Download Ebook 7 keajaiban Rezeki karangan Ippho Santosa

        Judulnya 7 Keajaiban Rezeki yang dibahas adalah 7 langkah-langkah ajaib untuk mempercepat datangnya rezeki. Kebetulan dengan pendekatan-pendekatan islami dan otak kanan. Katanya ketujuh langkah-langkah itu bisa disebut percepatan-percepatan, lompatan-lompatan, ataupun keajaiban-keajaiban.


Ke-7 Keajaiban itu adalah:
1. Sidik Jari Kemenangan.
2. Sepasang Bidadari.
3. Golongan Kanan.
4. Simpul Perdagangan.
5. Perisai Langit.
6. Pembeda Abadi.
7. Pelangi Ikhtiar.

Memang jika diliat-liat buku ini syarat dengan angka-angka 7, 17, 19, dan 99. Dibuku ini dijelaskan dengan sangat detial tentang hal itu. Apa yang saya bahas di sini hanya garis besarnya saja, membaca buku ini anda benar-benar akan tersadar.
ingin tau lebih tentang buku ini silakan download ebooknya disini, tapi jangan lupa untuk membeli buku versi yang lain dari Ippho santosa karena Bukunya banyak dan karangannya bagus-bagus.

Ebook adalah buku elektronik yang bisa anda baca lewat perangkat komputer.
Anda bisa mendownload ebook 7 keajaiban rezeki dalam format PDF.



Judul Buku : Tujuh Keajaiban Rezeki
Pengarang  : Ippho santosa
Penerbit     : Elek Media
Format      : PDF
Ukuran file : 12 mb

untuk mendownload buku ini dalam format PDF, klik link dibawah

Download Ebook 7 Keajaiban Rezeki

- setelah terbuka tunggu 5 detik dan klik "skip ad" pada kanan atas, 
- setelah terbuka, klik download pada kanan bawah

17 komentar:

Post a Comment

KEBERKAHAN BANGUN PAGI

Oleh. Misrawati, S.Pd.I*
Misrawati adalah guru di SDN 001 Rengat, dan juara pertama pada M2IQ (Musabaqah Makalah Ilmiah Qur’an) mewakili Kabupaten Indragiri Hulu pada   MTQ tingkat Provinsi Riau Tahun 2012 di Bengkalis ***



 “At the first we make habits and at the last habits make us” (awalnya kita membentuk kebiasaan dan akhirnya kebiasaanlah yang membentuk diri kita).

Ungkapan ini mengandung pesan memotivasi kita membangun kebiasaan positif. Memang sulit mengawali sebuah kebiasaan. Dan, jauh lebih sulit, mempertahankannya. Termasuk, salah satunya, membiasakan diri bangun pagi.

Padahal, kebiasaan bangun pagi memiliki manfaat yang amat besar. Waktu pagi adalah kesempatan untuk menikmati udara segar yang belum tersentuh polusi. Momentum itu sangat tepat untuk menghirup sebanyak mungkin oksigen murni ke paru-paru. Pada saat itu sinar matahari memancar memberikan kesehatan karena mengandung vitamin D yang dapat menjadikan tubuh kita sehat dan kuat. Momentum indah inilah yang harus kita manfaatkan. Tetapi banyak orang  tidak mau memanfaatkannya. Mengapa?

Salah satu penyebab utama sulitnya bangun pagi adalah karena tidak memiliki keinginan untuk bangun pagi. Sedangkan tiadanya keinginan tersebut karena umumnya kita tidak menyadari betapa besarnya manfaat yang akan didapat apabila kita mau bangun pagi. Bila kita mengetahui besarnya manfaat bangun pagi, kita akan memiliki keinginan untuk meninggalkan kebiasaan jelek bangun di siang hari atau pun tidur setelah subuh.

Intinya, semua berawal dari keinginan. Bila keinginan bangun pagi sudah menancap kuat di hati, pasti mudah melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada keinginan sama sekali, maka akan sulit bagi kita untuk bangun pagi. Namun, apabila sudah terbentuk, kesulitan itu pun juga akan hilang justru kita akan merasa sulit untuk meninggalkannya. Mungkin dulu motivasinya karena takut dimarahi oleh orangtua. Dengan berjalannya waktu, motivasi itu bukan lagi karena rasa takut, tetapi karena sudah merasakan nikmatnya untuk bangun di pagi hari. Fakta, motivasi juga bisa menjadi sebab seseorang kesulitan untuk bangun pagi. Begitu juga halnya, apabila sejak kecil kita dibiasakan bangun pagi, maka kebiasaan itu akan membentuk diri kita. Akhirnya, kita pun memiliki kebiasaan bangun pagi. Kalau mau tidur lagi selesai shalat subuh, justru merasa tidak nyaman. Halnya, kebiasaan yang awalnya kita bentuk sudah membentuk diri kita.

Selanjutnya, ada sebuah ungkapan “salah satu ciri seorang pemenang adalah memiliki kebiasaan bangun di pagi hari. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan yang tidak akan datang dua kali sepanjang hidupnya”(Fadlan al-Ikhwani). Ungkapan ini memiliki makna sama apabila di suatu kompetisi dan juga perlombaan, 'the winner'  bukan selalu mereka yang melakukan suatu hal 'tercepat', tapi terkadang yang memulai lebih awallah yang mendapat suatu kemenangan. Nah, bangun lebih awal berarti memberi kita kesempatan untuk bergerak lebih dulu. Artinya kita dapat menggunakan kesempatan tersebut untuk menjadi lebih produktif atau lebih enerjik dibandingkan orang lain.

Ternyata bangun lebih pagi memiliki banyak manfaat. Mulai dari segi kesehatan, sosiologi  dan agama. Bagi kesehatan, menurut Dr. Muslim Nathin , bangun pagi juga dapat mengurangi kecenderungan terserang panyakit kardiovaskular atau gangguan jantung dan pembuluh darah. Kita mendapat kesempatan untuk menikmati udara segar yang belum tersentuh polusi, dimana momentum tersebut sangatlah tepat untuk memasukan sebanyak mungkin oksigen murni ke paru-paru dengan aktifitas olahraga. Apabila ditinjau dari segi sosiologi, dapat menjalin keakraban dengan tetangga yang sama-sama punya kebiasaan bangun pagi, ketika kita berolahraga atau ketika sholat subuh berjamaah di mesjid. Bertemu atau berkenalan dengan orang baru yang punya aktifitas atau bekerja di pagi hari, biasanya orang-orang yang berdagang di pasar. Sedangkan dari segi agama, Rasulullah bersabda: “berpagi- pagi itu barokah”. Sebab waktu itu jiwa, akal dan fisik kita belum letih, masih fresh, jadi sayang jika tidak digunakan sebaik-baiknya. Sebaik-baik waktu bekerja adalah di waktu pagi.

Mereka yang bangun di pagi hari, kemudian melaksanakan shalat subuh berjama’ah menjadi salah satu indikasi kokohnya iman. Menurut hadis Rasulullah bahwa shalat Isya dan shalat Subuh adalah shalat yang paling berat bagi orang munafik. Sebaliknya, bagi orang mukmin, shalat – shalat itu merupakan shalat istimewa. 

Dalam hal ini, ternyata Islam pun sudah mengatur pola tersebut. Apabila kita biasa bangun untuk shalat malam, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat subuh tepat waktu, maka kita sudah membentuk kebiasaan terpola. Apabila kita mengikuti aturan dan pola yang telah ditetapkan dengan melaksanakan shalat zhuhur, Ashar, Magrib, dan Isya secara tepat waktu dengan berjama’ah di mesjid, maka Islam akan membentuk kita menjadi manusia berdisiplin tinggi. Subhanallah.


 Ingin baca secara offline, Download tulisan ini :



Terima Kasih Telah Mengunjungi

PONDOK M2IQ RIAU


1 komentar:

Post a Comment

Raja Ali Haji: “Hati itu Kerajaan di dalam Tubuh”

Oleh: Ali M. Hasan Palawa***
Manusia pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur al- Jasm (jasmani, raga atau fisik), al-Nafs (nafsani, jiwa atau psikis), al- Ruh (rohani, sukma atau spirit). Ketiga unsur ini merupakan satu susunan kesatuan yang tidak dapat dipisah (integral) dan utuh (totalitas) dalam membentukan kedirian manusia. Akan tetapi, secara sederhana, demi mengikuti pemahaman masyarakat awam, Raja Ali Haji hanya membangi manusia dua unsur: rohani dan jasmani. Meskipun demikian, pada penjelasan-penjelasan berikutnya secara implisit Raja Ali Haji mengakui pembagian tiga unsur manusia: ruhani, nafsani dan jasmani. Kebenaran pernyataan disebut belakangan terlihat ketika Raja Ali Haji, misalnya menganjurkan agar penguasa memelihara ketiga unsur manusia tersebut, yaitu memelihara nyawa (rohani), memelihara nama (nafsani) dan memelihara badan (jasmanai).

Memelihara Ruhani.

      Pengertian al-ruh secara sederhana, menurut Raja Ali Haji, sama dengan nyawa yang befungsi sebagai sumber kehidupan manusia. Dalam pengertian semacam ini, ruh adalah “jisim yang halus yang terus-menerus hidup.” Roh dalam pengertian ini tetap menjadi rahasia Ilahi, sementara pemahaman manusia tentang ruh sangat terbatas. Dalam mempertegas argumentasinya, ia mengutif firman Allah: “ yasalûnaka ‘ani al-rûh kul al-rûh min ‘amri rabbî wa ma ûtîtum min al-‘ilmi illâ qalîlâ (dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Q.S. al-Isra’ [17]: 85). Bahkan Raja Ali Haji menyarankan bagi masyarakat awam untuk tidak membicarakannya, melainkan mengikuti saja pengertian ruh yang telah dijelaskan para ulama terdahulu. Raja Ali Haji menyarankan untuk mengikuti penjelasan ulama, mislanya pendapat Imam Haramain, Imam al-Ghazali, Syekh Ibrahim al-Laqani dan Imam Nawawi al-Banteni. (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, hal. 291-292 dan 28).

     Pada bagian lain, Raja Ali Haji terkadang juga secara umum dan sederhana mengkategorikan ruh sama dengan al-akal, al-qalb, dan al-nafs. (Raja Ali Haji, Tsamarat al-Muhimmah: 40) Misalnya, ia menyebutkan bahwa ruh merupakan entitas yang juga mengatahui hakekat segala sesuatu. Maka dalam pemahamahan semacam ini, ruh sama fungsinya dengan akal. Begitu pula, ruh berarti sama dengan al-kalb (hati) yang dapat merasakan kebahagian dan kesengsaraan. Ruh, juga merupakan “alat” bagi jasmani (badan atau raga) dan sumber mobilitas segala aktifitas manusia. (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa:. 292) Maka ketika ruh mengalami kerusakan akan berimplikasi mudharat kepada seluruh anggota badan. Oleh karena itu, melihat urgensi eksistensi roh, Raja Ali Ají menyimpulkan bahwa memelihara ruh hukumnya adalah wajib.

