Budaya Nandung: Merajut Ulang Akhlak Karimah Anak Bangsa

Oleh: Misrawati, S.Pd.I*

*Misrawati, S.Pd.I adalah Duta Riau pada MTQ Nasional cabang M2IQ (Musabaqah Menulis Ilmiah Qur’an) tahun 2012 di Ambon. Misrawati juga seorang guru di SDN 001 Rengat. Hobi: membaca dan menulis.

Misrawati, S.Pd.I Lahir di Rengat, 29 Juli 1988, Alamat, Jl. Hanglekir Gg. Cempaka Putih No. 01 Rengat. No. Hp. 0853 64260909.

     Seorang penyair besar Ahmad Syauqi Bey mengemukakan bahwa: “kekalnya suatu bangsa ialah selama akhlaknya kekal, jika akhlaknya sudah lenyap, musnah pulalah bangsa itu”.

    Secara eksplisit Ahmad Syauqi Bey tengah mengingatkan kita tentang pentingnya akhlak bagi suatu bangsa. Apabila suatu bangsa itu telah rusak, maka hal ini juga akan mempengaruhi akhlak generasi-generasi mendatang. Lebih parah lagi, kalau rusaknya akhlak tersebut tidak segera mendapat perhatian atau usaha untuk mengendalikan dan memperbaikinya. Bagaimanapun akhlak dan perilaku suatu generasi itu akan sangat menentukan terhadap akhlak dan perilaku umat-umat sesudahnya.

    Oleh karena itu, program utama dan perjuangan pokok dari segala usaha kita saat ini ialah pembinaan akhlak karimah.  Akhlak karimah merupakan akhlak yang terpuji. Akhlak karimah akan terpatri dengan baik apabila dilakukan sejak dini. Ibarat mengukir di atas batu, meski sulit dilakukan, ia akan tertoreh dengan jelas dan kuat. Penanaman akhlak memang tidak bisa  dilakukan secara instans. Seperti meletakkan fondasi sebuah bangunan, ia harus diprioritaskan lebih awal. Bukan malah memasang gentingnya terlebih dahulu.

    Saat ini keterlambatan pendidikan akhlak bukan saja dapat mempersulit pembentukan perilaku karimah pada tahap selanjutnya, tetapi juga akan berakibat fatal pada pemeliharaan suatu generasi. Dan kegagalan penataan akhlak sejak dini dapat menumbuhsuburkan musibah dekadensi moral yang saat ini banyak menghantui masyarakat. Beberapa kasus yang memperlihatkan perilaku tidak senonoh dan seronok yang kerap ditayangkan berbagai media massa, misalnya, merupakan potret suram telah gagalnya proses penanaman akhlak di kalangan anak bangsa.

      Padahal, tradisi agama sebetulnya telah mengajarkan pentingnya pembentukan akhlak sejak usia yang amat dini. Dalam khazanah kebudayaan masyarakat Melayu Riau, dikenal adanya tradisi yang dapat menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak bagi anak, yaitu budaya nandung. Budaya ini merupakan budaya melayu Riau, yang berupa untaian pantun yang berisi unsur dakwah atau tunjuk ajar yang sangat dikenal. Karena diperuntukkan bagi pewarisan nilai – nilai luhur kepada bayi sejak dini.

     Nandung sendiri pada masa awal perkembangannya di kalangan masyarakat Melayu Riau hanyalah berupa nyanyian yang sangat sederhana, terdiri dari kalimat tahlil (La Ilaha Illallah . . .) dan kalimat rayuan agar anak segera tidur.

     Susunan kalimat dalam nandung terdiri dari empat baris, dua baris pertama berupa sampiran sedang dua baris terakhir berupa isi dengan rima akhir a, b ; a, b. Namun demikian ada juga sebagian nandung yang tidak terikat dengan rima akhir (ab – ab) (Ahmad Darmawi, 2006: 19).

     Isi dua baris terakhir pada nandung mempunyai muatan kalimah thayyibah berupa nasehat, pengajaran, atau untaian kalimat mutiara hikmah yang bersumber dari petatah-petitih budaya setempat. Ungkapan, petuah, dan pribahasa ini biasanya disampaikan oleh kaum perempuan ketika menidurkan anak kecil dalam buaian, gendongan atau pangkuan.

     Di Provinsi Riau khususnya Indragiri Hulu, keberadaan nandung yang semula masih sangat sederhana itu kemudian berkembang dengan masuknya unsur pantun yang berisi rayuan agar anak segera tidur.

     Dalam perkembangan lebih lanjut, isi pantun ini kemudian dipilih dan dipadatkan dengan kalimat-kalimat yang mengandung pengajaran dan nasehat, diselingi dengan tahlil antara tiap bait dan dinyanyikan dengan irama yang menyerupai irama syair. Contoh syair nandung: Laa Ilaaha Illallaah. Allahlailah lahaillallah. Nabi Muhammad nak sayang, pesuroh Allah. Nandunglah dinandung ke pantainye nandi. Orang begajah nak sayang, due beranak (Bahtaram. IB, 2004: 30).

      Dalam tiap bait-bait nandung di atas, jelas bahwa budaya nandung mengandung nilai-nilai Islami dalam pembentukan akhlak karimah anak bangsa. Muatan penanaman nilai-nilai tauhid dan aqidah yang tercantum dalam bait nandung benar, secara eksplisit mengingatkan kita bahwa pentingnya membuka kehidupan anak dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah. Hal ini juga ditegaskan dengan sabda Nabi saw: “Dari Ibnu Abbas ra dari Nabi saw bersabda: “Bacakanlah kepada anak-anak kamu kalimat pertama dengan Laa Ilaaha Illallaah” (HR. Al-Hakim). 

      Apabila nandung ini dilantunkan kepada anak sejak dini akan memberikan kesan yang mendalam. Karena bait tiap bait disampaikan dengan perasaan yang mendalam, sehingga anak yang mendengar akan merekam dalam pikirannya. Pada gilirannya suatu kelak untaian kata yang sering didengar sewaktu kecil akan senantiasa terngiang dalam benaknya ketika ia menginjak dewasa.

     Melalui budaya nandung inilah yang diekspresikan dalam bentuk nasehat-nasehat dan ajaran-ajaran, seseorang dapat menanamkan nilai-nilai agama yang diperlukan dalam mendidik anak. Nilai-nilai kebudayaan yang dikemas dalam bacaan nandung memberikan wawasan dan cara pandang yang mengarah pada proses pendidikan untuk menjadikan anak yang sholeh dan sholeha.

     Selanjutnya, dalam konteks pembentukan akhlak anak, budaya nandung ini juga menawarkan sebuah alternatif. Syair-syairnya berisi nasehat-nasehat yang dirangkai dalam sebuah nyanyian yang digunakan sebagai pengantar tidur bagi anak. Karena itu budaya ini perlu direvitalisasi terutama untuk menghidupkan kembali substansi nilai-nilai yang terkandung didalamnya. ***

Unduh tulisan ini dalam format PDF dan Word klik tombok unduh di bawah :



Pondok M2IQ Riau


0 komentar:

Post a Comment