Kurban dan Solidaritas Sosial

Oleh : Susanto Al-Yamin*
*Penulis adalah Pimpinan Pondok M2IQ Riau.

      “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah”, demikian firman Allah Swt dalam surat al-Kautsar/108: 1-2. Salah satu pesan penting dalam ayat ini adalah tentang perintah berkurban. Dalam kajian fikih, kurban merupakan ritual keagamaan dengan menyembelih hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu dan pada waktu tertentu, yaitu sejak 10 sampai 13 Dzulhijjah dalam rangka mendakatkan diri kepada Allah Swt.

     
      Jika dikaji lebih lanjut, ibadah kurban memiliki dua dimensi makna yang bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, ibadah kurban merupakan upaya pendekatan diri paling puncak antara seorang hamba dengan sang khaliq, Allah Swt. Ibadah kurban dalam makna vertikal tecermin pada keikhlasan shahibul Kurban (orang yang berqurban) dalam menyembelih hewan Kurban tanpa mengharap imbalan apa pun, kecuali ridho Allah Swt.
     
      Keikhlasan ini tidak cukup hanya bermodal niat tetapi juga realisasi dalam bentuk hewan kurban yang diharuskan tidak boleh cacat. Artinya, keikhlasan dalam berkurban di sini tidak karena mengikhlaskan barang yang sudah tiada manfaat baginya tetapi mengikhlaskan harta yang sebenarnya masih dicintainya (QS Ali Imran/3: 92). Hal ini dilakukan karena kecintaan kepada Tuhan lebih besar melebihi dunia seisinya.
     
      Dalam catatan sejarah, Qabil dan Habil, kedua putara nabi Adam, telah mempersembahkan kurban kepada Allah Swt (QS. Al-Maidah/5: 27). Konon, Habil mempersembahkan domba terbaik yang dimilikinya, sedangkan Qabil mempersembahkan tumbuh-tumbuhan yang tidak sempurna. Sehingga, kurban Habil diterima oleh Allah Swt, sedangkan kurban Qabil ditolak. Hal ini dikarenakan kerena kurban yang dipersembahkan Qabil tidak sempurna dan tidak ikhlas.
     
      Nabi Ibrahim juga telah memberikan teladan kepada kita dalam berkurban. Ia rela menyembelih putra tercintanya demi memenuhi panggilan Allah Swt. Sehingga, karena keikhlasan dan ketaatan nabi Ibrahim, Allah Swt menebus sang anak, Ismail Alaihissalam, dengan domba yang besar (QS. Al-Shaffat/37: 102-103), dan kemudian Allah Swt mengangkat derajat mereka menjadi hamba yang mulia.
     
      Ibadah Kurban di samping memiliki makna vertikal untuk menjadikan seseorang shaleh secara ritual juga memiliki makna horizontal yang diharapkan mampu menjdikan seseorang shaleh secara sosial. Artinya, berkurban selain sebagai wujud ketundukan diri kepada Sang Pencipta (keshalehan ritual) juga ditindaklanjuti dengan peningkatan solidaritas sosial (keshalehan sosial) para pelaku kurban. Perintah kurban bukan sekadar amal tanpa implikasi sosial yang jelas, melainkan sungguh suatu upaya menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Karena kurban menuntut manusia untuk dapat memetik nilai-nilai luhur kepedulian terhadap sesama dan merealisasikannya dalam kehidupan nyata.
     
      Kurban mengajarkan manusia untuk rela berkorban dan saling berbagi. Jangan sampai sifat-sifat buruk seperti pelit, kikir, tamak, dan serakah terus menjadi sifat dalam berkehidupan sosial. Sifat-sifat tersebut harus diganti dengan sifat-sifat rela berkorban, seperti; membantu fakir miskin, korban bencana, menyantuni anak yatim, dan sebagainya. Sifat-sifat rela berkorban untuk kelangsungan hidup bersama menjadi bagian penting dari pendidikan ibadah kurban.
     
      Sejatinya ibadah kurban adalah perintah Allah Swt untuk berkorban di jalan-Nya dengan menyembelih sifat egois,  mementingkan diri sendiri, rakus dan  serakah, kemudian dibarengi dengan kecintaan kepada Allah Swt yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas dan kerja-kerja sosial. Ibadah kurban mengajarkan kita untuk menolak segala bentuk egoisme dan keserakahan. Karena kedua sifat itu hanya akan merampas hak dan kepentingan kaum dhuafa (lemah) dan mustadh'afin (dilemahkan). Di sisi lain ibadah kurban dapat menjadi solusi terhadap berbagai bentuk ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang masih mewarnai negeri ini.
     
