Pendangkalan Akidah Generasi Muda; Siapa Yang Salah?
Oleh : Alfuzanni*
*Penulis adalah Peserta M2IQ, binaan Pondok M2IQ Riau.

A. Pendahuluan
      Akidah merupakan pondasi dasar yang harus dimiliki oleh setiap umat Islam untuk melaksanakan segala aktivitas ibadah. Bila akidah seorang umat Islam baik maka baik pula amal ibadahnya begitu juga sebaliknya, jika akidah seorang umat Islam buruk  maka buruk pula amal ibadahnya.

       Akidah yang baik dan benar haruslah dimiliki oleh generasi muda Islam yang merupakan tongkat estapet penerus bangsa dan perjuangan umat Islam, sebagaimana yang di kehendaki oleh agama Islam. Akidah merupakan factor penentu eksistensi Islam dalam kancah perjuangan melawan pihak-pihak Misioneris Kristen yang ingin menghancurkan akidah umat Islam, khususnya generasi muda yang dijadikan sasaran empuk karena usia generasi muda merupakan usia labil dan rentan yang belum kokoh akidah dan keimanannya. Sehingga, mudah bagi mereka untuk mendangkalkan serta menyesatkan akidah seorang generasi muda.

       Dewasa ini fenomena pendangkalan akidah merupakan  masalah yang sangat krusial yang penting untuk dibahas serta ditanggulangi. Hal ini karena semakin maraknya aksi-aksi pendangkalan akidah oleh kaum misioneris atau orang-orang Kristen untuk merusak akidah umat Islam, khususnya pada generasi muda Islam.   Saat ini banyak hal-hal kecil yang nampaknya sepele, akan tetapi mampu mendangkalkan akidah yang menjadi sebuah pertarungan sengit, baik pertarungan tradisi, masyarakat, alam dan teknologi serta peradaban modern, maupun terhadap diri sendiri (tuntunan hawa nafsu) seperti dalam menyampaikan rasa gembira dan salut kepada teman-teman yang berhasil atas prestasinya, tidak hanya sekedar berjabat tangan, adu pipi (cipika-cipiki), kecup bibir di depan umum mulai dibudayakan yang seyogyanya ini merupakan budaya barat yang telah melenceng dan mendangkalkan akidah yang Islami..

       Dalam mempertahankan akidah yang benar di zaman modern yang serba canggih, umat Islam khususnya generasi muda harus berhadapan dengan kekuatan materialisme, zionisme dan sekularisme yang berusaha mengrogoti akidah umat Islam, ibarat rayap yang hinggap pada sebuah pohon. Tujuan utama misioneris adalah seandainya umat Islam atau generasi mudanya tidak mampu mereka jadikan seorang kafir (murtad), setidaknya bagaimana umat Islam dan generasi mudanya tidak mengetahui apa-apa dan melenceng dari ajaran Islam, baik itu masalah yang kecil maupun besar. Jika tujuan para misioneris untuk mendangkalkan akidah tersebut telah berhasil seperti saat ini yang  mulai tampak, siapa pihak yang harus dipersalahkan dan diminta pertanggung jawaban?.

     Melihat fenomena inilah maka penulis akan mengupas pembahasan tentang pendangkalan akidah generasi muda yang akhirnya menimbulkan sebuah pertanyaan besar yakni siapa yang salah?. Dan dalam makalah ini penulis memfokuskan pada empat aspek pembahasan yaitu: ramalan seperti pencarian jodoh, rezeki dan bintang (zodiac), pendidikan yang hanya menjadikan orang pintar tetapi tidak menjadikan akidah seseorang baik, tontonan yang merusak akidah dan hal sepele seperti ucapan salam yang mulai hilang. Ke empat aspek pembahasan dalam tulisan ini diharapkan semoga menjadi sumbangan pemikiran dan pencerahan bagi umat Islam dan generasi muda dalam membangun akidah yang benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasul Allah dan Al-Qur’an  untuk menghadapi persoalan pendangkalan akidah kedepannya.

B. Hakikat Makna Akidah
          Akidah yang menjadi pembahasan pokok pada tulisan ini memiliki hakikat makna yang perlu diperjelas sebagai dasar dalam pembahasan. Akidah secara bahasa berasal dari kata al-'aqdu yang berarti ikatan, at-tautsiiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah yang berarti mengikat dengan kuat. Sedangkan akidah secara terminologi bermakna : sesuatu yang diyakini sesorang, diimaninya dan dibenarkan dengan hatinya baik hak ataupun batil. Kemudian makna akidah ditinjau dari pengertian syariat Islam adalah beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, para malaikat-Nya, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya beriman kepada hari akhir dan taqdir (ketentuan) Allah yang baik maupun buruk. Selanjutnya, dari kata akidah ini dipinjamkan pula beberapa arti yang lain, seperti sumpah setia dan perjanjian. Dalam penggunaan sehari-hari atau secara istilah, khususnya dalam konteks agama, kata akidah lazim diartikan dengan“kepercayaan/keimanan/keyakinan”(1).

        Pengertian akidah tersebut di perkuat oleh Desy Anwar dalam kamus Bahasa Indonesia yang berarti kepercayaan atau keyakinan(2). Selanjutnya didukung dalam kitab Mu’jam Al-Fasafi oleh Jamil shaliba yang mengartikan akidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh(3). Dalam hubungan ini Yusuf Al-Qardawi mengatakan bahwa akidah menurut pengertian yang sebenarnya ialah kepercayaan yang meresap kedalam hati dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu, serta member pengaruh terhadap pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari(4).

         Dari berbagai pendapat tentang pengertian akidah tersebut di atas bermakna bahwa betapa pentingnya akidah itu ada dalam diri setiap umat Islam karena merupakan hal pokok yang harus dimiliki seseorang jika ingin memeluk agama Islam. Karena jika akidah tidak sesuai antara praktek dan arti sebenarnya maka akan berakibat sangat fatal yang menyebabkan dangkalnya akidah. Sehingga, akidah harus mutlak kebenarannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Ikhlas ayat 1-4 :

Artinya: “Katakanlah: “Dialah Allah yang Maha Esa”.(1) Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala urusan(2).Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan(3). dan tidak ada seorang pun setara dengan-Nya.(4)
(Q.S. Al-Ikhlas : 1-4)

         Dr. ‘Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahman Bin Ishaq Alu Syaikh dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan bahwa sesungguhnnya Allah Yang Tunggal dan satu-satunya, yang tiada tandingan, tanpa pembantu, juga tanpa sekutu dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Ini menjelaskan bahwa Allah itu Maha Esa yang tidak membutuhkan siapapun, Dialah pemilik segalanya sebagai yang Maha Sempurna. Hal selaras dengan sifat-Nya yang harus diyakini dan di imani dengan akidah yang benar(5).

         Selanjutnya M.Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menyatakan bahwa kata Ahad yang di sebutkan dalam surah Al-Ikhlas mengandung arti keEsaan zat Allah yang tidak ada unsur-unsur dan bagian-bagian yang  menyatakan akan  zat Allah Yang Maha Esa yang wajib di imani dan diyakini dengan sepenuh hati tanpa keraguan sedikitpun dan tanpa mensekutukan-Nya(6).

        Kemudian dalam Ensiklopedia Al-Qur’an menyebutkan bahwa kata Ahad biasa diterjemahkan dengan “Esa”. Kata ini ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 53 kali, akan tetapi hanya sekali yang digunakan sebagai sifat Allah. Ini mengandung isyarat tentang keesaan-Nya yang sedemikian murni, hingga sifat Ahad yang menunjuk kepada-Nya hanya sekali dalam Al-Qur’an, dan hanya ditujukan kepadaNya semata, yaitu pada Q.S Al-Ikhlas (112) ayat 1-4(7). Kata ahad tidak sama dengan kata wahid yang artinya satu, sehingga makna kata Esa tidak sama dengan makna kata satu. Satu adalah bilangan pertama dari bilangan asli matematika dan merupakan bilangan bulat yang dapat dibagi menjadi beberapa bilangan pecahan sampai tak terhingga. Adapun kata Esa sebagai terjemahan dari kata ahad bukanlah bilangan, sehingga tidak dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil(8).

      Berdasarkan ayat dan tafsir serta penjelasan di atas penulis menyatakan bahwa Akidah yang benar adalahnya akidah yang merujuk kepada kata Ahad  yang berarti mengesakan Allah SWT tanpa adanya campur aduk dengan yang lain yang dalam artian menyekutukan (menduakan) Allah dengan penuh keyakinan dalam hati tanpa adanya keraguan. Jika seorang umat Islam yang telah menyatakan dirinya menganut ajaran Islam haruslah menyatakan akan keesaan-Nya dengan mengucapkan kalimah syahadat yaitu Tiada Tuhan Selain Allah, dan Muhammad itu Utusan Allah. Kalimat ini bukan hanya sekedar  untuk memenuhi syarat belaka yang hanya sekedar di ucapkan habis perkara, namun kalimat ini mengandung makna yang sangat dalam yang inti dari kalimat syahadat tersebut yaitu akidah Islam yang sebenarnya yang akan terus dipakai oleh umat Islam dalam menjalankan segala aktivitas amal ibadahnnya.

