Uje

Oleh : Susanto Al-Yamin*
*Susanto Al-Yamin adalah Pengasuh Kajian Islam MT. Raudhatul Jannah, Pekanbaru.


Jum’at pekan lalu, umat Islam di seluruh penjuru Indonesia dikejutkan oleh berita wafatnya seorang da’i kondang, ustad Jeffri al-Buchori. Ustad Jeffri al-Buchori atau yang akrab disapa Uje, meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Da’i gaul yang masyhur ini meninggal dunia dalam usia yang masih muda, 40 tahun.

Keluarga, sahabat, dan jamaah seolah tak percaya akan berita kematian itu. Uje pergi begitu cepat. Ia meninggalkan dunia yang fana ini tanpa sakit yang berarti. Sengguh kematian yang sangat mendadak. Tapi, begitulah kematian.

Kematian pasti datang tepat waktu, tak bergeser walau sedetikpun ((QS. Al-A’raf/7: 34 dan Ali-Imran/3: 145), merenggut nyawa dengan paksa, melenyapkan segala kenikmatan dunia. Kematian tak pernah memilih baik tua maupun muda, sehat ataupun sakit, rakyat biasa maupun pejabat, para da’i maupun jama’ah. Singkatnya, semua yang bernyawa pasti mati (QS. Ali-Imran/3: 185).

Rumah yang kokoh dan megah tak mampu melindungi kita dari kematian. Tumpukan uang tak mampu menyogok malaikat Maut untuk menunda kematian. Bahkan, benteng yang kokohpun tak mampu melindungi seseorang dari kematian (QS. An-Nisa’/4: 78).

Kematian selalu datang mendadak, dan tak seorangpun mengetahui kapan datangnya. Karena itu, sebelum kematian datang merenggut, persiapkanlah bekal (QS. Al-Hasyr/59: 18), dan sebaik-baik bekal adalah takwa (QS. Al-Baqarah/2: 197).

Dalam pandangan penulis, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Uje termasuk orang yang beruntung. Ia telah berhasil bangkit dari lembah kelam yang sempat menjerumuskannya. Ia telah mengisi hari-harinya dengan amal dan budi baik. Dakwah dan kebaikannya akan selalu dikenang ummat. Kepergiannya menghadap Ilahi, diiringi do’a dari ribuan jam’ah. Semoga semua itu juga dinilai baik di sisi Allah Swt. Amiin.

Demikianlah, Uje telah pergi menghadap Ilahi dengan bekal yang telah disiapkannya. Lalu, bagaimana dengan kita? Kapan, di mana, dan bagaimana kita akan diwafatkan? Sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk perjalanan panjang itu? Sudahkah kita menanam budi kepada sesama manusia? Akankah kepergian kita diiringi dengan “tangisan suci” dan untaian do’a dari banyak orang? Atau sebaliknya? Wallahu A’lam.***

0 komentar:

Post a Comment