Pendidikan Anti Kekerasan

Oleh : Susanto Al-Yamin
* Penulis adalah Pimpinan Pondok M2IQ Riau
     
     
Dalam beberapa pekan terakhir ini, kita dikejutkan oleh pristiwa tragis yang menimpa generasi muda bangsa. Aksi tawuran semakin marak terjadi. Pada hari Kamis (11/10/2012) kemaren, tawuran antar mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) kembali terjadi di Kampus UNM, Parangtambung, Makassar. Tawuran ini menyebabkan dua orang mahasiswa meninggal dunia (www.tribunnews.com). Sebelumnya, seorang pelajar, Deny Januar dari SMA Yayasan Karya meregang nyawa akibat pengeroyokan dalam tawuran pelajar yang terjadi di Jalan Minangkabau, Manggarai, Jakarta Selatan, Rabu (29/9/2012). Tak selang dari sepekan sebelumnya, Alawi Yusianto Putra, siswa SMA 6 Jakarta juga meninggal akibat tawuran dengan puluhan siswa dari SMA 70 yang lokasi sekolahnya tak jauh dari SMA 6 (www.tempo.com).

      Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, pada tahun 2011 tawuran pelajar mencapai 339 kasus dan korban tewas 82 orang. Jumlah ini meningkat 165 persen dari 128 kasus pada tahun sebelumnya. Tingginya kasus tawuran di kalangan pelajar dan mahasiswa merupakan "PR" bagi dunia pendidikan kita, baik formal maupun non formal.
     
      Kasus tawuran yang terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa merupakan akibat dari krisis karakter yang telah lama menimpa anak bangsa. Krisis karakter yang menimpa anak bangsa ini berdampak buruk. Selain berdampak menimbulkan tindakan kekerasan, krisis karakter juga menjadikan mereka sebagai generasi yang linglung dalam kontestasi pergaulan global, krisis karakter juga menjadi “kanker” dalam pertumbuhan dan perkembangan mentalnya. Untuk itu diperlukan upaya yang serius untuk merekonstruksi karakter anak bangsa.
     
      Untuk menjawab permasalahan tersebut, pemerintah telah menggagas dan mulai menerapkan pendidikan karakter di Sekolah. Bahkan pemerintah kembali memasukkan pelajaran PPKN pada tahun depan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah (www.jppn.com). Namun pendidikan karakter dalam diri peserta didik yang dilakukan melalui pendidikan karakter dan sejumlah mata pelajaran lainnya, masih tetap dilingkupi oleh permasalahan pelik, formalitas. Sebagai proses penanaman nilai, pendidikan karakter terjebak dalam kedangkalan, normatif, dan formalitas, serta mengabaikan subtansi, kedalaman, pemaknaan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.
      Karenanya, menurut hemat penulis, diperlukan pendidikan karakter anti kekerasan yang tidak hanya terbatas pada pendidikan formalitas di sekolah. Melainkan pendidikan karakter yang berorientasi pada penghayatan dan pengamalan. Pendidikan karakter anti kekerasan adalah upaya preventif yang paling efektif untuk menghapus tindakan kekerasan. Pendidikan sendiri merupakan “pabrik” sekaligus “bengkel” kemanusiaan.
     
      Pendidikan dapat dijadikan solusi atas persolaan tawuran yang melilit generasi muda bangsa ini. Memberikan pendidikan sejak dini kepada anak bangsa dengan menanamkan sikap dan prilaku anti kekerasan, yang dikenal dengan istilah pendidikan karakter anti kekerasan, dapat dijadikan upaya preventif terhadap tindakan kekerasan. Pendidikan karakter anti kekerasan ini sebenarnya dapat dilaksanakan di mana saja, baik di sekolah, lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Namun pendidikan karakter anti kekerasan akan lebih efektif jika dilakukan di lembaga pendidikan formal.
     