      Perintah berkurban bagi mereka yang diberi kelebihan rizki dan membagikan dagingnya untuk kaum miskin, mengandung pesan untuk berkorban harta, jiwa dan raga. Semangat menyembelih hewan kurban yang dagingnya dibagikan kepada kaum fuqara dan masakin (fakir dan miskin), jelas dimaksudkan agar terjadi solidaritas dan tolong-menolong antar anggota masyarakat. Yang kaya menolong yang miskin dan begitu juga sebaliknya. Sikap solidaritas ini diharapkan akan mengurangi kesenjangan sosial dan kondusif bagi pemberdayaan masyarakat.
     
      Dalam konteks kekinian, substansi kurban dapat direalisasikan dengan memberikan bantuan kepada kaum fakir dan miskin, anak yatim, anak jalanan, umat Islam yang sedang dijajah di Palestina dan umat Islam lainnya yang masih tertindas, para korban bencana seperti korban banjir, gempa bumi dan korban bencana alam lainnya. Memberikan sumbangan dalam bentuk apa pun, sesuai dengan kemampuan masing-masing, akan sangat besar manfaatnya.
     
      Selain itu, umat Islam dituntut untuk mengorbankan sebagian hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Karena tak sedikit dari mereka yang tidak memiliki tempat tinggal layak huni. Kemiskinan dan penindasan telah memaksa mereka untuk tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit, serta harus meminta-minta demi sesuap nasi. Untuk itu, perlu pengorbanan dari para aghniya’ (orang kaya) terhadap mereka yang membutuhkan. Karena dalam harta orang kaya itu ada hak kaum yang membutuhkan (QS Az-Zariat/51: 19, lihat juga QS al-Ma’arij/70: 24-24).
     
      Nah, di sinilah substansi Kurban mesti diterapkan. Jangan sampai dalam agama Islam, terdapat ajaran berkurban dan diikuti banyak kaum Muslimin namun mereka tidak bisa memetik makna di dalamnya. Jika pada hari raya Idul Adha, banyak umat Islam yang rela berkurban, namun setelah Idul Adha berakhir, mereka seolah menutup mata atas persoalan sosial umat Islam.
     
      Karena itu, jika ibadah kurban pada hari raya Idul Adha adalah sarana tarbiyah (pendidikan) dan latihan berkurban, maka pemberian bantuan kepada fakir miskin, korban bencana dan orang-orang yang membutuhkan adalah hasil dari tarbiyah dan latihan tersebut. Kurban adalah salah satu suri teladan sikap rela berkorban dalam kehidupan nyata. Dalam berkurban, seorang Muslim yang mempunyai kekayaan disunahkan mengikhlaskan sebagian hartanya, dimanfaatkan untuk saudaranya yang membutuhkan. Hanya saja, bentuknya ditentukan sebagaimana dalam syarat dan rukun kurban. Dalam kehidupan nyata, seorang yang kaya semestinya menyedekahkan sebagian harta untuk kelangsungan hidup saudaranya yang membutuhkan.
     
      Meskipun ibadah kurban hanya ada sekali dalam setahun, namun semangat berkurban tersebut seharusnya tidak  hanya lahir ketika Idul Qurban saja. Semangat berkurban harus terus-menerus hidup dalam diri kita walau di luar Idul Qurban. Semangat berkorban yang merupakan substansi ibadah kurban itu tidak harus berbentuk penyembelihan hewan. Ia dapat berupa apa saja yang bisa mendorong terwujudnya masyarakat yang sejahtera.
     
      Semoga dengan pelaksanaan ibadah kurban tahun ini, akan muncul semangat berkorban di masyarakat, apalagi pemerintah. Semangat berkorban ini sangat penting artinya dalam membangun masa depan bangsa dan negara ke arah yang lebih maju, lebih baik dan lebih sejahtera. Pemaknaan seperti inilah yang akan menemukan relevansinya dengan kondisi bangsa kita yang sedang didera banyak derita, bencana dan krisis di berbagai sektor. Semoga ibadah kurban kita semua menjadi ibadah yang hakiki baik dalam konteks ritual maupun sosial. Wallahu A’lam.
     
Sumber : Riau Pos

0 komentar:

Post a Comment