Shalat dan Kesalehan Sosial

Oleh : Susanto Al-Yamin*
*Penulis adalah Pimpinan Pondok M2IQ Riau


      Suatu hari, Umar bin Khattab pernah menulis instruksi kepada para pegawai dan pejabat negaranya. Sosok yang bergelar al-Faruq ini menegaskan bahwa shalat dijadikan sebagai takaran profesionalisme kinerja dan performa seseorang. Shalat adalah tolok ukur konsistensi seseorang.

      Khalifah Umar bin Khattab yakin bila shalat seseorang terjaga maka orang tersebut tidak akan menelentarkan urusan lainnya. “Urusan terpenting bagiku dari kalian adalah shalat. Barang siapa yang menjaga dan membiasakannya maka ia telah memelihara agamanya. Jika meninggalkannya maka ia rentan menelantarkan urusan selain shalat”, demikian katanya sebagaimana yang dikutip oleh Nashih Nashrullah.

      Pernyataan Umar bin Khattab di atas sangat sesuai dengan ajaran dan pesan-pesan Islam, terutama yang terkandung dalam perintah shalat. Dalam ajaran Islam, Shalat merupakan ukuran kokohnya agama seorang hamba. jika ditinggalkan robohlah agamanya, sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah Saw dari Umar bin Khattab yang diriwayatkan Imam Baihaqi; “Shalat adalah tiang agama, siapa yang mendirikan shalat berarti telah mendirikan agama, dan barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti telah menghancurkan agama”. Raja Ali Haji melalui untaian kata puitisnya, Gurindam Dua Belas, juga menyebutkan, ”Barangsiapa meninggalkan sembahyang/seperti rumah tiada bertiang”.

       Perintah shalat adalah ibadah yang diterima langsung oleh Rasulullah Saw dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Ini merupakan bukti posisi vital perintah shalat. Shalat adalah tiang agama dan menjadi rukun kedua setelah syahadat. Shalat, seperti ditegaskkan oleh Rasulullah, merupakan identitas kuatnya agama seorang Muslim. “Beda antara Muslim dan kafir adalah shalat,” demikian sabda Rasulullah Saw.

       Shalat adalah perkara pertama yang akan dihitung (dihisab) pada hari kiamat. Luqman al-Hakim, seorang ayah yang bijaksana, seperti yang diabadikan oleh Allah Swt dalam Q.S. Luqman/31: 17, pernah berwasiat kepada anak-anaknya. Nasihat tersebut berisi seruan untuk mendirikan shalat dan menjadikannya sebagai daya dorong mengajak ke arah kebajikan dan mencegah perbuatan mungkar serta bersabar atas segala persoalan hidup. Ini merupakan pesan bahwa kesalehan spiritual shalat semestinya tidak terpisahkan dari kesalehan sosial.

        Dalam Islam, ibadah shalat merupakan sumber dari segala kebaikan. Bahkan seecara khusus, shalat dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari perbuatan keji dan munkar sehingga melahirkan pribadi yang shaleh secara spritual maupun sosial. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Ankabut/ 29: 45: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Firman  Allah Swt di atas menunjukkan  bahwa salah satu hikmah  penting perintah shalat adalah untuk menuntun pelakunya  menjadi sosok yang shaleh secara sosial yang selalu mengajak umat pada kebaikan dan mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Shalat menjadi “madrasah” untuk mendidik kecerdasan dan kepedulian sosial.  Seluruh rangkaian ritual shalat memiliki pesan penting untuk memupuk kesalehan spiritual dan sosial seseorang. Misalnya, ucapan salam pada penutup shalat yang diiringi dengan menoleh ke kiri dan ke kanan merupakan simbol kepedulian sosial. Ucapan salam yang merupakan doa untuk keselamatan dan kesejahteraan orang banyak, baik yang ada di depan kita maupun yang tidak,  dan  diucapkan sebagai  pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial.

        Dengan demikian, maka shalat yang dimulai (dibuka) dengan takbir sebagai pernyataan  hubungan harmonis antara hamba dan Tuhannya dan diakhiri dengan taslim (ucapan salam) sebagai simbol pernyataan hubungan harmonis dengan sesama manusia. Karena  itu,  jika shalat seseorang tidak mampu menumbuhkan kepedulian dan keshalehan sosial, maka berarti shalatnya merupakan suatu kegagalan dan diduga ada yang salah dengan pelaksanaan shalatnya. Sebagai contoh, misalnya shalat orang-orang munafik. Meskipun mereka shalat bersama Nabi saw, namun mereka justru menjadi penghuni neraka yang paling bawah. Karena shalat yang dilakukan dengan penuh kemalasan dan bermaksud untuk riya. Seakan-akan mereka mendirikan shalat dengan penuh khusyuk, namun sejatinya mereka tidak shalat. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, tetapi Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya (ingin dipuji) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (Q.S. An-Nisa/4: 142). Shalat seperti inilah yang akan mendapatkan celaan sebagaimana yang digambarkan Allah Swt dalam Q.S. Al-Maun/107: 4-5.

       Jadi, shalat yang mempu memberikan pengaruh positif bagi pelakunya bukanlah shalat asal-asalan yang dikerjakan sekedar untuk memenuhi kewajiban saja, melainkan shalat yang dilakukan dengan baik dan benar, penuh ketulusan dan kesungghuhan. Muhammad Ali Ash-Shobuni dalam kitab Safwah al-Tafẚsir (2004: 901) menjelaskan bahwa, shalat yang dapat mencegah perbuatan keji dan munkar adalah shalat yang didirikan sesuai dengan syarat, rukun dan adabnya, serta didirikan dengan penuh kekhusyukan sembari mengingat kebesaran Allah Swt.

       Dengan demikian, shalat yang khusyu’ dapat membangun keshalehan spiritual dan sosial. Shalat khusyu’ adalah shalat yang terlahir dari kesadaran setiap hamba yang memiliki kerinduan tertinggi kepada Penciptanya. Kesadaran itu lahir dari kerendahan hati dan kecintaan yang tulus seorang hamba kepada Tuhannya. Setiap muslim yang memiliki kesadaran tersebut akan senantiasa rindu dan ingin berdialog dengan tuhannya serta rela meluangkan waktu berlama-lama untuk “curhat” kepada Allah Swt dalam shalat, baik terkait persoalan pribadi, keluarga mapun bangsanya. Dengan kata lain, shalatnya dilakukan tidak sekedar untuk menggugurkan kewajiban, melainkan untuk membentuk pribadi unggul dan mulia.

       Shalat seperti inilah yang akan membuahkan keshalehan spiritual dan kepedulian serta keshalehan sosial bagi pelakunya. Oleh karena itu, dalam peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw tahun ini, marilah kita dijadikan sebagai momentum untuk mengevaluasi kualitas ibadah shalat kita. Jangan hanya dijadikan sebagai rutinitas formal dan acara seremonial yang “hampa makna”. Semoga. Wallahu A’lam.***

Riau Pos, Jum’at, 7 Juni 2013

0 komentar:

Post a Comment