C. Beberapa Bentuk Pendangkalan Akidah Generasi Muda
Ada beberapa hal kecil yang nampaknya sepele, akan tetapi mampu mendangkalkan akidah umat. Islam hanya sekedar formalitas, tercatat pada lembaran sensus atau KTP saja. Jangan aktif melaksanakan keseluruhan perintah Allah, sedangkan sisi luar dari Islam itu sendiri tidak pernah dinampakkan dan banyak hal yang dianggap sudah biasa ternyata memiliki nilai pendangkalan akidah yang sangat kronis. Saat ini sudah banyak contoh akibat dari pendangkalan akidah yang tidak disadari dan segera untuk diatasi telah  menjadi momok bangsa, seperti terseretnya budaya yang tidak Islami, banyak manusia bahkan umat Islam sendiri yang tercetak menjadi  algojo, orang-orang bejat, koruptor dan manipulator. Seharusnya ini tidak akan terjadi jika umat Islam mau melaksanakan perintah Allah SWT dan ajaran Nabi. Beberapa contoh pendangkalan akidah pada umat Islam khususnya generasi muda, yaitu:

1. Percaya Terhadap Ramalan
         Ramalan merupakan suatu ilmu yang ada pada seseorang yang dipercaya bisa melihat masa depan orang lain tentang segala aspek kehidupan melalui media alam gaib. Orang yang bekerja meramal disebut sebagai peramal. Sedangkan di dalam Islam seorang peramal dinyatakan kafir karena ia telah mengklaim bahwa dirinya mengetahui sesuatu yang gaib yang sebenarnya hanya diketahui Allah SWT.

         Ramalan saat ini menjadi sebuah tren tersendiri yang sangat populer dan familiar bagi kalangan generasi muda dan tidak menutup kemungkinan juga bagi orang tua. Ramalan yang terupdate  sering diperlihatkan di berbagai media seperti di televisi, radio, majalah, tabloid, koran maupun buku khusus untuk menyuguhkan informasi  mengenai peruntungan, karir, asmara (jodoh), kesehatan ataupun keuangan (rezeki) dan bagi mereka yang akidahnnya tidak terpatri kuat dalam hati dan belum kokoh pastilah akan mempercayainya. Contohnya seperti iklan ketik REG RAMAL kirim ke 6677 yang ditayangkan oleh para peramal seperti Deddy Corbuzer atau Mama Laurent, maka berbondong-bondong para generasi muda mengirimkan SMS karena ingin mengetahui hasil dari ramalan tersebut, dan mereka terkesan sangat mempercayai hasilnya. Hal ini telah dianggap mereka hal yang baik dan menjadi suatu yang wajar dan lumrah.

        Demikian juga halnya dengan ramalan menggunakan zodiac yang menggunakan lambang-lambang tidak Islami. Sama halnya juga dengan keyakinan terhadap bintang, sehingga sebagian para pembaca surat kabar sengaja hanya untuk melihat keberuntungan hari ini “Bintang anda (Zodiak)”. Ia melihat tanggal lahir dan bintangnya, kemudian ia memperhatikan yang ditulis peramal untuknya tentang keberuntungannya hari tersebut, lalu ia terkesan mempercayainya.

       Sedangkan Rasulullah SAW mengatakan dalam sebuah hadistnya bahwa orang yang mendatangi dan mempercayai peramal tergolong kepada kafir, yang artinya, “Siapa yang mendatangi seorang dukun / peramal, lalu mempercayai apa yang ia katakan, maka dia telah kafir kepada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad saw” ( HR. Abu Daud dari Abu Hurairah ).

       Percaya terhadap ramalan seperti yang dicontohkan di atas telah menjadi pemandangan yang tidak asing lagi bagi umat Islam. Jika ini tidak segera di sadari oleh generasi muda, orang tua, masyarakat maupun pemimpin maka tidak tahu apa jadinya generasi muda Islam kedepannya. Oleh karena sangat diperlukan bagi generasi muda perhatian serta bimbingan dari orang tua, kepedulian dari masyarakat, serta tanggungjawab dari pemerintah. Jika dari segala aspek telah bisa bekerjasama dan peduli kepada generasi muda maka akan terciptalah generasi yang tangguh akan segala hal dan prilaku yang akan mendangkalkan akidahnya. Bahkan bisa menjadi penghalang terhadap pendangkalan akidah kedepannya bagi generasi selanjutnnya.

2. Peran Pendidikan
     Pendidikan nampaknya bukan lagi menjadikan manusia baik, penyantun kepada orangtua, pengabdi kepada khaliqnya, tetapi hanya sekedar berilmu dan pintar dengan harapan kelak menjadi orang kaya, berkedudukan dan beruang (punya duit). Ini merupakan salah satu bukti dari pendangkalan akidah yang berorientasi kepada paham materialisame yang sedang dikembang dan dikemas kaum misioneris Kristen untuk merusak akidah generasi muda. Namun, mengapa hal ini tidak disadari oleh generasi muda muslim yang seyogya akidahnya telah dikoyak-koyak dan akan hancur berantakan jika tidak segera dikemas ulang dan diperbaiki.

      Menjadikan generasi yang pintar itu mudah, suapi saja dengan berbagai ilmu. Tetapi untuk menjadikan generasi yang baik sangat sulit, dia harus dilatih dalam keluarga dengan dasar keimanan yang kuat, sehingga kehadirannya dalam keluarga menjadi ”Qurratu a’yunin” penyejuk mata dan penyenang hati. Bukan seperti musuh yang harus dipelototi serta dihardik dengan menampakkan kekasaran. Masyarakatpun merupakan tantangan yang harus dihadapi, karena mampu menyeret warganya ke lembah maksiat. Sebab saat ini kebanyakan nilai manusia dijunjung karena jabatan.

       Dikalangan pemerintahpun sepertinya sudah tidak ambil pusing akan hal yang menimpa generasi muda, bahkan sebagian dari mereka memiliki akidah yang sangat buruk yang seharusnya menjadi suri tauladan yang baik sebagai tokoh pemimpin yang tentunya menjadi panutan, tetapi dengan berprilaku merugikan rakyat seperti prilaku korupsi, kolusi dan nepotisme itu telah merusak nilai-nilai akidah bahkan menghilangkannya. Dengan prilaku sebagian para pemimpin yang demikian mengakibatkan sampai pada hari ini Indonesia masih menyandang sebagai Negara 4 besar terkorup didunia melalui survey yang dilakukan oleh Bribe Payer Index(BPI) 2011 Transparency International, yang dilakukan terhadap 28 negara yang secara kumulatif berperan signifikan terhadap perekonomian dunia dengan angka korupsi yang mencapai triliuna rupiah pertahun (9).

       Dunia pendidikan saat ini tidak lagi memilki kurikulum tentang penanaman nilai akidah pada generasi muda, sehingga bisa dilihat banyak generasi muda telah terjerumus kepada jurang kehancuran lembah hitam seperti kasus pemakai narkoba yang terlibat lebih dari 50% generasi muda dan dari hasil survey Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Mories Mere di Kepatihan Yogyakarta tanggal 2 Februari 2011, menyatakan:”Transaksi narkoba sejak tahun 2003-2010 meningkat tajam hingga 300%.(10). Kemudian pada kota metropolitan di negeri ini menurut survei Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pusat, Sugiri Syarif, pada saat memberikan mata kuliah umum di Unimed, Rabu 13 Mei 2011, menyatakan bahwa 51% remaja di Jakarta, 52% remaja di Medan dan 54% remaja di Surabaya, pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah(11).  nauzubilahi minzalik ini merupakan suatu pristiwa dekadensi akidah yang sudah pada tahap kronis menuju jurang kehancuran. Jika ini tidak segera diselamatkan maka ditakutkan akan mengundang musibah yang akan diterjunkan oleh Allah SWT kepada bangsa ini dan lebih ironis jika sampai di musnahkan habis seperti pristiwa pada zaman Nabi Nuh a.s (Q.S Nuh (71): 25) dan Nabi Luth a.s.

      Melihat fenomena di atas dapat dikatakan negeri ini sedang berada di tepi jurang kehancuran. Seperti yang digambarkan Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 103:
Artinya: “….Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya….”(Q.S Ali-Imran (3): 103).

     Dr. ‘Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahman Bin Ishaq Alu Syaikh Dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan bahwa sesungguhnya Allah SWT akan memberikan keselamatan kepada umatnya dari tepi jurang kehancuran (neraka), jika umat manusia masih mau bertaubat dan memperbaiki keadaan diri dan masyrakat sekitar dengan cara memerintahkan hendaklah ada sebuah gerakan penyelamatan dari kehancuran itu(12).

        Berdasarkan ayat dan tafsir di atas penulis berpendapat bahwa Allah SWT saat ini masih memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk berbenah diri dari segala kehancuran akidah yang terjadi. Nyatanya saat ini musibah yang terus bergulir di negeri ini masih pada tahap bisa di tangani sedikit demi sedikit. Namun, jangan sampai terulang lagi musibah seperti tsunami di Aceh yang bisa dikatakan laknat dari Allah yang menelan sekitar 150.000 jiwa, cukuplah itu menjadi bahan pelajaran dan intropeksi bagi umat Islam khususnya bagi generasi muda.

Pendidikan yang merupakan salah satu factor terpenting dalam memberikan ilmu pengetahuan pada generasi saat ini telah menjadi pendidikan yang tidak relevan lagi karena tidak adanya penanaman nilai-nilai yang seharusnya menjadi tema pokok pada kurikulum pendidikan, agar selain menjadikan generasi yang pintar dan cerdas namun juga memiliki akidah yang benar. Sehingga, generasi muda itu akan menjadi generasi yang membawa negeri ini menjadi negeri yang “baldatun toyyibatun wa robbun ghofur” (negeri yang aman dan penuh rahmat). Serta dijauhkan Allah SWT dari segala macam bentuk musibah dan bencana.

3. Tontonan yang Merusak Akidah
Tontonan saat ini telah melenakan umat tentang nilai yang terkandung didalamnya. Bahkan menurut penulis hampir sekitar 70% tontonan saat ini sudah merusak nilai akidah umat. Karena pada tontonan saat seperti di televisi lebih banyak tontonan yang bersifat negatif daripada positifnya, seperti pada sinetron, iklan dan film yang mempertontonkan budaya kebarat-baratan dari segi sikap dan prilaku. Mulai dari cara berpakaian yang memperlihatan aurat diambang batas kewajaran yang Islami sudah menjadi hal yang biasa. Berpelukan dan berciuman pada sinetron dan film pada kalangan muda yang berpacaran menjadi suatu yang indah dan mengasikkan bagi pemandangan mereka yang tidak memiliki akidah yang kuat. Sehingga, pada selanjutnya akan menjadi bahan contoh yang dilakukan. Islam dan iman telah ditelanjangi oleh bau farfum, kerlap kerlip lampu dan hingar bingarnya musik di gedung megah yang penuh dengan acara kemaksiatan, kontes mode, kontes ratu kecantikan sampai lomba ratu sejagat sengaja diadakan untuk mengalihkan perhatian umum, terutama pemuda untuk meninggalkan agamanya, kemudian terjun ke gelanggang menyaksikan dari satu kontes ke kontes lainnya. Manusia telah asyik tenggelam bersama alkohol dengan aromanya sampai mereguk nikmatnya kulit-kulit mulus yang memang diperdagangkan.

