UN dan Ujian Kejujuran

Oleh : Susanto Al-Yamin
* Penulis adalah Guru Aqidah dan Tafsir Hadits di Al-Ihsan Boarding School (IBS), Riau.

      Pekan ini, helat akbar Ujian Nasional tingkat SMP sederajat kembali digelar oleh Pemerintah. Pelaksanaan helat akbar tahunan ini hampir tidak pernah sepi dari masalah hingga menuai kontroversi. Banyak hal yang dipersoalkan terkait pelaksanaan Ujian Nasional ini. Mulai dari substansinya sebagai salah satu faktor penentu kelulusan peserta didik, isu kebocoran soal, penyebaran kunci jawaban, kecurangan dan lain sebagainya.
     
      Sebenarnya, Ujian Nasional dengan berbagai macam namanya, mulai dari Evaluasi Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), Ujian Akhir Nasional (UAN), dan sekarang Ujian Nasional (UN), sudah sejak lama dilaksanakan. Ujian Nasional telah dijadikan sebagai alat ukur yang digunakan oleh pemerintah untuk menilai keberhasilan proses belajar mengajar secara nasional.
     
      Sejak dijadikan sebagai penentu kelulusan, Ujian Nasional benar-benar menjadi momok yang menakutkan. Bagaimana tidak, keberhasilan pendidikan yang telah ditempuh selama tiga tahun, hanya ditentukan oleh Ujian Nasional yang hanya dilaksanakan beberapa hari saja. Ketakutan dan kekhawatiran itu, tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi kepala sekolah, kepala dinas, hingga kepala daerah. Hal ini terjadi karena keberhasilan UN yang dilihat dari tingkat kelulusan peserta didik di suatu sekolah atau daerah akan berpengaruh dalam meningkatkan gengsi sekolah atau daerah tersebut. Disadari atau tidak, kondisi ini secara otomatis telah menjadi faktor penting yang pendorong munculnya berbagai tindak kecurangan dan ketidakjujuran dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Mulai dari nyontek berjamaah, guru dan kepala sekolah yang menyebarkan kunci jawaban, jual beli kunci jawaban, dan sebagainya.
     
      Kejujuran sepertinya telah menjadi barang langka dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Lihat saja misalnya, kasus contek massal yang pernah terungkap. Kisah dramatis Alif dan ibunya. Alif dan ibunya diusir dari kampungnya karena tidak setuju dengan kecurangan itu. Untuk menyukseskan praktik mencontek itu, wali kelas Alif sempat melakukan simulasi, sehingga masing-masing siswa sudah tahu perannya masing-masing dalam aksi contek massal tersebut.
     
      Itu hanya sekelumit kisah kebohongan yang pernah terungkap. Mungkin masih banyak kebohongan lain yang terjadi dalam pelaksanaan Ujian Nasional di negeri ini. Inilah potret pendidikan kita. Masih jauh dari nilai-nilai kejujuran. Hal ini telah merusak wajah dunia pendidikan di negeri ini. Pendidikan yang seyogyanya berfungsi sebagai institusi yang berperan dalam membangun generasi bangsa secara fisik dan mental, sepertinya telah gagal. Sayangnya, kegagalan ini justru terjadi karena ulah dari para pelaku pendidikan itu sendiri. Jika hasil Ujian Nasional diperoleh dari perbuatan yang tidak jujur, maka bagaimana mungkin bisa digunakan sebagai alat ukur kualitas pendidikan negeri ini.
     
      Kita memang boleh berbangga dengan perolehan nilai akademik anak negeri ini. Kita juga boleh berbangga dengan banyaknya sekolah yang mampu meluluskan siswanya seratus persen. Tapi, pernahkah kita bertanya, sudahkah anak negeri ini dan para gurunya telah lulus ujian kejujuran? Bukankah kejujuran salah satu karakter terpuji yang akan kita tanamkan kepada anak didik kita? Bukankah mencetak generasi yang jujur merupakan salah satu cita-cita luhur pendidikan kita?
     
      Ya, kejujuran merupakan sifat terpuji yang akan melahirkan kebaikan-kebaikan lainnya. Namun sebaliknya, kebohongan merupakan sumber kejahatan. Kejujuran merupakan mutiara yang senantiasa memancarkan cahaya kebenaran di setiap ruang dan waktu. Setiap orang yang menghiasi dirinya dengan kejujuran pasti akan terlihat indah dan menawan.
     
