oleh : Nabila El Chirri
tulisan ini bisa didownload dalam file ms.word :
Akhlak diatas fikih.doc

A.  Pendahuluan
      Syahdan, suatu ketika Hasan al-Banna masuk ke sebuah masjid pada bulan Ramadhan dan menghadapi sekelompok orang yang sedang bertengkar masalah fikih mengenai jumlah rakaat tarawih. Satu kelompok menyatakan bahwa rakaat tarawih berjumlah 11 rakaat, kel`ompok lain menyatakan 23 rakaat. Al-Banna lalu bertanya pada kelompok yang mendukung 11 rakaat: “Menurut kalian, apa hukumnya salat tarawih?”“Sunnah!” jawab mereka. Kepada yang 23 juga ditanya hal sama. Jawabnya: “Sunnah!” Lalu dia bertanya lagi: “Apa hukum bertengkar antara sesama kaum muslimin di masjid?” Semua sepakat menjawab “haram”. Al-Banna lalu menyadarkan mereka, “Mengapa kalian melakukan yang haram demi mempertahankan yang sunnah?”. Penggalan kisah ini merupakan suatu sikap bijaksana seorang Hasan al-Banna dalam mengatasi permasalahan umat.
      Salah satu perkembangan memprihatinkan di masyarakat Islam khususnya Indonesia belakangan ini, adalah makin kuatnya kecenderungan meninggalkan akhlak ketika menghadapi perbedaan dalam paham keagamaan. Hal ini diperparah oleh keadaan dengan munculnya paham keagamaan yang lebih fokus dalam membahas perkara kontraversial fikih daripada pembahasan akhlak sehingga terjadi benturan-benturan sosial pada masyarakat yang sangat mengkhawatirkan.
Salah satu contoh paham atau aliran keagamaan yang cukup fenomenal belakangan ini adalah apa yang disebut dengan Salafi Wahabi. Gagasan utama yang diusung oleh pendirinya,  Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya adalah, bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari jalan Allah yang lurus, dan hanya dengan kembali kepada satu-satunya ajaran agama yang benar. Abdul Wahab hendak membebaskan Islam dari semua perusakan yang diyakini telah menggerogoti agama Islam, diantaranya adalah tasawuf, doktrin perantara (tawassul) (Siradjuddin Abbas, 2008 : 361),  Syi’ah, serta masih banyak praktek lain yang dinilainya sebagai inovasi dari bid’ah.
      Fokusnya aliran ini terhadap kontraversial fikih membuat mereka mendapat peminat yang banyak khususnya orang-orang yang haus akan kebenaran dalam pengamalan ibadah. Doktrin yang ditanamkan bahwa sebaik-baik manusia dalam melaksanakan ibadah harus sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, menjadi bius yang kuat sehingga dimensi akhlak menjadi suatu yang dikesampingkan pada aliran ini. Merasa paling benar, merendahkan pendapat orang lain, menuduh tanpa memahami keadaan kultur masyarakat, menjadi momok yang membahayakan bagi kelangsungan dakwah Islam dan persatuan  umat.
      Bagaimana sepak terjang aliran Salafi Wahabi dalam mengesampingkan dimensi akhlak? Dan bagaimana konsep Islam dalam mendahulukan akhlak di atas fikih? Tulisan ini akan mengurai permasalahan tersebut dan sebagai solusi dalam menghadapi degradasi akhlak sehingga terwujudnya persatuan  umat.
   
B.  Sejarah Perkembangan Salafi Wahabi
      “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di masaku, kemudian yang mengikuti mereka(tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka(tabi’ al-tabi’in)”(Mundziri, Imam, al, 2012: 670). dari hadis ini salaf dimaknai sebagai “generasi tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah”, yakni para sahabat, para tabi’in dan tabi’ al-tab’in. oleh karena itu seorang salafi adalah seorang yang mengikuti ajaran-ajaran sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.
      Dari defenisi di atas, sebenarnya tidak ada yang salah dengan klaim salafi ini. Sebab, setiap muslim tentu mengakui legalitas para sahabat Nabi Saw dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya. Siapapun yang mengaku muslim sedikit banyak memiliki kadar ke”salafi”an dalam dirinya, meskipun pada dasarnya tidak perlu menggembar-gemborkan bahwa ia seorang salafi.
      Sayangnya, akhir-akhir ini istilah salafi ini sudah tercemar. Ada sebagian kelompok(sekte) yang begitu giat melakukan propaganda dan klaim sebagai satu-satunya kelompok salaf, dan menuding kelompok lain tidak mengikuti salaf. Kelompok yang mengaku-aku sebagai salafi ini adalah wahabi. Namun, mereka merasa risih disebut sebagai wahabi. Lalu, mereka berganti baju dengan menyebut dirinya salafi atau terkadang Ahlussunnah, ini semua dikarenakan imej buruk sudah melekat pada “wahabi”. Demikian yang dikemukakan oleh Ramadhan al-Buthi (Syaikh Idahram, 2011: 33-35).
      Semua orang yang mengetahui sejarah Arab pasti sudah mengetahui kemunculan Wahabi yang ditandai dengan pertumpahan darah kaum muslimin dikarenakan ketidak-inginan untuk taqlid terhadap pemahaman mereka. Lalu,Wahabi  melakukan propaganda untuk mempedaya kaum awam dengan ajakan kembali pada “pemahaman salaf”, namun jika dicermati mereka justeru melarang umat islam untuk mengikuti pemahaman salaf seperti imam mazhab yang empat (Hanafi, Malik, Syafi’I dan Ahmad).
      Pembuktian di atas menggambarkan bahwa wahabi bukanlah dari salafi atau pengikut salaf, lebih tepatnya disebut sebagai “salafi wahabi”. Yang diusung oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang berasal dan lahir di Uyainah, Najd, Saudi Arabia sebelah Timur pada tahun (1115-1201 H/1703-1787 M) (Nasir, Sahilun, A, 2012: 288).
   