Sangat lebih dahsyatnya lagi bagi generasi muda saat ini, yaitu sikap dan prilaku seperti mengagung-agungkan idolanya lebih dari ia mengagungkan Allah SWT, ini dapat dilihat pada saat mereka rela antri berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mendapatkan tiket nonton bola atau konser artis ternama. Mereka juga rela merogoh sakunya dalam-dalam hanya untuk bertemu artis idolanya. Kemudian tatkala mereka melihat artis idolanya maka tidak sedikit dari mereka menjerit hiseris bahkan menangis karena perasaan bahagia yang menyelimuti hatinya. Tentunya hal ini tidak seimbang dengan kewajiban yang mereka lakukan sebagai seorang muslim. Ketika mereka di perintahkan Allah SWT untuk berzakat dan bersedekah mereka enggan untuk mengeluarkan, hal ini berbeda ketika mereka ingin membeli tiket konser. Kemudian ketika mereka diperintahkan shalat sebagai media untuk berkomunikasi dan bertemu dengan Sang Pencipta, sulit rasannya dijumpai mereka yang menjerit histeris atau bahkan menangis karena perasaan bahagia menghadap-Nya.

Kejadian seperti ini menunjukkan akan kedangkalan akidah umat yang jauh dari yang diharapkan Islam. Dari fenomena ini banyak pihak yang harus di persalahkan dan bertanggungjawab seperti kurangnya peran orang tua terhadap anaknya. Para orang tua sibuk seharian bekerja tanpa memperhatikan kondisi anak dengan alasan untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga yang tidak ada habisnya. Kemudian juga dari lingkungan masyarakat yang tidak ada rasa prihatin dan peduli akan kondisi yang seperti ini, yang sedang melanda generasi mereka seperti para pengusaha jasa perfilman dan sinetron yang tidak ambil peduli akan masalah dekandensi akidah yang terjadi dari apa yang telah dilakukannya, mereka hanya memikirkan bagaimana bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Pihak pemerintah juga kurang perhatian akan hal ini seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjadi tokoh agama yang dipercaya untuk memperhatikan akan kondisi umat Islam, namun nyatanya tidak berbuat apa-apa atas hal ini, apakah mereka tidak menyadari ini atau bahkan tidak mau peduli sama sekali. Demikian halnya seperti Komisi penyiaran Indonesia (KPI) yang memilki peran penting terhadap tontonan di media televisi yang seharusnya memiliki peraturan tayang, sehingga hal yang dapat mendangkalkan akidah di larang atau setidaknya diminimalisir dengan jam tayang setelah pada waktu anak-anak tidur. Namun, menurut  hemat penulis langsung saja dihapuskan siaran yang dapat merusak akidah.

4. Ucapan Salam yang mulai Hilang
Ada beberapa hal kecil yang nampaknya sepele, akan tetapi mampu mendangkalkan akidah. Misalnya saja sisi kecil dari Islam, yaitu ucapan ”Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” dikalangan pemuda masjid atau organsasi pemuda Islam lainnya ucapan itu merupakan hal yang wajar dan memang harus dilestarikan. Namun, bagi komunitas umum ucapan salam seperti ini menjadi suatu yang aneh bila di ucapkan bahkan dikatakan kurang pergaulan (kuper). Mereka lebih bangga bila mengucapkan “selamat malam”. Salam dengan ”Selamat siang” dan “selamat malam” lebih dipopulerkan, bahkan dalam pertemuan yang tidak diselenggarakan di masjid, seperti ketika menyampaikan sambutan/pidato ucapan ini menjadi tabu, seolah-olah hanya layak dipakai di masjid dikala berkhutbah saja, sedangkan Islam itu luwes, dapat dipakai tanpa memperhatikan apakah ini siang, sore atau malam, di ujung pencakar langit atau di surau di ujung desa.

Padahal ucapan salam yang diajarkan oleh Islam merupakan salam yang mengandung makna dan doa bagi yang mengucapkan dan yang menjawabnya. Bahkan ada hukum yang terkandung didalamnya yaitu, sunah hukumnya bagi yang mengucapkan dan wajib hukumnya bagi yang menjawabnya. Dari ucapan salam yang diajarkan Islam ini sudah merupakan perbuatan amal ibadah, begitu indahnya Islam mengajarakan kepada umat, namun ini tidak disadari oleh umat islam itu sendiri khusunya generasi muda. yang lebih aneh dan lucu mereka malu kalau mengucapkan salam seperti itu dan lebih bangga jika mengucapkan selamat malam. Padahal seyogyanya salam seperti itu adalah ucapan umat non muslim. Hal kecil dan sepele seperti ini haruslah diperhatikan, karerna dapat mendangkalkan dan mengurangi kekuatan akidah umat dan ini harus ada kerjasama dari segala pihak, jika tidak maka sulit untuk mewujudkan akidah yang benar sesuai yang diajarkan Islam.

Dalam keluarga mungkin telah maksimal orangtua memerankan diri untuk menanamkan keyakinan (akidah) kepada anaknya, tetapi bisa kabur dan dangkal kembali bila lingkungan masyarakat dan pemerintah tidak menunjang ke arah itu. Semua pihak harus kompak dan bekerjasama untuk memberikan contoh dan memberikan solusi terhadap pristiwa yang saat ini sudah merusak dan mendangkalkan akidah. Umat Islam khususnya generasi muda harus bangga dengan ucapan salam yang telah diajarkan, dan harus mensosialisasikan kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini, bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama yang paling benar dan ucapan salam yang diajarkan ada sebaik-baiknya ucapan salam. Jika ini bisa diterakan tentunya akan membuat Islam menjadi agama yang kuat dan Allah SWT akan memberikan rahmat serta lindungan-Nya kepada bangsa ini dengan menjadikan negeri ini negeri yang makmur dan bebas bencana serta musibah.

D. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan mendasar tentang pendangkalan akidah pada generasi muda yang terjadi saat ini, yaitu :
a. Sebagai generasi muda haruslah tahu tentang ajaran Islam dengan benar, terlebih kepada permasalahan pendangkalan akidah seperti yang dipaparkan di atas yang saat ini sudah mulai terlupakan dan menjadi hal biasa. Agar masalah pendangkalan akidah yang terjadi saat ini pada generasi muda bisa diatasi maka harus segera dicarikan solusi yang tepat, karena jika tidak segera maka pendangkalan akidah ini akan merambat kepada dekadensi moral yang menuju kemaksiatan. Hal ini sangat berbahaya, karena jika tidak ada pergerakan penyelamatan yang pada akhirnya akan mengundang murka Allah SWT dengan diturunkan berbagai bencana dan musibah, bahkan bisa saja dihancurkan-Nya seperti yang menimpa kaum Nabi Luth a.s. tentunya akan membuat negeri ini menjadi negeri yang hancur berantakan. Oleh karena itulah diperlukan pergerakan penyelamatan dengan secepat mungkin.

b. Banyak pihak yang bertanggungjawab atas pendangkalan akidah generasi muda, pertama orang tua. Orang tua sebagai suri tauladan dan panutan dalam sebuah lingkungan keluarga haruslah mampu menanamkan nilai-nilai akidah yang benar bagi anak mereka agar menjadi pondasi awal yang kokoh dari proyek-proyek pendangkalan akidah yang dipelopori oleh kaum misioneris Kristen. Kemudian juga perlunya dukungan yang baik dari masyarakat sebagai tempat lingkungan generasi muda berbaur dalam kehidupannya, dengan menjadi masyarakat yang madani dengan menjunjung tinggi nilai-nilai akidah Islam. Terakhir pemerintah sebagai “Ulil Amri” yang bertanggung jawab atas seluruh aspek kehidupan dalam wilayah kepemimpinannya, dengan kekuasaannya ia akan dipertanggungjawabkan kelak diakhirat atas apa yang ia perbuat untuk agamanya dalam membimbing generasi muda sebagai penerus tongkat estapet kepemimpinan.

2. Saran

  1. Kepada generasi muda harus segera kembali kepada akidah yang benar, dan menolak segal macam bentuk pendangkalan akidah dengan cara memperdalam ilmu agama dan meramaikan majelis taklim serta kajian-kajian Islam.
  2. Kepada orang tua dan mayarakat harus memperhatikan generasi muda dan mencegah dari segala macam bentuk pendangkalan akidah
  3. Pemerintah sebagai penanggungjawab utama harus mencegah segala macam bentuk program pendangkalan akidah dengan membuat aturan dan undang-undang terhadap segala aspek yang dapat mendangkalkan akidah generasi muda.


