utama untuk pengkatan seorang penguasa. 

     Raja Ali Haji memberikan pelajaran bahwa kalau hati itu di dalam tubuh, ibaratnya “raja di dalam kerajaan”. Kalau hati tidak dipelihara dari sifat zalim, misalnya, akan berakibat pada kehancuran segala anggota tubuh. Ibaratnya kalau seorang raja tidak terpelihari dari sifat zalim, misalnya, akan berakibat kehancuran pada kerajaan. Persisinya dalam Gurindam Duabelas Raja Ali Haji berutur dengan indahnya: “Hati itu kerajaan di dalam tubuh/ jikalau zalim segala anggotapun rubuh.” Begitu pula dalam kedirian seorang penguasa, beberapa sifat yang tercela dan hina sebagai “penyakit hati” yang harus ditinggalkan oleh penguasa demi menjaga kredibilitas (nama baik) di mata rakyatnya. Raja Ali Haji menyembut cara melihara hati dengan cara menjahui sifat yang tercela, seperti takabur, iri hati: “Adapun “hati” pula hendakalah peliharakan dia daripada takabur yakni membesarkan diri, melihat dirinya lebih semata-mata baik pada bangsa atau pada rupa atau pada harta atau pada ilmu. Maka yaitu ditegahkan oleh syarak. Dan demikian lagi hendaklah peliharakan dia daripada dengki akan seseorang yang mendapat nikmat. Dan hendaklah dipeliharakan dia daripada segala kejahatan hati seperti yang tersebut di dalam beberapa kitab karangan ulama yang besar-besar, istimewa pula di dalam Qur’an dan di dalam Hadis. Syahdan jika engkau berkehendak rujuklah engkau kepadanya adanya.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 79). Selanjutnya, untuk memelihara sifat baik (akhlâq al-mahmûdah) dan menjuhi sifat buruk (akhlâq al-madzmûmah) tersebut, menurut Raja Ali Haji, “tiada dapat tiada, hendaklah kita ketahui tertib segala penyakit hati yang membawa kepada anggota zahir,” seperti apa yang diuraikan dengan panjang lebar dalam bagian “khatimah” (penutup) Tsamarat al-Muhimmah. 

*Penulis adalah Mahasiswa S3 Sekolah Pasca-sarjana UIN Jakarta, dan salah seorang Pembina Pondok M2IQ Riau.

Unduh tulisan ini :


Terimakasi telah mengunjungi 

PONDOK M2IQ RIAU



0 komentar:

Post a Comment