      Menurut Raja Ali Haji, sebab mula terjangkitnya “penyakit” pada rohani bagi manusia (baca: penguasa) dikarenakan “kedatangan beberapa bala’ dan susah atau anwa ‘ul bala’”. Hal tersebut dapat dilihat dari, sebagaimana dikutip secara in extenso dari Tsamarat al-Muhimmah: “Pertama, pada rezeki yakni sebab kepicikan rezeki yaitu hidup sebab papa; kedua, sebab kedatangan penyakit pada badan dan kepada tubuh; ketiga, sebab bercerai dengan kekasih, sama ada kepada manusia, seperti kematian anak-istri atau sanak keluarga, kaum kerabat dan sahabat handai atau sebab bercerai dengan kekasih, sayang daripada pangkat dan kebesaran dan kemulian …; keempat, dengan sebab kedatangan susah dari pada pihak yang ditakutkan hilang nyawa atau mudharat kepada badan yaitu kesusahan pada pihak seteruan, seperti di dalam permusuhan dan pergaduhan atau lainnya segala pekerjaan yang ditakuti; kelima, sebab kedatangan dihina-hinakan manusia atau barang sebagainya segala pekerjaan yang jatuh dirinya yang jadi menyusahkan dia….”
     Adapun cara mengobati penyakit rohani ini, pada hemat Raja Ali Haji, adalah dengan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadist serta nasehat-nasehat para ulama, dan “hendaklah sekedudukan dengan orang yang berilmu dan orang-orang sholeh”. Bahkan Raja Ali Haji menyarankan agar berdoa memohon pertolongan Allah guna mengobati penyakit ruh tersebut lewat sembahyang hajat. Lebih lanjut dalam mengobati penyakit ruh ini, Raja Ali Haji merekomendasikan, “Syahdan jika hendak terang kenyataan perkara yang tersebut itu hendaklah mentala’ah kitab-kitab ahli sufi seperti kebanyakan kitab al-Ghazali dan lainnya, intaha.” Raja Ali Haji, Tsmarat al-Muhimmah: 44).

     Kalaupun bala’ tersebut telah menimpa, Raja Ali Haji menganjurkan’ “hendaklah berbaik sangka kepada Allah Ta’ala sebab hikmahnya tiada kita ketahui.” Dalam menerima cobaan, di samping mengupayakan penyembuhannya, hendaknya dihadapi dengan ridha, “tidak berkeluh kesah dan mengadu kesana kemari,” penuh kesabaran serta tawakkal kepada Allah. Kerena “Allah mengasihi orang sabar dan meluaskan orang tawakkal.” Dengan begitu, Allah akan memberikan balasan yang lebih baik dan akan memberikan pahala bagi orang yang bersabar dan bertawakkal di dalam menghadapi cobaan. Anugrah dan pahala bagi orang yang sabar dan tawakkal, kata Raja Ali Haji, tidak saja akan diperolah di akhir, tetapi juga di dunia ini, sebagaimana yang telah dianugrahakan Allah kepada Nabi-nabi-Nya.

Memelihara Nafsani

     Manusia adalah makhluk yang, menurut Raja Ali Haji, diciptakan dari tiada menjadi ada (cretion ex nihilo). (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 28).Unsur kedirian manusia yang paling “hakiki dan sejati” adalah al-nafs (nafsani, jiwa atau psikis). Ia disebut demikian karena al-nafs berada dan segaligus “terombang ambing” antara pengaruh baik al-Ruh (rohani, sukma atau spirit) dan “pengaruh” buruk dari al-Jism (jasmani, raga atau fisik). Dalam pengertian ini, refresentasi perwujudan al-nafs ini dalam diri manusia adalah al-qalb (arti harfiahnya bolak-balik). Al-Qalb (hati) adalah cerminan bagi perbuatan baik dan buruk manusia. Kalau al-qalb dekat dan mengikuti pengaruh al-ruh, ia akan menjadi baik dan terangkat derajat kemanusiaanya, sebaliknya kalau al-qalb dekat dan mengikuti pengaruh al-jasm, ia akan menjadi buruk dan terjatuh derajat kemanusiannya. 

    Karenanya, untuk menuju kembali kesempurnaan diri manusia, menurut Nurcholish Madjid, ada tiga jenjang perjuangan pribadi yang harus dilakukan. Pertama, jenjang al-nafs al-ammârah bi al-su‘, yaitu berjuang dan mengalahkan dorongan “nafsu amarah” kepada kejahatan. Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (Q.S. Yusuf [12]: 53). Kedua, jenjang al-nafs al-lawwâmah, yaitu membangun kesadaran disertai dengan penyesalan akan kejahatan diri, “nafsu lawwamah”. Al-Qur’an menyebutkan, “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (Q.S. al-Qiyamah [75]:2.) Ketiga, jenjang al-nafs al-muthma‘innah, yaitu menggapai kebahagian surgawi dengan jiwa yang damai. Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku.” (Q.S. al-Fajr [89]:27-30).

    Eksistensi manusia diukur, dalam pandangan Islam, sangat tergantung dari akhlaknya yang kemudian dimanifestasikan dalam amal-amal shaleh. Islam tidak terlalu menekannkan prinsip “cogito ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada), sebagimana dianut oleh filosuf rasionalis Barat, Rene Descartes, tetapi lebih pada prinsip “labora ergo sum” (aku beramal, maka aku ada). Artinya, ukuran keberadaan seseorang lebih ditentukan amal-perbuatnnya, bukan yang lainnya, semisal kepandaian. Karenanya, seseorang yang beramal baik akan mendapat sebutan/ nama baik, sebaliknya seorang yang beramal jelek akan mendapat sebutan/ nama jelek pula. Dalam “Syair Nasehat” Raja Ali Haji menyebutkan: Jalan kehidupan ditunjukkan/ Berkebun berladang disukakan// Berbuat baik dipujakan/ Berbuat jahat dihinakan//
Untuk itu, menjaga/ memelihara nama baik, kata Raja Ali Haji, sama pentingnya “memelihara agama”. Kongkritnya, ia mengatakan untuk dirinya, “biaralah kita jadi orang miskin atau jadi orang kecil asal jangan kita cacat kepada agama dan nama. Karena apabila orang2 tiada memelihara yang dua perkara itu, tiada guna panjang umur di dunia karena sama juga dengan binatang.” (Ian van der Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan: 60). Umur panjang tiada artinya, tanpa menorehkan nama baik lewat amal sholeh. Dengan melakukan amal sholeh manusia sepeninggalannya akan dikenang kerena nama baiknya, seperti kata pribahasa manusia mati meninggalkan nama. Sebaliknya, manusia yang tidak melakukan amal sholeh, kedudukannya sama dan bahkan mungkin lebih rendah dari binatang. Bukankah binatang dikenang orang kerena sesuatu yang ada pada dirinya dan bermamfaat bagi manusia, seperti ungkapan pribahasa, “harimau mati meninggalkan belang.” 

     Oleh sebab itu, apabila seorang penguasa ingin mendapat predikat baik (nama baik), menurut Raja Ali Haji, hendaknya menunjukkan sikap-sikap yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Menurutnya, sejelek-jelek sebutan (asma’ al-sayyiah) atau seburuk-buruk akhlak (akhlaq al-madzmûmah) bagi seorang penguasa adalah sebutan zalim, bodoh, lalai, dan penakut. Sebaliknya, sebaik-baik sebutan (asma’ al-hasanah) atau semulia-mulia akhlak (akhlaq al-mahmûdah) bagi seorang penguasa adalah adil, cerdas, rajin dan pemberani. Diantara keempat tersebut yang paling hina dan keji disandang bagi seorang pengasa adalah sebutan zalim. Begitu pula sebaliknya, sebutan yang paling mulia dan terpuji bagi seorang penguasa, sebagaimana disebutkan dalam Tsamarat al-Muhimmah, adalah sifat adil. Karenanya, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Raja Ali Haji menjadikan sifat “adil” salah satu syarat utama untuk pengkatan seorang penguasa. 

     Raja Ali Haji memberikan pelajaran bahwa kalau hati itu di dalam tubuh, ibaratnya “raja di dalam kerajaan”. Kalau hati tidak dipelihara dari sifat zalim, misalnya, akan berakibat pada kehancuran segala anggota tubuh. Ibaratnya kalau seorang raja tidak terpelihari dari sifat zalim, misalnya, akan berakibat kehancuran pada kerajaan. Persisinya dalam Gurindam Duabelas Raja Ali Haji berutur dengan indahnya: “Hati itu kerajaan di dalam tubuh/ jikalau zalim segala anggotapun rubuh.” Begitu pula dalam kedirian seorang penguasa, beberapa sifat yang tercela dan hina sebagai “penyakit hati” yang harus ditinggalkan oleh penguasa demi menjaga kredibilitas (nama baik) di mata rakyatnya. Raja Ali Haji menyembut cara melihara hati dengan cara menjahui sifat yang tercela, seperti takabur, iri hati: “Adapun “hati” pula hendakalah peliharakan dia daripada takabur yakni membesarkan diri, melihat dirinya lebih semata-mata baik pada bangsa atau pada rupa atau pada harta atau pada ilmu. Maka yaitu ditegahkan oleh syarak. Dan demikian lagi hendaklah peliharakan dia daripada dengki akan seseorang yang mendapat nikmat. Dan hendaklah dipeliharakan dia daripada segala kejahatan hati seperti yang tersebut di dalam beberapa kitab karangan ulama yang besar-besar, istimewa pula di dalam Qur’an dan di dalam Hadis. Syahdan jika engkau berkehendak rujuklah engkau kepadanya adanya.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 79). Selanjutnya, untuk memelihara sifat baik (akhlâq al-mahmûdah) dan menjuhi sifat buruk (akhlâq al-madzmûmah) tersebut, menurut Raja Ali Haji, “tiada dapat tiada, hendaklah kita ketahui tertib segala penyakit hati yang membawa kepada anggota zahir,” seperti apa yang diuraikan dengan panjang lebar dalam bagian “khatimah” (penutup) Tsamarat al-Muhimmah. 

*Penulis adalah Mahasiswa S3 Sekolah Pasca-sarjana UIN Jakarta, dan salah seorang Pembina Pondok M2IQ Riau.

Unduh tulisan ini :


Terimakasi telah mengunjungi 

PONDOK M2IQ RIAU



0 komentar:

Post a Comment

Kecerdasan Hilmiyah dan Jahiliyah

Oleh: Ali M. Hassan Palawa***

       Negeri kepulauan nan elok-permai disebut-sebut sebagai gugusan zamrud khatulistiwa ini pada awalnya dikenal sebagai negari yang aman dan damai. Begitupun, penduduknya dikenal ramah, santun dan toleran serta berlapang dada. Dulu, orang luar mungkin iri dan menyesal tidak dilahirkan di negari ini, dan kita merasa tersanjung dengan sebutan itu sekaligus bangga dilahirkan di sini.