Endnote
  1. Dr. Suryan A. Jamrah. MA, Studi Ilmu Kalam, Pekanbaru: UIN SUSKA Riau dan LSFK2P, 2007. Hal 35
  2. Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: AMELIA, Tanpa Tahun.hal 23
  3. Prof. Dr. H. Abuddin Nata. MA, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.hal 84
  4. Ibid.hal 85
  5. Dr. Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahim Bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir ibnu Katsir, jilid 8, Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2006.hal 111-112
  6. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, kesan, dan Keserasian Al-Qur’an jilid9, Jakarta: Lentera Hati, 2009. hal 457-460
  7. M.Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an, Jakarta: Tanpa Penerbit dan Tanpa Tahun. 2011.hal 60-67
  8. Kusnadi, Akidah Islam dalam Konteks Ilmiah Populer, Jakarta: Amzah, 2007.hal 2
  9. H. Syuhada Bakhri, Konsentrasi kami Mulai Keperbatasan, Jakarta: Majalah Tazakka, Edisi Januari 2011. Hal 8
  10. Ibid.Hal 8
  11. Ibid. hal 8
  12. Dr. Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahim Bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir ibnu Katsir, jilid 2, Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2006.hal 104-106


Daftar Pustaka

A. Jamrah  Suryan, Studi Ilmu Kalam, Pekanbaru: UIN SUSKA Riau dan LSFK2P, 2007
Anwar Desy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: AMELIA, Tanpa Tahun.
Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Alu Syaikh Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahim Bin Ishaq, Tafsir ibnu Katsir, jilid 8, Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2006.
Shihab M. Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan, kesan, dan Keserasian Al-Qur’an jilid 9, Jakarta: Lentera Hati, 2009.
Shihab M.Quraish, Ensiklopedia Al-Qur’an, Jakarta: Tanpa Penerbit dan Tanpa Tahun. 2011.
Bakhri Syuhada, Konsentrasi kami Mulai Keperbatasan, Jakarta: Majalah Tazakka, Edisi Januari 2011.
Alu Syaikh Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahim Bin Ishaq, Tafsir ibnu Katsir, jilid 2, Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2006.
Kusnadi, Akidah Islam Dalam Konteks Ilmiah Populer, Jakarta: Amzah, 2007.
Al-Qahthani Syaikhmsaid Bin Ali Bin Wafh, Syarh Aqidah Wasyithiyah, Solo: At-Tibyan.Com, Tanpa Tahun
Jaiz Ahmad Hartono dkk, Sumber-Sumber Penghancur Akhlaq Islam, Jakarta: Pustaka Nahi Munkar, 2010.
Departemen Kementrian Agama, Al-Qur’anulkarim, Bandung: PT. Sygma Examsdia Arkanleema. Tanpa Tahun

DOWNLOAD TULISAN INI
KLIK LINK DIBAWAH




*Berita ini telah dimuat di Koran Tribun Pekanbaru, 13 Mei 2013, hlm. 16.

       Pekanbaru, Pondok Menulis Makalah Ilmiah al-Qur’an (M2IQ) Riau menggelar pelatihan M2IQ gratis. Acara ini telah dimulai sejak bulan lalu, setiap hari sabtu pagi, dan akan tetap berlanjut. Pelatihan ini dipusatkan di dua tempat; Mushala al-Ishlah Perum. Asta Regency Panam dan Perpustakaan UIN Suska Riau.

“Pelatihan ini bertujuan untuk melahirkan penulis muda Qur’ani, yang tidak hanya mahir dan juara dalam musabaqah menulis makalah ilmiah al-Qur’an, tetapi juga mampu menulis di berbagai media dan menerbitkan buku. Karena menurutnya, cita-cita luhur dari cabang M2IQ yang diperlombakan di panggung MTQ itu adalah untuk melahirkan penulis muda yang siap menyampaikan pesan al-Qur’an lewat karya tulis, terutama di media,” ujar Pimpinan Pondok M2IQ, Susanto Al-Yamin kepada Tribun, Minggu (12/5).

Selain pelatihan M2IQ yang merupakan salah satu cabang lomba pada Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), Pondok M2IQ Riau juga melatih peserta untuk menjadi penulis artikel di media. Bahkan Pondok M2IQ juga bercita-cita untuk menerbitkan tulisan-tulisan binaannya dalam bentuk buku.

Pelatihan ini diberikan secara gratis. Menurut Susanto, walaupun tanpa kucuran dana dari pihak manapun, pelatihan gratis ini tetap berjalan lancar dan tidak mengurangi kualitasnya. Karena dalam pelatihan ini, para peserta dilatih oleh beberapa penulis yang berpengalaman dan juara M2IQ Nasional. 

Sejauh ini, sudah ada beberapa tulisan binaan Pondok M2IQ yang telah dimuat di media, baik cetak maupun online.

“Saya mengucapkan terimakasih kepada kawan-kawan panitia pelatihan yang telah bekerja keras. Begitu juga kepada para pelatih yang tulus meluangkan waktunya, sehingga pelatihan ini berjalan lancar dan membuahkan hasil. Semoga hal ini bisa menjadi contoh bagi beberapa Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) untuk lebih serius lagi membina putra daerahnya masing-masing”, kata Susanto.

Sementara itu, Zani, salah seorang peserta pelatihan, mengaku senang dan berterimakasih karena bisa mengikuti pelatihan ini. Karena menurutnya, selain gratis pelatihan ini sangat santai dan tidak kaku. Sehingga ia bisa menggali ilmu dengan nyaman dari pelatih-pelatih yang telah berpengalaman.

Sampai saat ini, panitia masih menerima peserta baru. Bagi yang berminat dapat mengikuti pelatihan ini. Untuk pelatihan selanjutnya, dilaksanakan setiap sabtu minggu kedua dan keempat pukul 09.00 WIB. Informasi lebih lanjut silakan hubungi email: pondokm2iqriau@gmail.com.



PONDOK M2IQ RIAU



       Di masa sekarang ini, banyak orang ingin tahu akan Islam, tetapi pengetahuan mereka mengenai agama ini bervariasi. Pengetahuan mereka mungkin diperoleh melalui artikel, buku, atau bagian dari sebuah buku rujukan yang mereka baca di sekolah. Mereka mungkin mengetahui sebagian orang Muslim, melewati sebuah Masjid, menonton film dokumenter atau berita malam, atau mungkin telah mengunjungi negara Muslim. Bagi sebagian orang, Islam hanyalah sebuah ‘agama yang lain’, tetapi untuk sebagian besar lainnya, Islam telah menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati.

       Dan seperti itulah yang terjadi dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw, Salman Al-Farisi. Salman Al-Farisi berasal dari Persia dan seumur hidupnya dia melakukan perjalanan panjang untuk mencari kebenaran, sampai di ujung perjalanannya dia bertemu dengan Rasulullah Saw. dan masuk memeluk agama Islam hingga menjadi sahabat dekat Rasulullah Saw. dan pembela Islam.

        Tujuan dari buku ini adalah untuk menyeru kepada manusia untuk mencari keselamatan mereka dengan menelaah kisah sebuah pencarian panjang oleh seseorang yang bernama Salman Al-Farisi. Kenapa tidak? Apakah kita mengetahui semuanya? Ketika kita mengetahui bahwa kita bahkan tidak memiliki udara yang kita hirup, dan bahwa kita tidak diciptakan secara sia-sia, dan kita tidak menciptakan diri kita sendiri, maka adalah wajar ketika seseorang memiliki keinginan untuk mengenal lebih jauh tentang Allah, Yang Menciptakan kita, Memberi kita Kehidupan, dan Dia yang suatu hari akan memanggil kita kembali kepada-Nya. Pada hari itu, akan ada kenikmatan abadi atau siksaan abadi.

Detail Ebook :
Judul           : Perjalanan Mencari Kebenaran Salman Al Farisi
Pengarang   : Dr. Saleh As Saleh
Format file  : PDF
Ukuran        : 315 kb

klik link dibawah ini untuk download
setelah itu, klik "skip ad" disudut kanan atas.

DOWNLOAD EBOOK PERJALANAN MENCARI KEBENARAN SALMAN AL FARISI

Oleh : Alfian*
*Penulis adalah “Santri” Pondok M2IQ Riau
 *******
     Zaman sekarang tidak dimungkiri bahwa manusia khusunya umat Islam lupa dengan dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Banyak orang memandang dosa dengan sebelah mata. Padahal dosa-dosa yang telah diperbuat selama hidup di dunia akan dibalas dengan ganjaran yang setimpal di akhirat kelak. Dosa merupakan suatu nama yang diperuntukkan bagi manusia yang melanggar perintah Allah SWT.

       Setiap anak Adam pasti mempunyai dosa. Hanya saja, dosa itu ada yang besar dan kecil, ada yang diperlihatkan dan ada pula yang tidak diperlihatkan oleh Allah Swt . Manusia cendrung mengerjakan perbuatan-perbuatan yang mengandung dosa. Mencuri adalah salah satu perbuatan yang mengandung dosa. Pada realita saat sekarang ini, mencuri dijadikan sebagai ajang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka yang melakukan hal tersebut tidak pernah memikirkan dosa dan akibat dari perbuatan nantinya.

      Noda tidak akan hilang kecuali dibersihkan. Begitu juga dosa tidak akan diampuni melainkan dengan tobat. Tobat secara bahasa yaitu kembali. Sedangkan menurut istilah tobat adalah kembali kepada jalan kebenaran yang diawali dengan berhenti melakukan perbuatan dosa, menyesal terhadap dosa yang diperbuat dan bersungguh-sungguh atau berjanji tidak akan mengulanginya kembali. Tobat merupakan salah satu perbuatan yang tergesah-gesah dalam melakukannya. Maksudnya ialah ketika seorang hamba melakukan perbuatan dosa, maka harus bersegera bertobat untuk mendapatkan ampunan atas dosanya.

      Makna lain dari tobat adalah mengingat. Ketika seorang hamba sesudah melakukan perbuatan dosa, dianjurkan bersegera mengingat Allah SWT. Dikarenakan dengan mengingat Allah SWT hati akan menjadi sadar. Kesadaran diri terhadap dosa akan menghantarkan kepada kedamaian dan ampunan.

       Rasulullah SAW bersabda “hai sekalian manusia bertobatlah kepada Allah sesungguhnya aku tobat tiap-tiap hari seratus kali”. Dalam riwayat lain mengatakan Rasulullah SAW bertobat sehari semalam minimal tujuh puluh kali.

       Maksud hadist diatas adalah sesungguhnya manusia itu penuh dengan dosa, kemudian dianjurkan untuk banyak dan bersegera bertobat kepada Allah SWT.  Tobat yang dimaksudkan adalah Taubatan Nasuha (tobat yang sesungguhnya). Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beristighfar, karena istighfar merupakan obat untuk menghapus dosa.