C. Dakwah Wahabi
      Dakwah merupakan kepentingan setiap umat, guna menyampaikan ajaran-ajaran yang diyakini, setiap aliran atau golongan memiliki metode berdakwah yang berbeda-beda. Allah SWT juga menganjurkan kepada manusia untuk selalu menyeru kepada kebaikan(dakwah). Keharusan berdakwah ini tidak terlepas dari firman Allah SWT :
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿١٠٤﴾
“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”(Q.S. Ali Imran(4) :104)

      Demikian juga dengan wahabi, tentu memiliki metode dakwah yang sudah disepakati oleh kelompok mereka, maka untuk memahami aliran Wahabi ini secara mendalam, kita harus memahami metode atau cara apa sebenarnya yang digunakan oleh kelompok ini dalam menjalankan syi’ar dakwahnya.
      Sebenarnya ada dua metode dakwah salafi wahabi yang sering menjadi sorotan, dalam artian prakteknya sudah menjamur dimana-mana terutama di Arab Saudi, yang nyatanya tidak toleran terhadap umat. Namun, daripada itu  golongan ini tetap memiliki tempat berpijak sebagai dalil syiar mereka. Yang termaktub dalam firmanNya :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿١٢٥﴾
“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(Q.S. Al-Nahl(16) :125)

      Berpijak kepada ayat di atas Salafi Wahabi lebih menampakkan dan mengedepankan mujadalah dibanding mau’izhah dan hasanah, tentu metode seperti ini tidak memiliki keseimbangan dalam berdakwah, yang ternyata malah menimbulkan perpecahan sebab  hanya mengedepankan debat yang ujung-ujungnya menjurus kepada perselisihan umat. Dari sini, dakwah Wahabi dikenal sebagai golongan yang memaksakan kehendaknya, padahal di dalam Islam sendiri kebebasan dalam beragama pun mendapat toleransi, apa lagi hal yang hanya bersifat syariat.
      Kemudian, sifat dakwah yang dominan dilakukannya adalah seakan-akan hanya dia yang mampu memberi hidayah, sedangkan Nabi Saw saja yang sudah jelas tempatnya di sisi Allah Swt tidak bisa memberi hidayah pada pamannya Abu Thalib ketika beliau (pamannya) ingin menghembuskan nafas terakhir (Q. Shaleh, 2009: 402). Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿٥٦
Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”(Q.S. al-Qasas(28):56

   
Dua metode  dakwahnya yang terkesan ngotot serta tidak mempertimbangkan kebaikan dan keburukan yang ditimbulkannya ini haruslah diperbaiki, Wahabi tidak boleh memaksakan kehendaknya begitu saja (Jalaluddin Rakhmat, 1991: 22).
       Pada dasarnya kewenangan manusia dalam berdakwah juga tidak bisa terlepas dari hidayah. Jika Allah Swt memiliki iradah untuk menunjuki seseorang kepada  jalan yang lurus maka, itu merupakan hal yang sangat mudah bagi Allah Swt dan sebaliknya.
Dari pada itu, golongan ini memiliki beberapa materi pokok yang menjadi sentral pembahasan dalam melanggengkan aksi dakwah Wahabi, yang pada akhirnya ditemukan pergeseran nilai-nilai kebenarannya. Materi-materi pokok tersebut meliputi tauhid, tawassul, ziarah kubur, takfir, bid’ah, khurafat, ijtihad, dan taqlid. (Sahilun, 289). Yang dirangkum dalam poin-poin berikut :