      Akan tetapi, belakangan negeri ini berubah menjadi negeri yang mengerikan dengan bom-bom yang meledak silih-berganti diberbagai tempat. Demikian pula, gelar yang disandang penduduknya tersebut hilang disapu, setidaknya, dicederai oleh serentetan konflik etnis yang mengenaskan disejumlah wilayah. Saat ini, orang luar tidak perlu lagi iri dan malah merasa beruntung tidak dilahirkan di sini. Dan kita menjadi malu sendiri melihat kondisi bangsa ini, meskipun belum/tidak menyesal dilahirkan di bumi pertiwi. 

      Kita bangga dan ternina-bobokan dengan keindahan dan kekayaan alam, tetapi ketika kita sadar, ternyata kita mendapatkan diri kira miskin dan malah termasuk negeri peringkat ketujuh terkorup di dunia. Kita terlena dengan keramahan-tamahan dan tolerensi penduduk negeri ini, padahal kita belum pernah diujui. Ketika diuji, ternyata, dibalik nilai-nilai positif dan baik itu dalam diri bangsa ini tersimpan potensi negatif dan buruk: kejam, sadis dan bringasan. Potensi yang disebut terakhir ini dapat saja aktus lagi dimana, kapan, dan oleh siapa saja. 

    Potensi-potensi negatif dan buruk itu harus diwaspadai karena sebentar lagi negeri ini akan menyelenggaran perhelatan akbar, pesta demokrasi: Pemilihan Umum (Pemilu) yang diawali dengan kampanye oleh kontestan partai-partai politik. Kewaspadaan itu menjadi semakin penting karena menurut analisa BIN, pemilu 2004 berporensi gagal. Potensi kegalalan pemilu, menurut kepala BIN, AM Hendoropriyono, ada dua faktor. Pertama, faktor internal: kesiapan KPU sebagai penyelenggaran pemilu; dan kedua, faktor eksternal: terkait dengan situasi keamanan dan ketertiban.

       Sedikit menggembirakan bahwa diantara kedua faktor ini, menurut kesimpulan BIN, faktor pertama lebih dominan dalam menentukan gagal atau tidaknya pemilu. Sementara faktor kedua, menurut Kepala BIN, kemanan dan ketertiban menjelang pemilu tidak akan sampai menggangu dan menggagalkan pemilu (Riau Pos. 4 Maret). Disebut sedikit menggembiran, karena kalau pemilu gagal karena faktor pertama, ongkosnya hanya lebih bersifat finansial, tenaga dan pikiran, khususnya dari penyelenggara pemilu.

        Namun, sekali lagi, tetap saja bangsa ini harus tetap waspada. Karena kalau ternyata kegagalan pemilu disebabkan justru oleh faktor kedua, maka ongkos dan resiko yang akan ditangung oleh bangsa ini sunguh luar besar dan berat. Kegembiraan yang tersisa sedikit tadi akan habis, dan yang tinggal hanyalah kepiluan dan ratapan berkepanjangan. Dapat dibanyangkan, ketika keamanan dan ketertiban tidak terjaga, sangat memungkinakan akan terjadi konflik horisontal antara massa-massa pendukung-pendukung (fanatik) partai. Akibatnya, kerusahan terjadi dan boleh jadi ongkos pemilu akan dibayar oleh darah-darah, bahkan nyawa dari anak-anak bangsa. Nauzu billah.

       Agar pemilu kali ini berhasil, apa lagi tidak berdarah-darah, kecerdasan intelektual (pengetahuan tentang politik, demokrasi, pemilu, dll.) yang dimiliki oleh masyarakat tidak memadai dan menjamin. Justru yang lebih menjamin adalah kecerdasan emosional. Bagaimana masyarakat memaknai perbedaan pendapat dengan jiwa toleran dan berlapang dada (hanif al-samhah). Karena orang yang memiliki kecerdasan intelektual, tinimbang masyarakat yang mempunyai kecerdasan emosional, justru yang cenderung berpeluang bersifat jahiliyah.

      Jahiliyah, akar kata dari “jhl” selama ini senantiasa dikontradiktifkan (sebagai lawan kata) dengan kata “Ilm”. Padahal, dalam kebudayaan dan kesusatraan pra-Islam ditemukan kata jhl yang, menurut penelitian Goldziher, arti pokoknya bukan lawan kata ilm (kepintaran), melainkan lawan kata dari hilm. Kata “hilm” dalam bahasa Arab artinya kelamah-lembutan; ketenangan (sakinah); sifat menahan diri dan taqwa, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an: Ketika orang kafir membangkitkan dalam hatinya kesombongan --kesombongan jahiliyah-- maka Allah menurunkan ketenangan atas rasul dan mereka yang beriman, dan mewajibkan mereka menahan diri. Dan mereka memang berhak dan patut memilikinya. Dan Allah mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Fath [48]: 26).

      Jadi, orang-orang kafir disebut jahiliah bukan kerena mereka tidak berilmu pengetahuan, apa lagi bodoh (tidak pintar). Malah orang-orang Arab pra-Islam sangat masyhur dengan kecerdasan intelektualnya, misalanya ditandai dengan kekuatan hafalannya. Akan tetapi, orang-orang pra-Islam disebut jahiliyah lebih karena mereka tidak dapat menahan diri dan sikap berutal mereka. 

     Sikap kejam dan tanpa prikemanusia ini dengan jelas tercermin, misalnya, pada diri Khalid bin Walid, ketika ia diutus oleh Rasul untuk menyampaikan misi keislaman dan berdakwah mengajak orang-orang di daerah sekitar Mekkah untuk masuk Islam. Sebelumnya Rasul memerintahkan Khalid bin Walid melaksanakan tugas tersebut secara damai serta tidak melakukan kekerasan dan pertumpahan darah. Tetapi apa yang terjadi, setelah sampai ditujuan, Khalid berseru: ”Letakkan senjata, karena setiap orang telah memuluk Islam.” Begitu orang-orang di sekitar Mekkah meletakkan senjata, Khalid memerintahkan pasukannya, “ikat tangan mereka ke belakang dan pancung leher meraka.” Ketika berita ini sampai di telinga Rasul, ia menyuruh Ali bin Abi Thalib ke sana dan menyelidiki kejadian tersebut serta “memerintahkan agar menghapus semua praktek-praktek jahiliah.” 

    Begitu juga, kejadian serupa tampak nyata lima puluh tiga tahun sepeninggalan Rasul, ketika dinasti Umayyah melakukan belas dendam terhadap orang Anshar yang mendukung khilafah Abdullah bin Zubair, sampai tega membombardir kota Madina, memperkosa para gadisnya, membunuh sekitar 80 orang sahabat Rasul dan membunuh sekitar sepuluh ribu orang Anshar dan keturunnanya. Jelas bahwa sikap ini merupakan aspirasi jahiliyah. 

     Setelah itu, untuk mengelimasi kebobrokan pada masa dinasti Umayyah, dibuatlah konsep baru tentatng jahiliyah dengan menambah kata “zaman.” Sehingga kesannya, zaman jahiliyah telah berlalu dengan datangnya Islam. Padahal, jahiliyah tidak terkait dengan “zaman” yang merujuk pra-Islam atau diidentikkan dan didefinisikan dengan masa sebelum kelahiran Nabi Muhammad. 

      Namun, jahiliyah lebih merupakan sikap kejiwaan yang tetap ada sampai kedatangan Islam, bakan hingga saat ini, sampai-sampai kita mengenal istilah “Jahiliah Modern” lewat sebuah judul buku, misalnya. Sebagai orang yang hidup zaman modern yang akan melaksanakan pemilu, nota bene piranti demokrasi yang diklaim milik orang modern, kiranya kita memiliki kecerdasan hilmiyah, bukan kecerdasan jahiliyah.
Ma taufiq wa al-hidayah illah billah.

*Penulis adalah Mahasiswa S3 Sekolah Pasca-sarjana UIN Jakarta, dan salah seorang Pembina Pondok M2IQ Riau.

Tulisan ini bisa di download dalam format PDF dan Word, pilih dibawah :


Terima kasih telah mengunjungi

PONDOK M2IQ RIAU





0 komentar:

Post a Comment

Tauhid dan Pencegahan Korupsi


Oleh: Ali M Hassan Palawa

Penulis adalah Mahasiswa S3 Sekolah Pasca-sarjana UIN Jakarta, dan salah seorang Pembina Pondok M2IQ Riau.
       Proses  pemurnian kepercayaan kepada Allah, tidak berhenti hanya pada  Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah, tetapi harus pla diikuti dengan Tauhid Husuniyyah. Artinya, setelah seorang mengakui bahwa Allah satu-satunya Wujud yang mencipta/ memelihara; dan bahwa Allah satu-satunya Wujud yang harus disembah, maka seseorang harus meneruskan pada sebuah kesadaran tauhid bahwa Allah adalah satu-satu Wujud Yang Terbaik dan Pengawas serta senantiasa hadir agar manusia berbuat (juga) yang terbaik.

       Dewasa ini, tidak sulit melihat dengan kasat mata ada orang yang saleh secara individul dengan indikasi, misalnya, rajin salat lima waktu, menunaikan ibadah haji ke Makkah sampai dua-tiga kali, serta umrah saban waktu dikehendakinya. Adalah benar bahwa ibadah umrah, haji dan terutama salat sebagai wujud nyata pengejawantahan yang paling representatif dari Tauhid Uluhiyyah. Akan  tetapi, ia tidak memaknai ibadah-ibadah tersebut sebagai kesalehan pribadi yang mempunyai implikasi kesalehan sosial, sehingga salatnya tidak fungsional, yaitu tidak dapat mencegahnya untuk berbuat keji dan jahat terhadap sesama manusia dan ciptaan Allah lainnya, seperti alam dan lingkungannya.

     Makanya, tidak mengherankan kalau ada orang begitu ”kelihatan” saleh secara individual sewaktu di masjid —salatnya begitu khusyuk, berdoa dengan raja‘ wa khawf  (harap dan cemas kepada Allah). Atau sewaktu di Haramayn —Makkah dan Madinah— seluruh rangkaian ibadah haji/ umrahnya begitu dekat sama Allah, doanya disertai cucuran air mata karena menyesal atas dosa-dosanya. Namun, setelah pulang dari salat atau pulang dari haji atau umrah, “Allah” ditinggal dalam masjid atau di Kakbah. Artinya, ia tidak lagi memiliki Tauhid Husuniyyah, yaitu Allah tidak mengawasinya lagi, dan Allah tidak lagi hadir dalam dirinya. Sehingga, matanya menjadi “hijau” kalau melihat uang rakyat. Karena tidak bisa dikorupsi secara langsung —kalau itu dilakukanya secara langsung juga, lalu apa bedanya ia dengan perampok—, kemudian ia rekayasalah sedemikian rupa sehingga uang rakyat itu “sah” menjadi miliknya.