       Allah SWT lebih menyukai orang yang selalu ingat atas dosanya ketimbang seoarang alim yang tidak bergaul dengan masyarakat. Untuk itu, bertobatlah sebelum ajal datang menjemput dan selalulah ingat atas segala dosa-dosa yang telah diperbuat selama hidup di dunia.



         “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (Q.S. Hud : 3)



Arikel ini bisa diunduh klik PDF atau Word dibawah, 
setelah itu tunggu 5 detik, klik skip ad pada sudut kanan atas..




     Sebuah buku yang sangat menarik untuk dibaca, buku yang mengupas tentang kekhusukan dalam shalat. Dari judulnya saja buku ini mengatakan bahwa khusu' itu MUDAH, ini bertentangan dengan pemikiran kita selama ini yang mengatakan bahwa khusu' itu sulit. Ternyata pikiran selama ini salah, buku ini lah jawaban dan solusi dari kesulitan khusu' dalam Shalat.
        
       Anda Kenal siapa Ustad Abu Sangkan? beliau adalah Ustad yang sangat mendalami tentang shalat mulai dari dasar hingga ke akar-akarnya. Beliau sendirilah yang menjadi pengantar Buku ini yang ditulis oleh Mardibros seorang Murid Abu Sangkan.

Poin-poin yang dibahas dalam buku ini adalah :

Shalat Khusyu' Itu Mudah                                                                                    

  • Kegagalan meraih khusyu’                                                                             
  • Mendadak khusyu'                                                                                            
  • Peka dan tanggap lingkungan                                                                                  
  • Khusyu’ menurut Al Qur'an                                                                                  
  • Siapkan diri untuk khusyu'                                                                                   

Babak I  : Kesadaran Berketuhanan

  • 3 golongan manusia
  • Mengukur kadar keimanan
  • Dzikirlah sebanyak-banyaknya
  • Sang pencipta langit dan bumi bernama Allah
  • Berbuat dengan penuh kesadaran

Babak II : Tunduk dalam Kepasrahan

  • Evaluasi pelaksanaan rukun shalat
  • Bacaan bukan panglima
  • Rukun shalat yang dilupakan
  • Gerakan yang menghantarkan jiwa
  • Rukuk dan sujud dengan penuh kerendahan
  • Sempurnakan sujud dan rukuk

Babak III : Berdialog dengan Allah

  • Allah menjawab setiap pujian dan doa
  • Komunikasi dua arah

Perjalanan Masih Panjang


        Judulnya 7 Keajaiban Rezeki yang dibahas adalah 7 langkah-langkah ajaib untuk mempercepat datangnya rezeki. Kebetulan dengan pendekatan-pendekatan islami dan otak kanan. Katanya ketujuh langkah-langkah itu bisa disebut percepatan-percepatan, lompatan-lompatan, ataupun keajaiban-keajaiban.


Ke-7 Keajaiban itu adalah:
1. Sidik Jari Kemenangan.
2. Sepasang Bidadari.
3. Golongan Kanan.
4. Simpul Perdagangan.
5. Perisai Langit.
6. Pembeda Abadi.
7. Pelangi Ikhtiar.

Memang jika diliat-liat buku ini syarat dengan angka-angka 7, 17, 19, dan 99. Dibuku ini dijelaskan dengan sangat detial tentang hal itu. Apa yang saya bahas di sini hanya garis besarnya saja, membaca buku ini anda benar-benar akan tersadar.
ingin tau lebih tentang buku ini silakan download ebooknya disini, tapi jangan lupa untuk membeli buku versi yang lain dari Ippho santosa karena Bukunya banyak dan karangannya bagus-bagus.

Ebook adalah buku elektronik yang bisa anda baca lewat perangkat komputer.
Anda bisa mendownload ebook 7 keajaiban rezeki dalam format PDF.



Judul Buku : Tujuh Keajaiban Rezeki
Pengarang  : Ippho santosa
Penerbit     : Elek Media
Format      : PDF
Ukuran file : 12 mb

untuk mendownload buku ini dalam format PDF, klik link dibawah

Download Ebook 7 Keajaiban Rezeki

- setelah terbuka tunggu 5 detik dan klik "skip ad" pada kanan atas, 
- setelah terbuka, klik download pada kanan bawah

Oleh. Misrawati, S.Pd.I*
Misrawati adalah guru di SDN 001 Rengat, dan juara pertama pada M2IQ (Musabaqah Makalah Ilmiah Qur’an) mewakili Kabupaten Indragiri Hulu pada   MTQ tingkat Provinsi Riau Tahun 2012 di Bengkalis ***



 “At the first we make habits and at the last habits make us” (awalnya kita membentuk kebiasaan dan akhirnya kebiasaanlah yang membentuk diri kita).

Ungkapan ini mengandung pesan memotivasi kita membangun kebiasaan positif. Memang sulit mengawali sebuah kebiasaan. Dan, jauh lebih sulit, mempertahankannya. Termasuk, salah satunya, membiasakan diri bangun pagi.

Padahal, kebiasaan bangun pagi memiliki manfaat yang amat besar. Waktu pagi adalah kesempatan untuk menikmati udara segar yang belum tersentuh polusi. Momentum itu sangat tepat untuk menghirup sebanyak mungkin oksigen murni ke paru-paru. Pada saat itu sinar matahari memancar memberikan kesehatan karena mengandung vitamin D yang dapat menjadikan tubuh kita sehat dan kuat. Momentum indah inilah yang harus kita manfaatkan. Tetapi banyak orang  tidak mau memanfaatkannya. Mengapa?

Salah satu penyebab utama sulitnya bangun pagi adalah karena tidak memiliki keinginan untuk bangun pagi. Sedangkan tiadanya keinginan tersebut karena umumnya kita tidak menyadari betapa besarnya manfaat yang akan didapat apabila kita mau bangun pagi. Bila kita mengetahui besarnya manfaat bangun pagi, kita akan memiliki keinginan untuk meninggalkan kebiasaan jelek bangun di siang hari atau pun tidur setelah subuh.

Intinya, semua berawal dari keinginan. Bila keinginan bangun pagi sudah menancap kuat di hati, pasti mudah melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada keinginan sama sekali, maka akan sulit bagi kita untuk bangun pagi. Namun, apabila sudah terbentuk, kesulitan itu pun juga akan hilang justru kita akan merasa sulit untuk meninggalkannya. Mungkin dulu motivasinya karena takut dimarahi oleh orangtua. Dengan berjalannya waktu, motivasi itu bukan lagi karena rasa takut, tetapi karena sudah merasakan nikmatnya untuk bangun di pagi hari. Fakta, motivasi juga bisa menjadi sebab seseorang kesulitan untuk bangun pagi. Begitu juga halnya, apabila sejak kecil kita dibiasakan bangun pagi, maka kebiasaan itu akan membentuk diri kita. Akhirnya, kita pun memiliki kebiasaan bangun pagi. Kalau mau tidur lagi selesai shalat subuh, justru merasa tidak nyaman. Halnya, kebiasaan yang awalnya kita bentuk sudah membentuk diri kita.

Selanjutnya, ada sebuah ungkapan “salah satu ciri seorang pemenang adalah memiliki kebiasaan bangun di pagi hari. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan yang tidak akan datang dua kali sepanjang hidupnya”(Fadlan al-Ikhwani). Ungkapan ini memiliki makna sama apabila di suatu kompetisi dan juga perlombaan, 'the winner'  bukan selalu mereka yang melakukan suatu hal 'tercepat', tapi terkadang yang memulai lebih awallah yang mendapat suatu kemenangan. Nah, bangun lebih awal berarti memberi kita kesempatan untuk bergerak lebih dulu. Artinya kita dapat menggunakan kesempatan tersebut untuk menjadi lebih produktif atau lebih enerjik dibandingkan orang lain.

Ternyata bangun lebih pagi memiliki banyak manfaat. Mulai dari segi kesehatan, sosiologi  dan agama. Bagi kesehatan, menurut Dr. Muslim Nathin , bangun pagi juga dapat mengurangi kecenderungan terserang panyakit kardiovaskular atau gangguan jantung dan pembuluh darah. Kita mendapat kesempatan untuk menikmati udara segar yang belum tersentuh polusi, dimana momentum tersebut sangatlah tepat untuk memasukan sebanyak mungkin oksigen murni ke paru-paru dengan aktifitas olahraga. Apabila ditinjau dari segi sosiologi, dapat menjalin keakraban dengan tetangga yang sama-sama punya kebiasaan bangun pagi, ketika kita berolahraga atau ketika sholat subuh berjamaah di mesjid. Bertemu atau berkenalan dengan orang baru yang punya aktifitas atau bekerja di pagi hari, biasanya orang-orang yang berdagang di pasar. Sedangkan dari segi agama, Rasulullah bersabda: “berpagi- pagi itu barokah”. Sebab waktu itu jiwa, akal dan fisik kita belum letih, masih fresh, jadi sayang jika tidak digunakan sebaik-baiknya. Sebaik-baik waktu bekerja adalah di waktu pagi.

Mereka yang bangun di pagi hari, kemudian melaksanakan shalat subuh berjama’ah menjadi salah satu indikasi kokohnya iman. Menurut hadis Rasulullah bahwa shalat Isya dan shalat Subuh adalah shalat yang paling berat bagi orang munafik. Sebaliknya, bagi orang mukmin, shalat – shalat itu merupakan shalat istimewa. 

Dalam hal ini, ternyata Islam pun sudah mengatur pola tersebut. Apabila kita biasa bangun untuk shalat malam, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat subuh tepat waktu, maka kita sudah membentuk kebiasaan terpola. Apabila kita mengikuti aturan dan pola yang telah ditetapkan dengan melaksanakan shalat zhuhur, Ashar, Magrib, dan Isya secara tepat waktu dengan berjama’ah di mesjid, maka Islam akan membentuk kita menjadi manusia berdisiplin tinggi. Subhanallah.