      Keterlibatan pendidikan formal dalam upaya pencegahan tindak kekerasan memiliki kedudukan strategis-antisipatif. Upaya pemberantasan tindak kekerasan di kalangan pelajar dan mahasiswa terlebih dahulu dapat dilakukan dengan mencegah berkembangnya mental kekerasan sejak dini. Sebab masa yang tepat dalam pendidikan anak adalah di waktu kecil. Memperoleh pengetahuan untuk mencapai sifat yang akan terus melekat dalam jiwa itu sulit dan tidak mungkin kecuali dilakukan sejak dini. Pendidikan sejak usia dini akan mengakar dalam kesadaran si anak sehingga setelah dewasa akan sulit untuk dihapus.
     
      Pendidikan karakter anti kekerasan ini akan berpengaruh pada perkembangan psikologis peserta didik. Melalui pendidikan ini, diharapkan semangat anti kekerasan akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Munculnya generasi baru yang anti kekerasan diharapkan mampu mendobrak budaya kekerasan yang saat ini berdiri dengan kokoh. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana model pendidikan karakter anti kekerasan yang paling efektif untuk diterapkan.
     
      Paling tidak, terdapat dua model yang menjadi wacana dalam pelaksanaan pendidikan karakter anti kekerasan. Pertama, menjadikan pendidikan karakter anti kekerasan sebagai satu mata  pelajaran  khusus dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP). Kedua, melalui pengembangan kurikulum, pendidikan karakter anti kekerasan diintegrasikan (dipadukan) pada  materi-materi pelajaran dalam kurikulum KTSP yang dianggap mengandung nilai-nilai anti korupsi, seperti pada mata pelajaran Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Sejarah dan materi pelajaran lainnya. Materi-materi tersebut diintegrasikan agar dapat membangun nilai-nilai luhur anti kekerasan kepada peserta didik.
     
      Menurut hemat penulis, pendidikan anti kekerasan akan lebih efektif jika diintegrasikan dengan mata pelajaran yang telah ada melalui penanaman nilai-nilai anti kekerasan. Bahkan di sinilah substansi dari pendidikan anti kekerasan tersebut. Dengan demikian pendidikan anti kekerasan akan menyentuh ranah afektif dan psikomotor yang secara otomatis dapat membentuk sikap dan perilaku anti kekerasan pada siswa, menuju penghayatan dan pengamalan nilai-nilai anti kekerasan. Namun, jika pendidikan anti kekerasan terjebak pada penguasaan materi saja, maka tingkat kegagalannya pun akan semakin tinggi.
     
      Selama ini, proses pembelajaran selalu dilaksanakan secara tekstual, sehingga nilai-nilai anti kekerasan tersembunyi di balik setumpuk materi yang diajarkan. Stagnasi pengembangan materi pembelajaran mengakibatkan tidak  terintegrasinya materi dengan problem-problem kontekstual. Hal tersebut diperparah lagi dengan proses pembelajaran yang berjalan secara monoton dan hanya  berorientasi pada penguasaan materi konvensional (subject oriented curriculum).
     
      Selanjutnya perlu diperhatikan, penanaman nilai-nilai moral dalam pendidikan anti kekerasan tersebut hendaknya tidak hanya berorientasi pada kecerdasan kognitif, melainkan harus menyentuh segala aspek kecerdasan siswa yaitu, afektif, kognitif dan psikomor. Karena manusia yang dididik adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika. Sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, Jasmani dan rohani, ilmu dan tingkah laku (M. Quraish Shihab, 1994: 173).
     
      Pendidikan anti kekerasan membimbing para generasi bangsa menjadi manusia yang berbudaya anti kekerasan, berwatak anti kekerasan, dan bertanggung jawab terhadap problematika kekerasan. Dengan pendidikan karakter anti kekerasan, beberapa tahun ke depan generasi bangsa Indonesia diharapkan secara moral telah terbekali. Sehingga, mereka tumbuh menjadi anak bangsa yang berkarakter mulia. Semoga. Wallahu A’lam.***

Riau Pos, Senin, 22 Oktober 2012.

0 komentar:

Post a Comment