     Seandainya, sekali lagi, ini seandainya orang tersebut tidak “meninggalkan” Allah di dalam masjid atau Kakbah di Makkah, tentu ia selalu merasa diawasi dan Allah senantiasa hadir kapan, dimanapun serta bagaimanapun dalam dirinya. Sehingga, misalnya, kalau  mau menyuap ia akan mengurungkan niatnya karena Allah mengawasinya. Atau kalau akan disuap ia akan menolak karena Allah selalu hadir dalam hidupnya. Kalau mau mengambil kebijakan/keputusan yang merugikan masyarakat, ia mengurungkan niatnya. Sayangnya, ini hanya pengandaian dan kalau hanya terus menjadi mengandaian, maka pencegahan korupsi tinggal angan-angan yang absurd dan utopis.

    Ironisnya lagi, lambat laun, orang semacam ini hatinya tidak lagi memancarkan “cahaya” hatinya tidak lagi “nurani” bersifat cahaya-terang, tetapi sudah “zulmani” bersifat gelap gulita. Dengan begitu,  ia tidak dapat lagi melihat kejahatan yang dilakukannya sebagai kejahatan. Malahan, kejahatan yang dilakukannya sudah dilihatnya seolah-olah menjadi ”baik” dan ”halal”. Termasuk kejahatan uang hasil korupsi yang ia sumbangan ke masjid-masjid baginya “baik-baik” saja; atau uang hasil korupsi yang dipergunkan naik haji dan umrah berulang-ulang kali setiap kali ini diinginkannya, itu pun buat dirinya “halal-halal” saja.

    Padahal, hakikat tujuan ibadah mahdah, terutama salat adalah agar manusia menjadi baik dan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Inna al-shalah tanha ‘an al-fahshai wa al-munkar. (QS al-Ankabut: 45), termasuk tentunya dari kejahatan korupsi. Bahkan bagi orang yang salat sekalipun, tetapi tidak memiliki Tauhid Husuniyyah, justru ia menjadi orang yang celaka. ”Maka celakalah orang yang salat, yaitu orang-orang lalai terhadap salatnya, yang berbuat ria, dan enggan memberikan bantuan”. (QS Al-Ma‘un. 4-7).

    Seseorang yang tidak memililki Tauhid Husuniyyah pada satu sisi boleh saja (kelihatan) khusuk dalam salatnya, tetapi pada sisi lain, rakus korupsi. Meskipun segera harus ditambahkan, bahwa “khusuk dalam salat di sini bukan dalam  makna sebenarnya (hakiki), tetapi dalam makna artifisial, sekadar di permukaan dengan motivasi ingin pamer, riya atau  ingin dilihat orang lain. Sedemikian berbahaya penyakit hati ini bagi keintregralan harkat dan martabat kemanusiaan, sampai-sampai Nabi menyatakan: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu sekalaian ialah syirik kecil, yaitu riya”.

     Begitu pula, seseorang yang tidak mempunyai kesadaran Tauhid Husuniyyah, kalaupun ia berbuat kebaikan, misalnya memberikan derma kepada orang lain, dapat dipastikan tidak ada keikhlasan dalam perbuatannya itu, sebab bukan Allah yang menjadi motivasi dan orientasinya. Ketika akan berderma, misalnya, ia mengundang publik agar semua orang mengenalnya sebagai seorang dermawan. Sifat kedermawannya itu hanya akan muncul pada waktu-waktu tertentu, seperti kalau ada pemilihan legislatif atau momen lain.

     Dalam ajaran Islam, berbuat baik, misalnya berderma/ bersedakah, meskipun tidak akan batal karena disampaikan (diumumkan) kepada orang banyak secara wajar, akan lebih baik apabila dilakukan secara diam-diam. (Al-Baqarah: 271). Untuk itu, seseorang yang beriman, dalam segala amal ibadahnya, ia hanya terdorong untuk meraih rido atau “wajah” Allah. (Al-Baqarah: 272; dan Al-Insan: 9). Konsekwensi logisnya, manusia yang memiliki keyakinan Tauhid Husuniyyah tidak lagi berada pada tataran meminjam term dalam tasawuf  Takhalli, yaitu mengosongkan dirinya dari perbuatan buruk dan  keji (munkar dan fahsha), tetapi sudah berada pada tataran Tahalli, yaitu mengisi dirinya dengan perbuatan baik dan terpuji (Al-ma‘ruf dan Al-khayr). Akhirnya, manusia yang memiliki keyakinan  Tauhid Husuniyyah berada pada tataran Tajalli. Yaitu tersingkapnya tabir rahasia antara dirinya dengan Allah dalam radiyah-mardiyyah.  Wa Allah ‘alam bi al-Sawab.***


Syukron, Anda telah mengunjungi 

PONDOK M2IQ RIAU


Donwload artikel ini




0 komentar:

Post a Comment

Hukuman Bagi Koruptor

Oleh: Susanto Al-Yamin

     Koruptor adalah musuh terbesar bangsa ini. Mereka telah merusak seluruh sistem kehidupan dan mengubur nilai-nilai Agama dan warisan luhur para pendiri bangsa. Sehingga berakibat pada rapuhnya pembangunan, lumpuhnya ekonomi, lemahnya penegakan hukum, tersumbatnya pendidikan, meningkatnya angka kemiskinan dan pada akhirnya berpotensi menghancurkan bangsa ini.

   Sungguh tindakan korupsi merupakan perbuatan keji dan berbahaya. Maka wajar jika seluruh Agama besar di Dunia ini melarang tindakan korupsi dan mengutuk para pelakunya. Bahkan dalam Islam, tindakan korupsi merupakan dosa besar dan pelakunya harus diberikan sangsi yang tegas.

      Menurut ajaran Islam, korupsi dapat dikategorikan dalam tindakan ghulul/penggelapan (Q.S. Ali-Imran/3: 161), mengambil harta dengan cara yang batil (Q.S. al-Baqarah/2: 188), seperti, suap (risywah), aklu al-suht atau mengambil harta orang lain dengan cara yang diharamkan (Q.S. al-Maidah/5: 62). Dalam perspektif al-Qur’an, setiap perbuatan yang dilarang akan menimbulkan kemudharatan (dampak negatif), dan setiap kemudharatan harus ditolak. Bagi yang tetap melakukan larangan Allah swt, akan mendapat celaan dan hukuman baik di dunia maupun akhirat. Adapun hukuman duniawi bagi koruptor dalam Islam adalah hukuman ta’zir.

Ta’zir adalah sebuah sangsi hukum yang diberlakukan kepada seorang pelaku jarimah atau tindak pidana yang melakukan pelanggaran-pelanggaran baik yang berkaitan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia, dan pelanggaran yang dimaksud tidak termasuk dalam kategori hukuman hudud, qishas dan kaffarat. Hukuman ta’zir tidak ditentukan secara langsung oleh al-Qur’an dan al-Hadits, oleh karena itu jenis hukuman ta’zir menjadi wewenag hakim dan penguasa setempat (M. Nurul Irfan, 2009: 151).

      Namun demikian, dalam memutuskan suatu jenis dan ukuran sangsi ta’zir ini, penguasa negara dan hakim setempat tetap harus memperhatikan isyarat-isyarat dan petunjuk nash keagamaan secara teliti, baik dan mendalam, sebab hal ini menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum atau masyarakat dalam sebuah negara. Sehingga dengan demikian, penerapan hukuman ta’zir dapat berfungsi untuk mencegah pelaku tindak pidana dari rutinitas kejahatannya dan menolak pelaku dari berbuat kemaksiatan. Demikian ditegaskan oleh Ibnu Manzur dalam Lisan al-‘Arab.

     Oleh karena hukuman ta’zir tidak disebutkan langsung dalam al-Qur’an dan al-Hadits, maka para ulama berbeda pendapat mengenai jenis dan bentuk hukuman ta’zir yang boleh dijatuhkan. Sebagian ulama membatasi hukuman ta’zir tidak boleh melewati hukuman hudud dan qishas. Namun sebagian lain berpendapat bahwa hukuman ta’zir dapat lebih berat dari hukuman hudud bahkan dapat dijatuhkan hukuman mati jika tindak pidana yang dilakukan menimbulkan mudharat yang besar. Pendapat ini dijelaskan oleh beberapa ulama kontemporer seperti Abdul Qadir Audah dalam kitab at-Tasyrri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’i dan Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqhu al-Islam Wa Adillatuhu.

     Lebih rici Wahbah Az-Zuhaili membagi jenis hukaman ta’zir menjadi lima macam yaitu, hukuman pencelaan, hukuman penahanan, hukuman pemukulan, hukuman ganti rugi materi, dan hukuman mati. Jenis hukuman ini dapat dikenakan kepada pelaku kejahatan sesuai dengan tingkat kejahatannya dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan dan ketegasan hukum. Tindakan korupsi kecil dapat diberikan hukuman ta’zir yang ringan seperti hukuman pencelaan dan penahanan, sementara hukuman kasus korupsi besar harus dihukum berat bahkan dapat dihukum mati.

    Adapun pelaksanaan hukuman ta’zir bagi koruptor di Indonesia menurut Azzumardi Azra tidak dapat dilaksanakan. Karena hukuman ta’zir hanya bisa diterapkan di Negara Islam, sementara Indonesia bukanlah Negara Islam (dalam M. Nurul Irfan, 2009: 273). Akan tetapi di antara beberapa macam dan bentuk hukuman ta’zir dalam Islam terdapat tiga macam hukuman yang disebutkan dalam undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu; hukuman mati, hukuman penjara dan hukuman ganti rugi/denda.

      Hukuman mati yang tertera dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan jika tindakan korupsi dilakukan dengan jumlah besar dan Negara sedang dalam keadaan krisis atau tertimpa bencana besar, sehingga tindakan korupsi tersebut meminbulkan kemudharatan yang lebih besar.

     Beberapa jenis hukuman yang disebutkan dalam undang-undang tindak pidana korupsi di atas, sebenarnya sudah sangat ampuh untuk memberantas para koruptor jika diterapkan dengan tegas dan adil tanpa diskriminasi. Hanya saja, di Negeri ini hukuman untuk sang koruptor masih terlalu lemah dan terkadang mengubur nilai-nilai keadilan. Para penegak hukum lebih bergairah menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada masyarakat awam yang mencuri semangka dan buah pisang dari pada menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada para koruptor kelas kakap yang telah merugikan negara miliaran bahkan triliunan rupiah.

      Di Negeri ini, vonis-vonis hukuman untuk para koruptor selalu saja tidak sepadan dengan besarnya kasus korupsi yang dilakukan, sehingga para koruptor menjadi manja dan tak jera. Menurut Yusuf Rahman (2011: 4), hukuman terberat sejauh ini adalah vonis 18 tahun penjara yang dijatuhkan kepada jaksa Urip Tri Gunawan, jaksa di Kejaksaan Agung. Setelah itu tidak ada lagi vonis di atas 10 tahun. Vonis-vonis kebanyakannya di bawah 5 tahun, padahal mereka telah merugikan Negara dengan jumlah yang cukup besar. Hukuman yang rendah ini sangat berpotensi memotivasi munculnya koruptor-koruptor baru.