 Ingin baca secara offline, Download tulisan ini :



Terima Kasih Telah Mengunjungi

PONDOK M2IQ RIAU


Oleh: Ali M. Hasan Palawa***
Manusia pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur al- Jasm (jasmani, raga atau fisik), al-Nafs (nafsani, jiwa atau psikis), al- Ruh (rohani, sukma atau spirit). Ketiga unsur ini merupakan satu susunan kesatuan yang tidak dapat dipisah (integral) dan utuh (totalitas) dalam membentukan kedirian manusia. Akan tetapi, secara sederhana, demi mengikuti pemahaman masyarakat awam, Raja Ali Haji hanya membangi manusia dua unsur: rohani dan jasmani. Meskipun demikian, pada penjelasan-penjelasan berikutnya secara implisit Raja Ali Haji mengakui pembagian tiga unsur manusia: ruhani, nafsani dan jasmani. Kebenaran pernyataan disebut belakangan terlihat ketika Raja Ali Haji, misalnya menganjurkan agar penguasa memelihara ketiga unsur manusia tersebut, yaitu memelihara nyawa (rohani), memelihara nama (nafsani) dan memelihara badan (jasmanai).

Memelihara Ruhani.

      Pengertian al-ruh secara sederhana, menurut Raja Ali Haji, sama dengan nyawa yang befungsi sebagai sumber kehidupan manusia. Dalam pengertian semacam ini, ruh adalah “jisim yang halus yang terus-menerus hidup.” Roh dalam pengertian ini tetap menjadi rahasia Ilahi, sementara pemahaman manusia tentang ruh sangat terbatas. Dalam mempertegas argumentasinya, ia mengutif firman Allah: “ yasalûnaka ‘ani al-rûh kul al-rûh min ‘amri rabbî wa ma ûtîtum min al-‘ilmi illâ qalîlâ (dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Q.S. al-Isra’ [17]: 85). Bahkan Raja Ali Haji menyarankan bagi masyarakat awam untuk tidak membicarakannya, melainkan mengikuti saja pengertian ruh yang telah dijelaskan para ulama terdahulu. Raja Ali Haji menyarankan untuk mengikuti penjelasan ulama, mislanya pendapat Imam Haramain, Imam al-Ghazali, Syekh Ibrahim al-Laqani dan Imam Nawawi al-Banteni. (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, hal. 291-292 dan 28).

     Pada bagian lain, Raja Ali Haji terkadang juga secara umum dan sederhana mengkategorikan ruh sama dengan al-akal, al-qalb, dan al-nafs. (Raja Ali Haji, Tsamarat al-Muhimmah: 40) Misalnya, ia menyebutkan bahwa ruh merupakan entitas yang juga mengatahui hakekat segala sesuatu. Maka dalam pemahamahan semacam ini, ruh sama fungsinya dengan akal. Begitu pula, ruh berarti sama dengan al-kalb (hati) yang dapat merasakan kebahagian dan kesengsaraan. Ruh, juga merupakan “alat” bagi jasmani (badan atau raga) dan sumber mobilitas segala aktifitas manusia. (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa:. 292) Maka ketika ruh mengalami kerusakan akan berimplikasi mudharat kepada seluruh anggota badan. Oleh karena itu, melihat urgensi eksistensi roh, Raja Ali Ají menyimpulkan bahwa memelihara ruh hukumnya adalah wajib.

      Menurut Raja Ali Haji, sebab mula terjangkitnya “penyakit” pada rohani bagi manusia (baca: penguasa) dikarenakan “kedatangan beberapa bala’ dan susah atau anwa ‘ul bala’”. Hal tersebut dapat dilihat dari, sebagaimana dikutip secara in extenso dari Tsamarat al-Muhimmah: “Pertama, pada rezeki yakni sebab kepicikan rezeki yaitu hidup sebab papa; kedua, sebab kedatangan penyakit pada badan dan kepada tubuh; ketiga, sebab bercerai dengan kekasih, sama ada kepada manusia, seperti kematian anak-istri atau sanak keluarga, kaum kerabat dan sahabat handai atau sebab bercerai dengan kekasih, sayang daripada pangkat dan kebesaran dan kemulian …; keempat, dengan sebab kedatangan susah dari pada pihak yang ditakutkan hilang nyawa atau mudharat kepada badan yaitu kesusahan pada pihak seteruan, seperti di dalam permusuhan dan pergaduhan atau lainnya segala pekerjaan yang ditakuti; kelima, sebab kedatangan dihina-hinakan manusia atau barang sebagainya segala pekerjaan yang jatuh dirinya yang jadi menyusahkan dia….”
     Adapun cara mengobati penyakit rohani ini, pada hemat Raja Ali Haji, adalah dengan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadist serta nasehat-nasehat para ulama, dan “hendaklah sekedudukan dengan orang yang berilmu dan orang-orang sholeh”. Bahkan Raja Ali Haji menyarankan agar berdoa memohon pertolongan Allah guna mengobati penyakit ruh tersebut lewat sembahyang hajat. Lebih lanjut dalam mengobati penyakit ruh ini, Raja Ali Haji merekomendasikan, “Syahdan jika hendak terang kenyataan perkara yang tersebut itu hendaklah mentala’ah kitab-kitab ahli sufi seperti kebanyakan kitab al-Ghazali dan lainnya, intaha.” Raja Ali Haji, Tsmarat al-Muhimmah: 44).

     Kalaupun bala’ tersebut telah menimpa, Raja Ali Haji menganjurkan’ “hendaklah berbaik sangka kepada Allah Ta’ala sebab hikmahnya tiada kita ketahui.” Dalam menerima cobaan, di samping mengupayakan penyembuhannya, hendaknya dihadapi dengan ridha, “tidak berkeluh kesah dan mengadu kesana kemari,” penuh kesabaran serta tawakkal kepada Allah. Kerena “Allah mengasihi orang sabar dan meluaskan orang tawakkal.” Dengan begitu, Allah akan memberikan balasan yang lebih baik dan akan memberikan pahala bagi orang yang bersabar dan bertawakkal di dalam menghadapi cobaan. Anugrah dan pahala bagi orang yang sabar dan tawakkal, kata Raja Ali Haji, tidak saja akan diperolah di akhir, tetapi juga di dunia ini, sebagaimana yang telah dianugrahakan Allah kepada Nabi-nabi-Nya.

Memelihara Nafsani

     Manusia adalah makhluk yang, menurut Raja Ali Haji, diciptakan dari tiada menjadi ada (cretion ex nihilo). (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 28).Unsur kedirian manusia yang paling “hakiki dan sejati” adalah al-nafs (nafsani, jiwa atau psikis). Ia disebut demikian karena al-nafs berada dan segaligus “terombang ambing” antara pengaruh baik al-Ruh (rohani, sukma atau spirit) dan “pengaruh” buruk dari al-Jism (jasmani, raga atau fisik). Dalam pengertian ini, refresentasi perwujudan al-nafs ini dalam diri manusia adalah al-qalb (arti harfiahnya bolak-balik). Al-Qalb (hati) adalah cerminan bagi perbuatan baik dan buruk manusia. Kalau al-qalb dekat dan mengikuti pengaruh al-ruh, ia akan menjadi baik dan terangkat derajat kemanusiaanya, sebaliknya kalau al-qalb dekat dan mengikuti pengaruh al-jasm, ia akan menjadi buruk dan terjatuh derajat kemanusiannya. 

    Karenanya, untuk menuju kembali kesempurnaan diri manusia, menurut Nurcholish Madjid, ada tiga jenjang perjuangan pribadi yang harus dilakukan. Pertama, jenjang al-nafs al-ammârah bi al-su‘, yaitu berjuang dan mengalahkan dorongan “nafsu amarah” kepada kejahatan. Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (Q.S. Yusuf [12]: 53). Kedua, jenjang al-nafs al-lawwâmah, yaitu membangun kesadaran disertai dengan penyesalan akan kejahatan diri, “nafsu lawwamah”. Al-Qur’an menyebutkan, “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (Q.S. al-Qiyamah [75]:2.) Ketiga, jenjang al-nafs al-muthma‘innah, yaitu menggapai kebahagian surgawi dengan jiwa yang damai. Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku.” (Q.S. al-Fajr [89]:27-30).

    Eksistensi manusia diukur, dalam pandangan Islam, sangat tergantung dari akhlaknya yang kemudian dimanifestasikan dalam amal-amal shaleh. Islam tidak terlalu menekannkan prinsip “cogito ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada), sebagimana dianut oleh filosuf rasionalis Barat, Rene Descartes, tetapi lebih pada prinsip “labora ergo sum” (aku beramal, maka aku ada). Artinya, ukuran keberadaan seseorang lebih ditentukan amal-perbuatnnya, bukan yang lainnya, semisal kepandaian. Karenanya, seseorang yang beramal baik akan mendapat sebutan/ nama baik, sebaliknya seorang yang beramal jelek akan mendapat sebutan/ nama jelek pula. Dalam “Syair Nasehat” Raja Ali Haji menyebutkan: Jalan kehidupan ditunjukkan/ Berkebun berladang disukakan// Berbuat baik dipujakan/ Berbuat jahat dihinakan//
Untuk itu, menjaga/ memelihara nama baik, kata Raja Ali Haji, sama pentingnya “memelihara agama”. Kongkritnya, ia mengatakan untuk dirinya, “biaralah kita jadi orang miskin atau jadi orang kecil asal jangan kita cacat kepada agama dan nama. Karena apabila orang2 tiada memelihara yang dua perkara itu, tiada guna panjang umur di dunia karena sama juga dengan binatang.” (Ian van der Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan: 60). Umur panjang tiada artinya, tanpa menorehkan nama baik lewat amal sholeh. Dengan melakukan amal sholeh manusia sepeninggalannya akan dikenang kerena nama baiknya, seperti kata pribahasa manusia mati meninggalkan nama. Sebaliknya, manusia yang tidak melakukan amal sholeh, kedudukannya sama dan bahkan mungkin lebih rendah dari binatang. Bukankah binatang dikenang orang kerena sesuatu yang ada pada dirinya dan bermamfaat bagi manusia, seperti ungkapan pribahasa, “harimau mati meninggalkan belang.” 