      Ketika mutiara kejujuran telah tertanam dalam diri seseorang, maka ia akan memancarkan cahaya kebaikan. Karena kejujuran merupakan sumber segala kebaikan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah Saw "Hendaklah kamu berlaku jujur, kerena sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan membawa ke surga. Dan seseorang yang bersifat jujur dan menjaqa kejujuran, maka ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur… (Shahih Muslim, Bab Qabhu al-Kadzib wa Husnu al-Sidq wa Fadlh, hadits no. 4721).
     
      Namun sayang, kejujuran seakan menjadi barang langka untuk ditemui. Sebaliknya, kebohongan terjadi di mana-mana, mulai dari lembaga pendidikan sampai pada lembaga pemerintahan. Kebohongan telah dijadikan benteng pembelaan diri dari kesalahan dan kekurangan.
     
      Tatkala kejujuran telah hilang dan sulit ditemukan lagi, maka kebenaran akan semakin sulit dirasakan. Padahal, pada saat seseorang menyembunyikan kebenaran dengan memunculkan kepalsuan yang dibalut dengan rekayasa dan tipu daya, pada waktu bersamaan mereka telah membohongi hatinya. Sebab, kebenaran tak bisa ditutupi dari hati setiap manusia.
      Oleh karena itu, bangsa ini memerlukan sistim pendidikan yang mendorong penyelenggara pendidikan dan peserta didiknya untuk berlaku jujur. Sebenarnya, sejauh ini pemerintah telah menggagas dan mulai menerapkan pendidikan karakter di Sekolah. Namun pendidikan karakter dalam diri peserta didik yang dilakukan melalui pendidikan karakter dan sejumlah mata pelajaran lainnya, masih tetap dilingkupi oleh permasalahan pelik, formalitas. Sebagai proses penanaman nilai, pendidikan karakter terjebak dalam kedangkalan, normatif, dan formalitas, serta mengabaikan subtansi, kedalaman, pemaknaan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.
     
      Karenanya, menurut hemat penulis, diperlukan pendidikan karakter yang tidak hanya terbatas pada pendidikan formalitas di sekolah. Melainkan pendidikan karakter yang berorientasi pada penghayatan dan pengamalan. Penanaman karakter dalam pendidikan hendaknya tidak hanya berorientasi pada kecerdasan kognitif, melainkan harus menyentuh segala aspek kecerdasan siswa yaitu, afektif, kognitif dan psikomor. Karena manusia yang dididik adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika. Sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, Jasmani dan rohani, ilmu dan tingkah laku (M. Quraish Shihab, 1994: 173).
     
      Karena itu, untuk mensukseskan pendidikan karakter bagi generasi muda bangsa ini, diperlukan sistim pendidikan yang integral (menyatu) dan holistik (menyeluruh), baik dari segi meteri pembelajaran, proeses pembelajaran, maupun evaluasi pembelajarannya. Pelaksanaan evaluasi pembelajaran dan sistim penilaian hasil belajar siswa hendaknya tidak hanya dilihat dari kecerdasan kognitif saja, malainkan semua aspek, khususnya kejujuran.
     
      Sejauh ini, dalam praktek pendidikan kita lebih mementingkan aspek kognitif saja. Kriteria kelulusan siswa sebagian besar dilihat dari nilai akademiknya tanpa memperhatikan karakter terpujinya. Bayangkan saja, pendidikan yang mereka tempuh selama tiga tahun, sangat ditentukan oleh ujian tulis selama empat hari. Singkatnya, jika sistim pendidikan kita masih karut-marut seperti ini, maka ujian nasional yang digelar tidak akan mampu menumbuhkan karakter terpuji dalam diri generasi muda bangsa ini. Bahkan sebaliknya, mendorong kepala sekolah, guru, dan siswa untuk berbohong dan berlaku curang. Akhirnya penulis mengucapkan selamat menempuh ujian kejujuran. Semoga sukses. Wallahu A’lam.

Sumber : Riau Pos

0 komentar:

Post a Comment