      Oleh karena itu, harus ada batasan dan ketentuan yang jelas dan tegas tentang hukuman bagi para koruptor. Hukuman untuk para koruptor harus disesuaikan dengan besar kecilnya kasus korupsi yang dilakukan. Mulai dari hukuman ganti rugi/denda, hukuman penjara hingga hukuman mati harus ditegakkan dengan tegas dan adil tanpa diskriminasi.

     Selain itu juga perlu diberikan hukuman tambahan berupa penyitaan harta yang terbukti diperoleh dari hasil korupsi dan dikembalikan kepada Negara untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini juga sesuai dengan konsep al-Qur’an dan al-Hadits, bahwa seseorang yang mengambil harta orang lain akan diampuni kesalahannya setelah ia meminta maaf dan mengembalikan harta yang diambilnya/dikorupsi kepada pemiliknya. Semoga. Wallahu A’lam Bissawab.


*Tulisan ini telah dimuat di Majalah Dinamis Kanwil Kemenag Riau.

Download tulisan ini 
 




1 komentar:

Post a Comment

Pondok M2IQ Gelar Seminar Dakwah Lewat Tulisan

     PEKANBARU (PM2IQR) – Senin (26/11), Pondok M2IQ Riau bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen Dakwah (HMJ-MD) UIN Suska Riau menggelar seminar nasional “Berdakwah Lewat Tulisan”. Acara yang dilaksanakan di gedung teater Fakultas Dakwah ini, dihadiri oleh ketua jurusan Manajemen Dakwah (MD), Toni Hartono, M.Si, ketua HMJ MD, Habiburrahman, dan diikuti oleh ratusan mahasiswa dari berbagai fakultas di UIN Suska Riau.

   Menurut pimpinan Pondok M2IQ Riau, Susanto Al-Yamin, acara ini bertujuan untuk menumbuhkan semangat menulis di kalangan generasi muda dan mencari kader peserta Musabaqah Menulis Isi Kandungan al-Qur’an (M2IQ) pada helat akbar Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), baik untuk tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. Susanto juga memperkenalkan Pondok M2IQ Riau sebagai wadah berkumpulnya para penulis muda qur’ani Riau.

    “Semoga Pondok M2IQ Riau mampu melahirkan penulis muda qur’ani dan bisa membangun peradaban buku seperti yang telah dibangun oleh para ulama pada masa kejayaan Islam”, demikian harap Susanto.

      Dalam acara ini, panitia menghadirkan pembicara yang telah berpengalaman dalam menulis. Di antaranya, penulis nasional asal Riau, Griven H. Putera dan kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Alimuddin Hassan Palawa.

     Dalam paparannya, Griven menyampaikan materi tentang strategi menulis indah dan menarik, sementara Alimuddin Hassan lebih banyak berbicara tentang Dakwah Qur’ani.

       Menurut Griven, “Semua orang mencintai keindahan dan kebenaran. Maka tulislah suatu ide yang bernas itu dengan bahasa yang indah sehingga ia menjadi bacaan yang dinikmati masyarakat. Banyak tulisan yang bernas tapi tak sampai ke minda pembaca karena penulisnya terlampau sibuk dengan ide-ide besar saja tapi bahasanya tak indah dan tak komunikatif.”

     Ketua panitia acara, Ilham Ginting, mengatakan acara ini sebagai langkah awal untuk menumbuhkan minat menulis di kalangan generasi muda. Selanjutnya akan diadakan pelatihan dan pembinaan khusus melalui Pondok M2IQ Riau.

     “Kami juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung acara ini. Tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, acara ini tidak akan sukses”, ujar Ilham.

0 komentar:

Post a Comment

Dahsyatnya Shalat Dhuha

Oleh. Misrawati, S.Pd.I ***.

      Rasulullah saw pernah menjelaskan bahwa tubuh kita terdiri atas 360 ruas tulang yang harus disedekahi setiap harinya. Mendengar penjelasan beliau, para sahabat pun bertanya, “Siapa yang kuat melaksanakan itu, ya Rasulullah ?” Rasulullah saw menjawab, “Dahak yang ada di mesjid dan ditutupinya dengan tanah atau menyingkirkan sesuatu gangguan dari tengah (itu berarti sedekah). Maka sekiranya tidak mampu cukuplah diganti dengan mengerjakan dua rakaat shalat dhuha.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

      Dalam keadaan tidak punya apa-apa, bagaimana mungkin kita bisa bersedekah kalau tidak ada dua rakaat shalat dhuha ?

      Apa yang akan kita lakukan bila tidak ada dua rakaat shalat dhuha ? Bagaimana mesti bersedekah untuk 360 ruas tulang yang kita miliki ? Hal ini memberatkan bila kita harus bersedekah sebanyak itu setiap harinya. Namun, Rasulullah SAW menawarkan solusi praktis untuk mengatasi itu semua, yaitu menggantinya dengan dua rakaat shalat dhuha.

    Shalat dhuha dikerjakan di pagi hari, setelah matahari bergeser dari terbitnya. Shalat dhuha memiliki rahasia yang menakjubkan dengan bertaburkan keutamaan. Seandainya orang-orang yang melupakannya itu mengetahui keutamaannya, pastilah mereka tidak akan pernah melewatkan untuk shalat dhuha.

       Ada beberapa keutamaan shalat dhuha/ shalat dua memiliki enam keutamaan enam shalat dhuha, di antaranya: (alternatif tawaran)

     Di antara keutamaan shalat dhuha pertama, sebagai pengganti sedekah. Sedekah merupakan ibadah yang bernilai pahala. 360 kali sedekah, berarti sebanyak itu pula kita mendapatkan pahala. Belum lagi bila Allah swt melipatgandakannya sesuai dengan janji-Nya. Bila 360 kali sedekah itu sudah bisa digantikan oleh dua rakaat shalat dhuha, betapa kaya para pelakunya. Siapa yang melakukan shalat dhuha dua rakaat disebut sebagai manusia paling kaya. Karena, setiap hari ia laksana bersedekah 360 kali. Siapa yang mampu bersedekah sebanyak itu kalau bukan orang kaya ?

     Kedua, dibangunkan istana dari emas. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa shalat dhuha 12 rakaat, maka Allah SWT akan membangunkan baginya istana dari emas di surga.” (HR Ibnu Majah).

     Ketiga, diampuni dosa-dosanya. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menjaga shalat dhuha, maka dosa-dosanya akan diampuni meskipun sebanyak buih di lautan.” (HR Ibnu Majah).

     Keempat, dicukupkan kebutuhan hidupnya. Dalam hadis Qudsi, Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, rukuklah (shalatlah) karena Aku pada awal siang (shalat dhuha) empat rakaat, maka Aku akan mencukupi (kebutuhan)-mu sampai sore hari.” (HR Tirmidzi).

       Kelima, mendapat pahala setara ibadah haji dan umrah. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang shalat Subuh berjamaah kemudian duduk berzikir untuk Allah sampai matahari terbit kemudian (dilanjutkan dengan) mengerjakan shalat dhuha dua rakaat, aka baginya seperti pahala haji dan umrah, sepenuhnya, sepenuhnya, sepenuhnya.” (HR Tirmidzi). (judul: berumroh di pagi hari).

      Keenam, masuk surga melalui pintu dhuha. Sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya di surga kelak terdapat pintu yang bernama adh-Dhuha, dan pada hari kiamat nanti akan terdengar panggilan, di manakah orang-orang yang melanggengkan shalat dhuha, ini adalah pintu kalian masuklah kalian dengan rahmat Allah SWT.” (HR Thabrani).

      Betapa menggiurkan keutamaan shalat dhuha itu. Oleh karena itu, sempatkanlah walau sekedar dua rakaat yang bisa kita lakukan. Hanya butuh waktu antara 5-10 menit. Misalnya, sebelum berangkat ke sekolah, ke kampus, atau pun ke tempat kerja. Apabila tidak memungkinkan, barangkali di sela-sela pekerjaan, bisa meminta izin untuk menunaikannya. 

     Dengan selalu menunaikan shalat dhuha, kita akan menjadi manusia paling kaya. Konsep manusia paling kaya ini akan menjadi sangat indah bila dimaknai secara sempurna. Manusia paling kaya bukanlah manusia yang banyak hartanya. Manusia paling kaya adalah manusia yang paling banyak sedekahnya.

Unduh tulisan ini dalam format PDF atau format word, klik dibawah



0 komentar:

Post a Comment

Budaya Nandung: Merajut Ulang Akhlak Karimah Anak Bangsa

Oleh: Misrawati, S.Pd.I*

*Misrawati, S.Pd.I adalah Duta Riau pada MTQ Nasional cabang M2IQ (Musabaqah Menulis Ilmiah Qur’an) tahun 2012 di Ambon. Misrawati juga seorang guru di SDN 001 Rengat. Hobi: membaca dan menulis.

Misrawati, S.Pd.I Lahir di Rengat, 29 Juli 1988, Alamat, Jl. Hanglekir Gg. Cempaka Putih No. 01 Rengat. No. Hp. 0853 64260909.

     Seorang penyair besar Ahmad Syauqi Bey mengemukakan bahwa: “kekalnya suatu bangsa ialah selama akhlaknya kekal, jika akhlaknya sudah lenyap, musnah pulalah bangsa itu”.

    Secara eksplisit Ahmad Syauqi Bey tengah mengingatkan kita tentang pentingnya akhlak bagi suatu bangsa. Apabila suatu bangsa itu telah rusak, maka hal ini juga akan mempengaruhi akhlak generasi-generasi mendatang. Lebih parah lagi, kalau rusaknya akhlak tersebut tidak segera mendapat perhatian atau usaha untuk mengendalikan dan memperbaikinya. Bagaimanapun akhlak dan perilaku suatu generasi itu akan sangat menentukan terhadap akhlak dan perilaku umat-umat sesudahnya.

    Oleh karena itu, program utama dan perjuangan pokok dari segala usaha kita saat ini ialah pembinaan akhlak karimah.  Akhlak karimah merupakan akhlak yang terpuji. Akhlak karimah akan terpatri dengan baik apabila dilakukan sejak dini. Ibarat mengukir di atas batu, meski sulit dilakukan, ia akan tertoreh dengan jelas dan kuat. Penanaman akhlak memang tidak bisa  dilakukan secara instans. Seperti meletakkan fondasi sebuah bangunan, ia harus diprioritaskan lebih awal. Bukan malah memasang gentingnya terlebih dahulu.