     Oleh sebab itu, apabila seorang penguasa ingin mendapat predikat baik (nama baik), menurut Raja Ali Haji, hendaknya menunjukkan sikap-sikap yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Menurutnya, sejelek-jelek sebutan (asma’ al-sayyiah) atau seburuk-buruk akhlak (akhlaq al-madzmûmah) bagi seorang penguasa adalah sebutan zalim, bodoh, lalai, dan penakut. Sebaliknya, sebaik-baik sebutan (asma’ al-hasanah) atau semulia-mulia akhlak (akhlaq al-mahmûdah) bagi seorang penguasa adalah adil, cerdas, rajin dan pemberani. Diantara keempat tersebut yang paling hina dan keji disandang bagi seorang pengasa adalah sebutan zalim. Begitu pula sebaliknya, sebutan yang paling mulia dan terpuji bagi seorang penguasa, sebagaimana disebutkan dalam Tsamarat al-Muhimmah, adalah sifat adil. Karenanya, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Raja Ali Haji menjadikan sifat “adil” salah satu syarat utama untuk pengkatan seorang penguasa. 

     Raja Ali Haji memberikan pelajaran bahwa kalau hati itu di dalam tubuh, ibaratnya “raja di dalam kerajaan”. Kalau hati tidak dipelihara dari sifat zalim, misalnya, akan berakibat pada kehancuran segala anggota tubuh. Ibaratnya kalau seorang raja tidak terpelihari dari sifat zalim, misalnya, akan berakibat kehancuran pada kerajaan. Persisinya dalam Gurindam Duabelas Raja Ali Haji berutur dengan indahnya: “Hati itu kerajaan di dalam tubuh/ jikalau zalim segala anggotapun rubuh.” Begitu pula dalam kedirian seorang penguasa, beberapa sifat yang tercela dan hina sebagai “penyakit hati” yang harus ditinggalkan oleh penguasa demi menjaga kredibilitas (nama baik) di mata rakyatnya. Raja Ali Haji menyembut cara melihara hati dengan cara menjahui sifat yang tercela, seperti takabur, iri hati: “Adapun “hati” pula hendakalah peliharakan dia daripada takabur yakni membesarkan diri, melihat dirinya lebih semata-mata baik pada bangsa atau pada rupa atau pada harta atau pada ilmu. Maka yaitu ditegahkan oleh syarak. Dan demikian lagi hendaklah peliharakan dia daripada dengki akan seseorang yang mendapat nikmat. Dan hendaklah dipeliharakan dia daripada segala kejahatan hati seperti yang tersebut di dalam beberapa kitab karangan ulama yang besar-besar, istimewa pula di dalam Qur’an dan di dalam Hadis. Syahdan jika engkau berkehendak rujuklah engkau kepadanya adanya.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 79). Selanjutnya, untuk memelihara sifat baik (akhlâq al-mahmûdah) dan menjuhi sifat buruk (akhlâq al-madzmûmah) tersebut, menurut Raja Ali Haji, “tiada dapat tiada, hendaklah kita ketahui tertib segala penyakit hati yang membawa kepada anggota zahir,” seperti apa yang diuraikan dengan panjang lebar dalam bagian “khatimah” (penutup) Tsamarat al-Muhimmah. 

*Penulis adalah Mahasiswa S3 Sekolah Pasca-sarjana UIN Jakarta, dan salah seorang Pembina Pondok M2IQ Riau.

Unduh tulisan ini :


Terimakasi telah mengunjungi 

PONDOK M2IQ RIAU



Oleh: Ali M. Hassan Palawa***

       Negeri kepulauan nan elok-permai disebut-sebut sebagai gugusan zamrud khatulistiwa ini pada awalnya dikenal sebagai negari yang aman dan damai. Begitupun, penduduknya dikenal ramah, santun dan toleran serta berlapang dada. Dulu, orang luar mungkin iri dan menyesal tidak dilahirkan di negari ini, dan kita merasa tersanjung dengan sebutan itu sekaligus bangga dilahirkan di sini.

      Akan tetapi, belakangan negeri ini berubah menjadi negeri yang mengerikan dengan bom-bom yang meledak silih-berganti diberbagai tempat. Demikian pula, gelar yang disandang penduduknya tersebut hilang disapu, setidaknya, dicederai oleh serentetan konflik etnis yang mengenaskan disejumlah wilayah. Saat ini, orang luar tidak perlu lagi iri dan malah merasa beruntung tidak dilahirkan di sini. Dan kita menjadi malu sendiri melihat kondisi bangsa ini, meskipun belum/tidak menyesal dilahirkan di bumi pertiwi. 

      Kita bangga dan ternina-bobokan dengan keindahan dan kekayaan alam, tetapi ketika kita sadar, ternyata kita mendapatkan diri kira miskin dan malah termasuk negeri peringkat ketujuh terkorup di dunia. Kita terlena dengan keramahan-tamahan dan tolerensi penduduk negeri ini, padahal kita belum pernah diujui. Ketika diuji, ternyata, dibalik nilai-nilai positif dan baik itu dalam diri bangsa ini tersimpan potensi negatif dan buruk: kejam, sadis dan bringasan. Potensi yang disebut terakhir ini dapat saja aktus lagi dimana, kapan, dan oleh siapa saja. 

    Potensi-potensi negatif dan buruk itu harus diwaspadai karena sebentar lagi negeri ini akan menyelenggaran perhelatan akbar, pesta demokrasi: Pemilihan Umum (Pemilu) yang diawali dengan kampanye oleh kontestan partai-partai politik. Kewaspadaan itu menjadi semakin penting karena menurut analisa BIN, pemilu 2004 berporensi gagal. Potensi kegalalan pemilu, menurut kepala BIN, AM Hendoropriyono, ada dua faktor. Pertama, faktor internal: kesiapan KPU sebagai penyelenggaran pemilu; dan kedua, faktor eksternal: terkait dengan situasi keamanan dan ketertiban.

       Sedikit menggembirakan bahwa diantara kedua faktor ini, menurut kesimpulan BIN, faktor pertama lebih dominan dalam menentukan gagal atau tidaknya pemilu. Sementara faktor kedua, menurut Kepala BIN, kemanan dan ketertiban menjelang pemilu tidak akan sampai menggangu dan menggagalkan pemilu (Riau Pos. 4 Maret). Disebut sedikit menggembiran, karena kalau pemilu gagal karena faktor pertama, ongkosnya hanya lebih bersifat finansial, tenaga dan pikiran, khususnya dari penyelenggara pemilu.

        Namun, sekali lagi, tetap saja bangsa ini harus tetap waspada. Karena kalau ternyata kegagalan pemilu disebabkan justru oleh faktor kedua, maka ongkos dan resiko yang akan ditangung oleh bangsa ini sunguh luar besar dan berat. Kegembiraan yang tersisa sedikit tadi akan habis, dan yang tinggal hanyalah kepiluan dan ratapan berkepanjangan. Dapat dibanyangkan, ketika keamanan dan ketertiban tidak terjaga, sangat memungkinakan akan terjadi konflik horisontal antara massa-massa pendukung-pendukung (fanatik) partai. Akibatnya, kerusahan terjadi dan boleh jadi ongkos pemilu akan dibayar oleh darah-darah, bahkan nyawa dari anak-anak bangsa. Nauzu billah.

       Agar pemilu kali ini berhasil, apa lagi tidak berdarah-darah, kecerdasan intelektual (pengetahuan tentang politik, demokrasi, pemilu, dll.) yang dimiliki oleh masyarakat tidak memadai dan menjamin. Justru yang lebih menjamin adalah kecerdasan emosional. Bagaimana masyarakat memaknai perbedaan pendapat dengan jiwa toleran dan berlapang dada (hanif al-samhah). Karena orang yang memiliki kecerdasan intelektual, tinimbang masyarakat yang mempunyai kecerdasan emosional, justru yang cenderung berpeluang bersifat jahiliyah.

      Jahiliyah, akar kata dari “jhl” selama ini senantiasa dikontradiktifkan (sebagai lawan kata) dengan kata “Ilm”. Padahal, dalam kebudayaan dan kesusatraan pra-Islam ditemukan kata jhl yang, menurut penelitian Goldziher, arti pokoknya bukan lawan kata ilm (kepintaran), melainkan lawan kata dari hilm. Kata “hilm” dalam bahasa Arab artinya kelamah-lembutan; ketenangan (sakinah); sifat menahan diri dan taqwa, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an: Ketika orang kafir membangkitkan dalam hatinya kesombongan --kesombongan jahiliyah-- maka Allah menurunkan ketenangan atas rasul dan mereka yang beriman, dan mewajibkan mereka menahan diri. Dan mereka memang berhak dan patut memilikinya. Dan Allah mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Fath [48]: 26).

      Jadi, orang-orang kafir disebut jahiliah bukan kerena mereka tidak berilmu pengetahuan, apa lagi bodoh (tidak pintar). Malah orang-orang Arab pra-Islam sangat masyhur dengan kecerdasan intelektualnya, misalanya ditandai dengan kekuatan hafalannya. Akan tetapi, orang-orang pra-Islam disebut jahiliyah lebih karena mereka tidak dapat menahan diri dan sikap berutal mereka. 