    Saat ini keterlambatan pendidikan akhlak bukan saja dapat mempersulit pembentukan perilaku karimah pada tahap selanjutnya, tetapi juga akan berakibat fatal pada pemeliharaan suatu generasi. Dan kegagalan penataan akhlak sejak dini dapat menumbuhsuburkan musibah dekadensi moral yang saat ini banyak menghantui masyarakat. Beberapa kasus yang memperlihatkan perilaku tidak senonoh dan seronok yang kerap ditayangkan berbagai media massa, misalnya, merupakan potret suram telah gagalnya proses penanaman akhlak di kalangan anak bangsa.

      Padahal, tradisi agama sebetulnya telah mengajarkan pentingnya pembentukan akhlak sejak usia yang amat dini. Dalam khazanah kebudayaan masyarakat Melayu Riau, dikenal adanya tradisi yang dapat menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak bagi anak, yaitu budaya nandung. Budaya ini merupakan budaya melayu Riau, yang berupa untaian pantun yang berisi unsur dakwah atau tunjuk ajar yang sangat dikenal. Karena diperuntukkan bagi pewarisan nilai – nilai luhur kepada bayi sejak dini.

     Nandung sendiri pada masa awal perkembangannya di kalangan masyarakat Melayu Riau hanyalah berupa nyanyian yang sangat sederhana, terdiri dari kalimat tahlil (La Ilaha Illallah . . .) dan kalimat rayuan agar anak segera tidur.

     Susunan kalimat dalam nandung terdiri dari empat baris, dua baris pertama berupa sampiran sedang dua baris terakhir berupa isi dengan rima akhir a, b ; a, b. Namun demikian ada juga sebagian nandung yang tidak terikat dengan rima akhir (ab – ab) (Ahmad Darmawi, 2006: 19).

     Isi dua baris terakhir pada nandung mempunyai muatan kalimah thayyibah berupa nasehat, pengajaran, atau untaian kalimat mutiara hikmah yang bersumber dari petatah-petitih budaya setempat. Ungkapan, petuah, dan pribahasa ini biasanya disampaikan oleh kaum perempuan ketika menidurkan anak kecil dalam buaian, gendongan atau pangkuan.

     Di Provinsi Riau khususnya Indragiri Hulu, keberadaan nandung yang semula masih sangat sederhana itu kemudian berkembang dengan masuknya unsur pantun yang berisi rayuan agar anak segera tidur.

     Dalam perkembangan lebih lanjut, isi pantun ini kemudian dipilih dan dipadatkan dengan kalimat-kalimat yang mengandung pengajaran dan nasehat, diselingi dengan tahlil antara tiap bait dan dinyanyikan dengan irama yang menyerupai irama syair. Contoh syair nandung: Laa Ilaaha Illallaah. Allahlailah lahaillallah. Nabi Muhammad nak sayang, pesuroh Allah. Nandunglah dinandung ke pantainye nandi. Orang begajah nak sayang, due beranak (Bahtaram. IB, 2004: 30).

      Dalam tiap bait-bait nandung di atas, jelas bahwa budaya nandung mengandung nilai-nilai Islami dalam pembentukan akhlak karimah anak bangsa. Muatan penanaman nilai-nilai tauhid dan aqidah yang tercantum dalam bait nandung benar, secara eksplisit mengingatkan kita bahwa pentingnya membuka kehidupan anak dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah. Hal ini juga ditegaskan dengan sabda Nabi saw: “Dari Ibnu Abbas ra dari Nabi saw bersabda: “Bacakanlah kepada anak-anak kamu kalimat pertama dengan Laa Ilaaha Illallaah” (HR. Al-Hakim). 

      Apabila nandung ini dilantunkan kepada anak sejak dini akan memberikan kesan yang mendalam. Karena bait tiap bait disampaikan dengan perasaan yang mendalam, sehingga anak yang mendengar akan merekam dalam pikirannya. Pada gilirannya suatu kelak untaian kata yang sering didengar sewaktu kecil akan senantiasa terngiang dalam benaknya ketika ia menginjak dewasa.

     Melalui budaya nandung inilah yang diekspresikan dalam bentuk nasehat-nasehat dan ajaran-ajaran, seseorang dapat menanamkan nilai-nilai agama yang diperlukan dalam mendidik anak. Nilai-nilai kebudayaan yang dikemas dalam bacaan nandung memberikan wawasan dan cara pandang yang mengarah pada proses pendidikan untuk menjadikan anak yang sholeh dan sholeha.

     Selanjutnya, dalam konteks pembentukan akhlak anak, budaya nandung ini juga menawarkan sebuah alternatif. Syair-syairnya berisi nasehat-nasehat yang dirangkai dalam sebuah nyanyian yang digunakan sebagai pengantar tidur bagi anak. Karena itu budaya ini perlu direvitalisasi terutama untuk menghidupkan kembali substansi nilai-nilai yang terkandung didalamnya. ***

Unduh tulisan ini dalam format PDF dan Word klik tombok unduh di bawah :



Pondok M2IQ Riau


0 komentar:

Post a Comment

Bertamu ke Rumah Tuhan


Oleh: Susanto Al-Yamin

RIBUAN tahun yang lalu, di tanah kering dan tandus, di tengah kegersangan kawasan yang meranggas, di antara bukit-bukit bebatuan yang ganas, sebuah panggilan suci dikumandangkan. Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk mengumandangkan seruan haji: “Kumandangkanlah panggilan kepada manusia untuk melaksanakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS. Al-Hajj: 27).

Lalu Nabi Ibrahim menjawab: “Suaraku tidak akan dapat didengar oleh mereka ya Allah”. Kemudian Allah berfirman: “Engkau hanya mengumandangkan, Aku (Allah, red) yang akan memperdengarkannya”. Kemudian Nabi Ibrahim berdiri di dekat Kabah untuk mengumandangkan panggilan suci itu kepada seluruh umat manusia.

Sejak saat itu, panggilan haji telah didengar dan diketahui oleh setiap muslim melalui kitab suci (Alquran) dan risalah para nabi. Allah mewajibkan bagi setiap muslim yang mampu (istitho’ah) untuk memenuhi-nya. Istitho’ah adalah persyaratan utama ibadah haji secara mutlaq menurut ulama fikih berdasarkan QS Ali Imran/3: 97. 

Makna mampu di sini meliputi keuangan, ilmu, kondisi keamanan, kendaraan (transportasi) serta kondisi fisiknya. Jadi, tidak wajib hukumnya memenuhi panggilan ibadah haji, ketika kondisi fisik lemah, finansial juga lemah. Tetapi, jika dia bisa sampai ke Makkah, kemudian bisa melaksanakan haji dengan sebaik-baiknya, maka hajinya sah. Dengan demikian, tidak diterima alasan seorang muslim yang mampu (istitha’ah) untuk tidak menunaikan ibadah haji dengan alasan tidak ada panggilan atau undangan dari Allah. 

Undangan untuk menunaikan haji adalah undangan Allah yang Maha Pengasih, sehingga jamaah haji disebut Dhuyuf al-Rahman (tamu-tamu Allah Yang Maha Pengasih) karena mereka berkunjung ke Baitullah (Rumah Allah). Baitullah adalah tempat suci dan mulia. Setiap tamu yang ingin mengunjunginya dituntut untuk membersihkan diri lahir dan batin (tadzkiyah al-nafs) terlebih dahulu. Karenanya, pelaksanaan ibadah haji dimulai dengan miqat di tempat yang telah ditentukan.

Di miqat, para tamu Allah diwajibkan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini. Pakaian adalah lambang status yang dapat memicu sikap diskriminasi, keakuan, kesombongan, dan egois. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Pakaian telah memecah belah anak-anak Adam, karena itu, para tamu Allah diperintahkan untuk melepaskan pakaian kemewahan duniawi dan menggantinya dengan pakaian kerendahan hati.

Pakaian ihram menuntun manusia untuk mengubur pandangan yang mengukur keunggulan seseorang karena kedudukan, harta, gelar, ras dan keturunan. Setelah memakai pakaian ihram, para tamu Allah disuguhkan dengan sejumlah “hidangan spiritual” yang sangat nikmat dan penuh makna. 

Para tamu dipersilahkan menikmatinya secara berurutan, mulai dari thawaf (mengelilingi Kabah), sa’i (berlari kecil antara bukit shafa dan marwa), wukuf di Arafah, mabit (bermalam) di Muzdalifah dan Mina, melontar jumrah hingga tahallul. Ketika menikmati hidangan tersebut, para tamu harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan serta menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah, seperti berbantah-bantahan, berhubungan suami-istri, berburu atau membunuh binatang, dan sejumlah larangan ihram lainnya.

Ibadah haji merupakan ritual yang sarat dengan simbolisasi makna. Ketika jamaah haji thawaf mengelilingi Kabah, maka para pelakunya akan merenungkan keunikan Kabah yang menghadap ke segala arah, yang melambangkan universalitas dan kemutlakan Allah SWT; suatu sifat Allah yang tidak berpihak tetapi merahmati seluruh alam.

Selanjutnya jamaah haji harus melakukan sa’i. Sa’i atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa mengandung pesan bahwa ritual tersebut melambangkan kegigihan dalam berjuang mengarungi tantangan hidup. 

Kemudian, para tamu Allah harus wukuf di Arafah. Arafah merupakan sebuah padang yang luas. Di tempat ini jutaan umat manusia dari berbagai suku dan bangsa larut dalam suasana bathin yang damai, mereka berkumpul sambil ber-doa mengharap ridha Ilahi, merenung dan memohon am-pun atas segala kesalahan yang telah dilakukan.

Setelah wukuf di Arafah, para jamaah menuju Muzdalifah  untuk mabit. Wukuf dilakukan pada siang hari, sementara mabit pada malam hari. Siang, melambangkan amal dan kerja keras, sedangkan malam melambangkan tahap kesadaran diri dengan lebih banyak melakukan konsentrasi di keheningan malam. Kemudian di Mina, jamaah melempar Jumrah.

Melempar jumrah juga merupakan lambang perlawanan manusia melawan penindasan dan kebiadaban. Demikianlah serangkaian kegiatan haji penuh makna yang harus diikuti    oleh setiap tamu Allah. Ibadah haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melain-kan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagai manusia.

Dengan kata lain, orang yang sudah bertamu ke rumah Allah (berhaji) haruslah menjadi manusia yang “tampil beda” (lebih baik hidupnya) dibanding sebelumnya (haji mabrur). 

Tulisan ini bisa anda download dalam format PDF dan Word silakan klik tombol download dibawah



Pondok M2IQ RIAU
Email : pondokm2iqriau@gmail.com

0 komentar:

Post a Comment

Dakwah di Era Globalisasi

Penulis Susanto A. Yamin
ERA globalisasi meminjam istilah Thomas L Friedman yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengantarkan manusia pada suatu kampung yang tidak dibatasi oleh sekat waktu dan tempat. Teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology [ICT)), bagi masyarakat global (dunia) melahirkan suatu kecenderungan paradigma masyarakat terbuka, yaitu suatu kenyataan dimana tidak ada sekat dan batas yang menghalangi untuk saling berinteraksi. Sebagai konsep komunikasi global, manusia dapat ber-interaksi secara cepat, langsung, dan seketika.

Karenanya, umat Islam tidak boleh berdiam diri terhadap perkembangan ICT. Perkembangan ICT yang semakin canggih harus dimanfaatkan untuk berbagai kepent-ingan, khususnya kepentingan dakwah, terutama di era globalisasi ini. Karena saat ini, selain karena kesibukan, umat Islam (khusus-nya generasi muda), juga tidak begitu tertarik terhadap dakwah qurani yang dilakukan di masjid-masjid. Umat Islam lebih banyak menambah wawasan keagamaan mereka melalui sejumlah fasilitas informasi yang tersedia dalam perangkat ICT. Untuk itu, dalam rangka membumikan ajaran Alquran di era glo-balisasi ini, maka integrasi ICT dalam dakwah sangat diperlukan.

ICT adalah perangkat teknologi yang merangkum dua aspek yang sulit dipisahkan, yaitu informasi dan komunikasi. Teknologi informasi adalah teknologi yang membantu manusia dalam mencari/mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data, baik data yang berbentuk teks, video, audio, visual mau-pun animasi yang terhimpun dalam perangkat teknologi modern yang terdiri dari hardware dan software. Sementara teknologi komuni-kasi adalah teknologi yang mampu meng-hubungkan manusia tanpa sekat waktu dan tempat yang terkoneksi melalui jaringan in-ternet.

Dalam bidang dakwah, ICT harus di-manfaatkan sebagai media (wasilah) dakwah, supaya setiap pesan dakwah dapat disampaikan kepada objek dakwah (mad’u). Hal ini harus dilakukan mengingat pengguna ICT yang semakin tinggi. Menurut data yang dirilis oleh MarkPlus Insight, jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2012 mencapai 61,08 juta orang. Angka tersebut naik sekitar 10% ketimbang tahun 2011 (dalam, http://evoucher.co.id). Lebih rinci lagi, Forum Viva merilis pengguna internet berdasarkan usia. Ternyata pada segmen penduduk usia 15-19 tahun paling tinggi dibandingkan segmen usia lain dengan persentase sebesar 64 persen. Diikuti usia 20-24 tahun sebesar 42 persen. Berikutnya usia 25-29 tahun sebesar 28 persen, kemudian usia 30-34 tahun sebesar 16 persen, usia 40-44 tahun sebesar 12 persen, dan usia 45-50 tahun sebesar 5 persen. Forum Viva juga berkesimpulan, bahwa pengguna internet tidak hanya di kota besar, tetapi juga menyebar di kota-kota kecil dan pedesaan (http://forum.viva.co.id).

Kehadiran ICT merupakan anugerah istimewa dalam dakwah era globalisasi. Melalui teknologi ini, misi dakwah untuk seluruh umat dunia dapat terlaksana. Karena menurut Yusuf al-Qaradhawi, dakwah Islam merupakan dakwah global, tidak dibatasi waktu dan
tidak terkait dengan tempat (dalam Akram Kassab, 2010: 210). Hal ini sesuai dengan pesan Alquran, “Dan tidaklah aku mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya’: 107). Allah juga berfirman, “Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua’” (QS. Al-A’raf: 158). Dalam surat yang lain, Allah juga berfirman, “Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (yaitu Alquran) ke-pada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (QS. Al-Furqan: 1).

Demi terwujudnya cita-cita dakwah yang bersifat global tersebut, maka diperlukan kebijaksanaan (al-hikmah) dalam berdakwah (QS. An-Nahl/16: 125). Menurut M Yunan Yusuf (2003), dalam bidang dakwah, kata al-hikmah dapat dimaknai dengan melakukan kegiatan dakwah, termasuk dalam memilih metode (thariqah) mau-pun media (washilah) yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Dengan demikian, kegiatan dakwah harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Kini umat Islam telah memasuki era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ICT, di mana manusia dapat mengakses informasi dan saling berkomunikasi tanpa dibatasi oleh jarak dan waktu. Karenanya, integrasi ICT merupakan kebutuhan dakwah masa kini demi terca-painya tujuan dakwah, yaitu mengajak manusia ke jalan Tuhan.

Untuk kepentingan dakwah, ICT dapat dimanfaatkan sebagai media (wasilah) dakwah. Melalui media inilah dakwah dapat memainkan perannya dalam meneyebarkan informasi tentang Islam kepada umat manusia khususnya generasi muda di selu-ruh penjuru tanpa ada batas waktu dan wilayah.

Penggunaan ICT dalam dakwah adalah kebutuhan yang harus segera dipenuhi oleh para da’i dan ulama. Pemanfaatan ICT dalam dakwah dapat dilakukan dengan me-manfaatkan berbagai fasilitas yang tersedia dalam perangkat ICT. Dalam rangka mem-berikan informasi tentang ajaran Islam, para pendakwah dapat memanfaatkan fasilitas website, blogdan sejenisnya dengan cara mengirim pesan dakwah, baik yang berbentuk teks (tulisan), audiomaupun video, ke dalam website maupun blog pribadi atau mengirimkan tulisan dakwah ke sejumlah media online,seperti Republika online dan Riau Pos online.

Melalui ICT juga, para pendakwah dap-at melakukan interaksi dua arah secara online dengan fasilitas e-mail, Facebook, Twitter, Skype dan sejenisnya. Dengan fasilitas tersebut, para pendakwah dapat berkomunikasi langsung dengan objek dakwah, baik melalui pesan dalam bentuk teks maupun video. Media ini semakin populer digunakan untuk pengembangan media dakwah, karena selain bersifat interaktif, juga terkoneksi dengan jaringan global, sehingga jangkauan aksesnya tak terbatas.

Integrasi ICT dalam dakwah, selain memberikan kemudahan dalam mengakses informasi dan berkomunikasi tanpa batas waktu dan tempat, juga dapat “mengawetkan” pesan dakwah. Sehingga pesan tersebut tahan lama, dan dapat diakses kembali jika suatu saat diperlukan. Hal ini sangat berbeda dengan dakwah konvensional, dimana pesannya mudah hilang (dilupakan) dan sangat sulit bahkan tidak bisa diakses kembali ketika dibutuhkan.

Dengan demikian, dakwah dalam menyebarkan ajaran Islam seperti kandun-gan Alquran, tauhid, ibadah, akhlak, dan sebagainya tidak lagi disampaikan secara manual-tradisional, akan tetapi secara modern interaktif menggunakan ICT dalam berbagai bentuk yang tersedia di berbagai tempat di dunia global, disediakan oleh berb-agai sumber dan dapat diakses dengan mudah, cepat, murah, dan dapat digunakan dalam kelas tradisional modern maupun dalam kelas maya atau virtual.

Mudah-mudahan dengan memanfaatkan ICT dalam berdakwah, pesan dakwah dapat sampai kepada objek dakwah yang kini sedang asyik berselancar di dunia maya, sehingga ajaran Islam tidak hanya bisa dipelajari di madrasah, masjid dan majelis taklim, tetapi juga dapat dipelajari di dunia maya yang kini banyak dikunjungi umat Islam, terutama generasi muda penerus bangsa. Harapannya, pesan Alquran dapat membumi di era globalisasi ini. Semoga. Wallahu a’lam.***

Download artikel ini



1 komentar:

Post a Comment

Toleransi dan Kedamaian Abadi


Toleransi dan Kedamaian Abadi
Penulis : Susanto Al- Yamin

ISLAM adalah agama kedamaian dan pembawa rahmat bagi sekalian alam (QS al-Anbiya/21: 107). Islam mengajarkan sikap toleransi (tasamuh)kepada pemeluknya. Berbicara mengenai toleransi dalam beragama, Islam memberikan batas-batas dalam menghormati penganut agama lain termasuk perayaan Natal yang dirayakan umat kristiani setiap 25 Desember.

Menurut ajaran Kristen, 25 Desember merupakan hari bersejarah dan suci yang harus dirayakan dengan melaksanakan ritual keagamaan. Perayaan Natal merupakan bagian dari kepercayaan umat Kristen yang harus dihormati dan dihargai sesuai dengan un-dang-undang dan ajaran agama demi terciptanya kerukunan umat beragama. Adapun batas toleransi dalam bidang ibadah adalah dengan menghargai dan memberikan kebebasan kepada penganut agama lain yang melaksanakan ritual keagamaan. Namun Islam tidak membenarkan seorang muslim ikut meraya-kan atau mengikuti ritual agama lain, terma-suk Natal. Sebab dalam Islam, setiap umatnya harus menjalankan ajaran agama masing-masing tanpa mencampurbaurkan dengan ajaran agama lain (QS al-Kafirun: 1-6 dan al-Baqarah: 42).

Sementara dalam bidang muamalah, umat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan umat agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan (QS al-Hujarat: 13; Luk-man: 15 dan al-Mumtahanah: 8). Berdasarkan dalil-dalil naqlidi atas, seorang muslim tidak dibenarkan untuk mengikuti atau mer-ayakan Natal bersama umat Kristen ken-datipun dengan alasan toleransi. Toleransi atau tasamuhterhadap kepercayaan agama lain hanyalah sebatas tidak mengganggu aga-ma lain yang sedang beribadah. Lantas, apakan Islam membolehkan umatnya mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu penulis ingin mengemukakan beberapa pendapat ulama beserta hujjah-nya.

Pertama,dibolehkan mengucapkan selamat Natal kapada umat Kristen sebagai wujud toleransi dalam beragama. Pendapat ini dipelopori oleh kaum liberal dan sekuler. Mereka berpendapat bahwa, Alquran telah melegitimasi bahkan memerintahkan umat-nya untuk mengucapkan selamat atas kelahiran Nabi Isa As yang mereka samakan dengan Yesus dalam agama Kristen. Perintah mengucapkan selamat atas kelahiran Isa terse-but termaktub dalam surat Maryam ayat 33-34 yang artinya: “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa), pada hari Aku di-lahirkan, pada hari Aku meninggal dan pada hari Aku dibangkitkan hidup kembali. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantah-an tentang kebenarannya.”

Berdasarkan ayat di atas, Islam memerin-tahkan umatnya mengucapkan selamat atas kelahiran Nabi Isa As. Tetapi persoalannya adalah, apakah sama Isa As yang diyakini umat Islam sebagai seorang Nabi dengan Isa atau Yesus yang diyakini oleh umat Kristen sebagai Anak Tuhan? Jawabannya tentu saja tidak sama, sebab Islam meyakini bahwa Tu-han itu tidak beranak dan tidak pula diper-anakkan (QS al-Ikhlas). Dengan demikian, pendapat pertama ini secara otomatis berten-tangan dengan ajaran Islam dan tidak dapat diterima.