     Sikap kejam dan tanpa prikemanusia ini dengan jelas tercermin, misalnya, pada diri Khalid bin Walid, ketika ia diutus oleh Rasul untuk menyampaikan misi keislaman dan berdakwah mengajak orang-orang di daerah sekitar Mekkah untuk masuk Islam. Sebelumnya Rasul memerintahkan Khalid bin Walid melaksanakan tugas tersebut secara damai serta tidak melakukan kekerasan dan pertumpahan darah. Tetapi apa yang terjadi, setelah sampai ditujuan, Khalid berseru: ”Letakkan senjata, karena setiap orang telah memuluk Islam.” Begitu orang-orang di sekitar Mekkah meletakkan senjata, Khalid memerintahkan pasukannya, “ikat tangan mereka ke belakang dan pancung leher meraka.” Ketika berita ini sampai di telinga Rasul, ia menyuruh Ali bin Abi Thalib ke sana dan menyelidiki kejadian tersebut serta “memerintahkan agar menghapus semua praktek-praktek jahiliah.” 

    Begitu juga, kejadian serupa tampak nyata lima puluh tiga tahun sepeninggalan Rasul, ketika dinasti Umayyah melakukan belas dendam terhadap orang Anshar yang mendukung khilafah Abdullah bin Zubair, sampai tega membombardir kota Madina, memperkosa para gadisnya, membunuh sekitar 80 orang sahabat Rasul dan membunuh sekitar sepuluh ribu orang Anshar dan keturunnanya. Jelas bahwa sikap ini merupakan aspirasi jahiliyah. 

     Setelah itu, untuk mengelimasi kebobrokan pada masa dinasti Umayyah, dibuatlah konsep baru tentatng jahiliyah dengan menambah kata “zaman.” Sehingga kesannya, zaman jahiliyah telah berlalu dengan datangnya Islam. Padahal, jahiliyah tidak terkait dengan “zaman” yang merujuk pra-Islam atau diidentikkan dan didefinisikan dengan masa sebelum kelahiran Nabi Muhammad. 

      Namun, jahiliyah lebih merupakan sikap kejiwaan yang tetap ada sampai kedatangan Islam, bakan hingga saat ini, sampai-sampai kita mengenal istilah “Jahiliah Modern” lewat sebuah judul buku, misalnya. Sebagai orang yang hidup zaman modern yang akan melaksanakan pemilu, nota bene piranti demokrasi yang diklaim milik orang modern, kiranya kita memiliki kecerdasan hilmiyah, bukan kecerdasan jahiliyah.
Ma taufiq wa al-hidayah illah billah.

*Penulis adalah Mahasiswa S3 Sekolah Pasca-sarjana UIN Jakarta, dan salah seorang Pembina Pondok M2IQ Riau.

Tulisan ini bisa di download dalam format PDF dan Word, pilih dibawah :


Terima kasih telah mengunjungi

PONDOK M2IQ RIAU






Oleh: Ali M Hassan Palawa

Penulis adalah Mahasiswa S3 Sekolah Pasca-sarjana UIN Jakarta, dan salah seorang Pembina Pondok M2IQ Riau.
       Proses  pemurnian kepercayaan kepada Allah, tidak berhenti hanya pada  Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah, tetapi harus pla diikuti dengan Tauhid Husuniyyah. Artinya, setelah seorang mengakui bahwa Allah satu-satunya Wujud yang mencipta/ memelihara; dan bahwa Allah satu-satunya Wujud yang harus disembah, maka seseorang harus meneruskan pada sebuah kesadaran tauhid bahwa Allah adalah satu-satu Wujud Yang Terbaik dan Pengawas serta senantiasa hadir agar manusia berbuat (juga) yang terbaik.

       Dewasa ini, tidak sulit melihat dengan kasat mata ada orang yang saleh secara individul dengan indikasi, misalnya, rajin salat lima waktu, menunaikan ibadah haji ke Makkah sampai dua-tiga kali, serta umrah saban waktu dikehendakinya. Adalah benar bahwa ibadah umrah, haji dan terutama salat sebagai wujud nyata pengejawantahan yang paling representatif dari Tauhid Uluhiyyah. Akan  tetapi, ia tidak memaknai ibadah-ibadah tersebut sebagai kesalehan pribadi yang mempunyai implikasi kesalehan sosial, sehingga salatnya tidak fungsional, yaitu tidak dapat mencegahnya untuk berbuat keji dan jahat terhadap sesama manusia dan ciptaan Allah lainnya, seperti alam dan lingkungannya.

     Makanya, tidak mengherankan kalau ada orang begitu ”kelihatan” saleh secara individual sewaktu di masjid —salatnya begitu khusyuk, berdoa dengan raja‘ wa khawf  (harap dan cemas kepada Allah). Atau sewaktu di Haramayn —Makkah dan Madinah— seluruh rangkaian ibadah haji/ umrahnya begitu dekat sama Allah, doanya disertai cucuran air mata karena menyesal atas dosa-dosanya. Namun, setelah pulang dari salat atau pulang dari haji atau umrah, “Allah” ditinggal dalam masjid atau di Kakbah. Artinya, ia tidak lagi memiliki Tauhid Husuniyyah, yaitu Allah tidak mengawasinya lagi, dan Allah tidak lagi hadir dalam dirinya. Sehingga, matanya menjadi “hijau” kalau melihat uang rakyat. Karena tidak bisa dikorupsi secara langsung —kalau itu dilakukanya secara langsung juga, lalu apa bedanya ia dengan perampok—, kemudian ia rekayasalah sedemikian rupa sehingga uang rakyat itu “sah” menjadi miliknya.

     Seandainya, sekali lagi, ini seandainya orang tersebut tidak “meninggalkan” Allah di dalam masjid atau Kakbah di Makkah, tentu ia selalu merasa diawasi dan Allah senantiasa hadir kapan, dimanapun serta bagaimanapun dalam dirinya. Sehingga, misalnya, kalau  mau menyuap ia akan mengurungkan niatnya karena Allah mengawasinya. Atau kalau akan disuap ia akan menolak karena Allah selalu hadir dalam hidupnya. Kalau mau mengambil kebijakan/keputusan yang merugikan masyarakat, ia mengurungkan niatnya. Sayangnya, ini hanya pengandaian dan kalau hanya terus menjadi mengandaian, maka pencegahan korupsi tinggal angan-angan yang absurd dan utopis.

    Ironisnya lagi, lambat laun, orang semacam ini hatinya tidak lagi memancarkan “cahaya” hatinya tidak lagi “nurani” bersifat cahaya-terang, tetapi sudah “zulmani” bersifat gelap gulita. Dengan begitu,  ia tidak dapat lagi melihat kejahatan yang dilakukannya sebagai kejahatan. Malahan, kejahatan yang dilakukannya sudah dilihatnya seolah-olah menjadi ”baik” dan ”halal”. Termasuk kejahatan uang hasil korupsi yang ia sumbangan ke masjid-masjid baginya “baik-baik” saja; atau uang hasil korupsi yang dipergunkan naik haji dan umrah berulang-ulang kali setiap kali ini diinginkannya, itu pun buat dirinya “halal-halal” saja.

    Padahal, hakikat tujuan ibadah mahdah, terutama salat adalah agar manusia menjadi baik dan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Inna al-shalah tanha ‘an al-fahshai wa al-munkar. (QS al-Ankabut: 45), termasuk tentunya dari kejahatan korupsi. Bahkan bagi orang yang salat sekalipun, tetapi tidak memiliki Tauhid Husuniyyah, justru ia menjadi orang yang celaka. ”Maka celakalah orang yang salat, yaitu orang-orang lalai terhadap salatnya, yang berbuat ria, dan enggan memberikan bantuan”. (QS Al-Ma‘un. 4-7).

    Seseorang yang tidak memililki Tauhid Husuniyyah pada satu sisi boleh saja (kelihatan) khusuk dalam salatnya, tetapi pada sisi lain, rakus korupsi. Meskipun segera harus ditambahkan, bahwa “khusuk dalam salat di sini bukan dalam  makna sebenarnya (hakiki), tetapi dalam makna artifisial, sekadar di permukaan dengan motivasi ingin pamer, riya atau  ingin dilihat orang lain. Sedemikian berbahaya penyakit hati ini bagi keintregralan harkat dan martabat kemanusiaan, sampai-sampai Nabi menyatakan: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu sekalaian ialah syirik kecil, yaitu riya”.

     Begitu pula, seseorang yang tidak mempunyai kesadaran Tauhid Husuniyyah, kalaupun ia berbuat kebaikan, misalnya memberikan derma kepada orang lain, dapat dipastikan tidak ada keikhlasan dalam perbuatannya itu, sebab bukan Allah yang menjadi motivasi dan orientasinya. Ketika akan berderma, misalnya, ia mengundang publik agar semua orang mengenalnya sebagai seorang dermawan. Sifat kedermawannya itu hanya akan muncul pada waktu-waktu tertentu, seperti kalau ada pemilihan legislatif atau momen lain.

     Dalam ajaran Islam, berbuat baik, misalnya berderma/ bersedakah, meskipun tidak akan batal karena disampaikan (diumumkan) kepada orang banyak secara wajar, akan lebih baik apabila dilakukan secara diam-diam. (Al-Baqarah: 271). Untuk itu, seseorang yang beriman, dalam segala amal ibadahnya, ia hanya terdorong untuk meraih rido atau “wajah” Allah. (Al-Baqarah: 272; dan Al-Insan: 9). Konsekwensi logisnya, manusia yang memiliki keyakinan Tauhid Husuniyyah tidak lagi berada pada tataran meminjam term dalam tasawuf  Takhalli, yaitu mengosongkan dirinya dari perbuatan buruk dan  keji (munkar dan fahsha), tetapi sudah berada pada tataran Tahalli, yaitu mengisi dirinya dengan perbuatan baik dan terpuji (Al-ma‘ruf dan Al-khayr). Akhirnya, manusia yang memiliki keyakinan  Tauhid Husuniyyah berada pada tataran Tajalli. Yaitu tersingkapnya tabir rahasia antara dirinya dengan Allah dalam radiyah-mardiyyah.  Wa Allah ‘alam bi al-Sawab.***


Syukron, Anda telah mengunjungi 

PONDOK M2IQ RIAU


Donwload artikel ini