Kedua,dibolehkan mengucapkan selamat Natal dengan catatan tidak ditujukan atas kelahiran Yesus anak Tuhan menurut umat Kristen, akan tetapi ditujukan atas kelahiran Nabi Isa As menurut ajaran Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh M Quraish Shihab dalam rajutan karyanya Membumikan Al-Quran halaman 372. lebih lanjut beliau menyebutkan, dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Alquran memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan Alquran adalah ayat-ayat dalam QS 34: 24-25.

Alasan yang dikemukakan oleh M Quraish Shihab di atas dapat diterima dan tidak men-yalahi ketentuan syarak. Secara umum, pendapat ini dapat dijadikan alasan untuk mengucapkan selamat Natal bagi umat Kristen sebagai wujud toleransi beragama. Namun, ketika dika-ji lebih lanjut, persoalan yang muncul adalah benarkah Nabi Isa As dilahirkan pada 25 Desember? Jawabannya boleh jadi benar boleh jadi salah, sebab dalam Islam tidak ada dalil shahih yang menyebutkan tanggal kelahiran Nabi Isa As. Oleh karena itu, pendapat kedua ini menjadi syubhat(samar-samar/tidak jelas) dan harus dihindarkan.

Sementara pendapat ketiga mengatakan, seorang muslim tidak boleh mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen. Pendapat ini dipelopori oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut golongan ini, mengucapkan selamat Natal adalah bagian dari ibadah dan keyakinan. Hal ini dapat dianalogikan (diqiyaskan) dengan tidak bolehnya mengucapkan salam kepada non muslim yang telah dilarang oleh Rasulullah dalam haditsnya. Mengucapkan selamat Natal bukanlah satu-satunya cara untuk menghargai dan menghormati umat Kristen. Sebab substansi dari sifat toleransi dalam beragama adalah tidak mengejek dan mengganggu ketenangan agama lain yang sedang menjalankan ritual agamanya masing-masing.

Sementara dalam bidang muamalah atau hubungan sosial Islam memperkenan penga-nutnya untuk melakukan kerja sama seluas-luasnya, seperti kerja sama dalam bidang ekonomi dan pemerintahan. Dengan demiki-an, kerukunan umat beragama akan terjalin dengan baik tanpa ada pihak yang merasa dirugikan sehingga terciptalah kedamaian abadi. Dalam Islam, praktik toleransi atau tasamuhterhadap non-muslim memiliki akar historis dalam sejarah perjalanan Islam. Baik pada zaman Nabi, sahabat, tabiin, mau-pun ulama-ulama mutaakhirin. Rasulullah SAW dikenal sebagai orang yang paling toleran terhadap non muslim.

Beberapa kisah di atas sengaja penulis kemukakan untuk menunjukkan nuansa harmoni hubungan Islam dan Kristiani di zaman Nabi dan Sahabat. Sikap saling menghargai dan toleransi sesama telah begitu mudah diteladankan Nabi beserta sahabatnya. Mudah-mudahan pada perayaan Natal tahun ini, umat Islam dapat memahami dan menerapkan sikap tasamuh (toleransi) dengan baik dan benar. Sehingga tidak ada lagi pengeboman gereja atau kerusuhan dalam perayaan Natal serta tidak pula perayaan Natal bersama oleh umat Islam dan Kristen. Karena itu semua telah menodai makna toleransi dalam beragama. Semoga.***

Artikel ini bisa anda download dalam format PDF dan word, silakan klik tombol download dibawah :






0 komentar:

Post a Comment

Pahlawan Anti Korupsi

Pahlawan Anti Korupsi
Oleh : Susanto Al-Yamin*

*Penulis adalah Pimpinan Pondok M2IQ Riau, dan Peserta MTQ Nasional 2012.



    Setiap tahun bangsa Indonesia rutin memperingati Hari Pahlawan yang jatuh setiap tanggal 10 November. Pada saat itulah kita mengenang jasa para pahlawan yang telah bersedia mengorbankan harta, jiwa dan raganya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Ditetapkannya tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan, karena pada tanggal tersebut para pejuang kita bertempur mati-matian untuk melawan tentara penjajah di Surabaya. Pertempuran ini merupakan simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap penjajah.
        Kini zaman penjajahan telah berlalu. Bangsa Indonesia telah merdeka dari jeratan agresor bangsa asing. Namun harus diakui dengan jujur bahwa bangsa ini pada hakikatnya belum sepenuhnya merdeka. Hal ini mengingat banyaknya permasalahan yang melilit dan menjajah bangsa ini, mulai dari kemiskinan hingga tindakan korupsi yang tak kunjung henti. Bangsa ini masih dijajah oleh para koruptor yang pada dasarnya adalah “anak kandung” bangsa ini.

Koruptor Penjajah Masa Kini
        Koruptor adalah musuh nyata bagi bangsa Indonesia. Para koruptor yang dijuluki “tikus berdasi” masih tetap menggerogoti bangsa ini. Para koruptor tumbuh subur, patah tumbuh hilang berganti di berbagai lembaga, mulai dari centra kekuasaan Negara seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif hingga tingkat kelurahan, bahkan sampai tingkat RT. Koruptor telah ada sejak Negeri ini merdeka, mulai dari orde lama, orde baru hingga masa reformasi. Bahkan yang sangat memperihatinkan adalah di masa reformasi ini para koruptor malah semakin merata dan mengganas.
        Menurut catatan Litbang Kompas, selama tahun 2005 sampai tahun 2009 saja, terjadi kasus korupsi besar di 21 lembaga, mulai dari lembaga Negara seperti penegak hukum, BUMN, departemen, pemerintah daerah, partai politik hingga para anggota parlemen (dalam Muhammadun, 2011: 4). Sementara pada tahun 2010 tercatat ada tiga kasus besar yang menonjol ketika itu, yakni pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century, mafia pajak yang melibatkan mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Gayus Tambunan, dan pembagian cek perjalanan saat pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia tahun 2004.
         Para koruptor muncul silih berganti dan semakin mengganas bahkan bertambah banyak setiap tahunnya. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dimuat Riau Pos (24/12/2011) disebutkan bahwa kasus korupsi di tahun 2011 meningkat bila dibanding tahun sebelumnya. Di mana ada 59 persen atau 175 terlapor tindak pidana korupsi dari 294 laporan tindak pidana sepanjang tahun 2011. Kemudian pada tahun 2012 ini, kita dihebohkan oleh kasus korupsi wisma atlet, proyek hambalang dan kasus simulator SIM.
           Tindakan korupsi telah merusak seluruh sistem kehidupan dan mengubur nilai-nilai Agama dan warisan luhur para pendiri bangsa. Sehingga berakibat pada rapuhnya pembangunan, lumpuhnya ekonomi, lemahnya penegakan hukum, tersumbatnya pendidikan, meningkatnya angka kemiskinan dan pada akhirnya berpotensi menghancurkan bangsa ini. Sungguh tindakan korupsi merupakan perbuatan keji dan berbahaya.
            Tindakan korupsi telah memusnahkan harapan berjuta anak bangsa di negerinya sendiri. Akses pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan menyempit akibat terampasnya hak mereka oleh ulah saudara sendiri. Perjuangan melawan korupsi ini menjadi lebih berat karena yang akan dihadapi adalah “anak kandung” bangsa ini.
           Tindakan korupsi yang terjadi di negeri ini membutuhkan perjuangan anak bangsa. Perjuangan yang takkan pernah berhenti selama hayat masih dikandung badan. Generasi bangsa saat ini harus berjuang sebagaimana para pahlawan bangsa ini telah berjuang. Apapun posisi kita di negeri ini tetap berperan penting dalam berjuang melawan tindakan korupsi di Indonesia.

Pahlawan Masa Kini
      Setiap zaman memang selalu menghadirkan tantangan berbeda. Zaman kita saat ini tidaklah sama dengan zaman sebelum kemerdekaan. Jika dulu para pendahulu kita menjadi pahlawan karena merebut kemerdekaan, maka kini kita harus menjadi pahlawan dalam pemberantasan korupsi. Walau dalam konteks berbeda, namun memiliki cita-cita yang sama untuk membangun negeri yang bernama Indonesia. Karenanya, sebutan pahlawan pantas diperuntukkan bagi setiap orang yang berperang melawan korupsi. Dengan pemahaman ini, kiranya gelar “pahlawan” dapat disandang oleh setiap anak negeri yang telah berjuang memberantas tindakan korupsi yang telah mengakar dan menjalar di negeri ini.
       Pahlawan anti korupsi tidak dituntut untuk berperang dengan bambu runcing maupun senjata modern yang serba canggih. Pahlawan anti korupsi adalah mereka yang berani mengungkap skandal korupsi tanpa tebang pilih pada seluruh lapisan birokrasi pemerintah dan peradilan di negeri ini. Pengungkapan skandal korupsi harus didasari dengan niat yang tulus dalam rangka menegakkan kebenaran, bukan karena sebuah kepentingan kelompok tertentu.
        Pahlawan anti korupsi harus siap berkorban jiwa dan raga. Karena koruptor bukanlah musuh biasa yang tidak begitu kuat melakukan perlawanan, melainkan musuh yang hebat dan selalu melakukan perlawanan. Karena itu, siapa saja yang berusaha melawan koruptor akan mendapat perlawanan hebat. Para pahlawan anti korupsi pasti akan dihajar fitnah, digempur perang opini, dan dilemahkan dengan semua cara. Karenanya, semua pahlawan anti korupsi harus selalu tangguh dan pantang menyerah.
         Pahlawan anti korupsi dapat berasal dari kalangan dan kelompok mana saja. Karena perang melawan korupsi bukan hanya urusan para penegak hukum tapi tanggung jawab seluruh komponen bangsa, melibatkan semua orang, semua pihak, pada semua level, dan semua masyarakat Indonesia. Tentunya perjuangan melawan korupsi ini dilakukan sesuai dengan kapasitas kita masing-masing.
Dalam hal ini, setiap anak bangsa harus giat melakukan gerakan-gerakan anti korupsi dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar, karena setiap anak bangsa bertanggungjawab dalam mengajak pada kebaikan dan melarang berbuat keburukan. Bagi pemimpin dan penegak hukum, berkewajiban menegakkan keadilan, jangan hanya bergairah ketika mengadili anak negeri yang dituduh mencuri sandal jepit dan lemah tak berdaya ketika mengusut dan mengadili kasus korupsi besar seperti, kasus Bank Century, wisma atlit, proyek hambalang, serta kasus-kasus korupsi besar lainnya.
          Kita berharap peringatan Hari Pahlawan tahun ini tidak hanya menjadi upacara seremonial yang hampa makna belaka. Mudah-mudahan melalui peringatan Hari Pahlawan ini, semangat perjuangan para pejuang bangsa ketika melawan penjajah dapat mengalir dalam darah anak bangsa dalam memerangi tindakan korupsi. Sehingga akan lahir para pahlawan baru yang siap berkorban jiwa dan raga demi terciptanya Indonesia bebas korupsi,  Semoga. Wallahu A’lam.

 Artikel ini bisa anda download dalam format PDF dan Word. klik tombol download di bawah.


0 komentar:

Post a Comment