a. Tauhid, merupakan ajaran pokok Wahabiyah, yang berbicara tentang keesaan Allah Swt. Seperti yang dipahami oleh umat Islam, tauhid dibagi menjadi tiga bagian: Pertama,  Tauhid al-Rububiyah yakni penegasan keesaan Allah, bahwasanya hanya Allah Swt sang Maha Pencipta alam semesta; Kedua, Tauhid Uluhiyah, menegaskan hanya Allahlah yang berhak disembah; Ketiga, Tauhid al-Asma’ wa al-Sifat (keesaan nama dan sifatnya) yang berhubungan dengan Sifat-sifat Allah Swt. Dari tiga pembagian tauhid tersebut, hanya Tauhid Uluhiyah lah yang dipegang oleh Wahabiyah untuk menjadi tolak ukur kemurnian tauhid umat. Sebab, hanya Allah lah yang wajib dan berhak untuk disembah. Namun, menurut Wahabiyah kebanyakan manusia yang menolaknya (tauhid uluhiyah) dan manusia lebih mengutamakan dua tauhid selebihnya yaitu Tauhid al-Rububiyah dan Tauhid al-Asma’ wa as-Sifat. Dari sinilah Wahabiyah berangkat mengkafirkan manusia yang tidak mengutamakan Tauhid Uluhiyah tersebut.

b. Menafsirkan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi secara tekstual/zahir teks dan literal, dengan meniadakan arti majazi/kiasan. Padahal, di dalam al-Qur’an didapati ayat-ayat yang muhkamat (jelas pengertiannya) dan ayat-ayat mutasyabihat (memerlukan takwil).  Sebagai contoh, di dalam al-Qur’an didapati kata-kata “tangan”
يد الله فوق أيديهم
Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka
Dilihat dari teks ayat di atas, bahwa kata-kata “yad” jika diartikan secara tekstual seperti yang dipahami oleh Wahabiyah berarti “tangan”. Ini menunjukkan bahwa Allah SWT memiliki tangan,  padahal kata “yad” tersebut merupakan ayat mutasyabihat yang jika ditakwil berarti “kekuasaan”. Ini salah satu contoh bahwa ayat-ayat dalam al-Qur’an tidak dapat dipahami hanya dengan cara zahir, sebab jika dipahami secara zahir saja, ini berarti Allah memiliki ruang dan waktu.

c. Penolakan keras terhadap praktik tawassul. Tawassul  adalah menjadikan orang-orang saleh dan suci yang memiliki kedudukan mulia di sisi Allah sebagai perantara untuk membantu terkabulnya permintaan dan doa kepada Allah Swt. Pandangan Wahabi terhadap ajaran ini sebagai perbuatan syirik, sebab mereka beranggapan bahwa itu merupakan sebagai keyakinan akan sekutu bagi Allah Swt. Karena itu, mereka menjatuhkan vonis syirik dan kufur bagi mereka yang bertawassul. Padahal di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa tanpa adanya perantara penghambaan kepada Allah Swt tidak bisa diwujudkan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣٥
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. al-Maidah (5) : 35)

Dalam ayat tersebut terdapat kata  “Wasilah” , yang masing-masing kelompok menafsirkannya dengan sudut pandang  yang berbeda. Wasilah yang dipahami oleh Ahlussunnah adalah menjadikan orang-orang yang saleh sebagai perantara untuk membantu diijabahnya doa atau keinginan mereka. Namun, Wahabi menolak keras terhadap ini, menurut pendapatnya ibadah harus merujuk kepada ucapan dan tindakan secara lahir dan batin yang diperintahkan Allah SWT. Bahwa meminta perlindungan kepada pohon, batu, dan semacamnya adalah syirik, demikian juga dengan praktek tawassul ini, yang mana Wahabi menyamakannya kepada pohon dan batu, sebab Nabi ataupun para Auliya’ tidak bisa memberi petunjuk kepada manusia.   Menurut Quraish Syihab menuliskan dalam Tafsirnya, bahwa kata  “Wasilah” diartikan sebagai sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan menyebut nama Nabi Saw dan para wali(orang-orang yang dekat kepada-Nya), yakni berdoa kepada Allah Swt guna meraih harapan demi Nabi atau para wali yang dicintai Allah Swt (Quraisy Syihab, 2002: 108-109).

Dan menurut K.H sirajuddin Abbas (1970 : 154) dalam bukunya 40 masalah agama bahwa tawassul harus dan sah baik ketika Rasul masih hidup atau sesudah Beliau meninggal, alasannya  agar mempermudah terijabahnya doa oleh Allah Swt sebab, keimanan para Nabi dan Rasul serta para auliya’.
Maka, Ayat di atas telah jelas membolehkan praktik tawassul, dan tiada tempat bagi Wahabiyah untuk menjatuhkan vonis syirik apalagi mengkafirkan.

d. Anti Bid’ah, sebab  menurut Wahabiyah bid’ah adalah sesuatu yang bukan berasal dari Rasulullah Saw. Dan setiap bid’ah itu sesat, mereka beracuan pada hadis Rasululullah:

Artinya : “Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallu ‘Anhu, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal yang baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat-buat yang baru dalam masalah agama. Dan setiap perbuatan baru yang dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat” (HR. Ibnu Majah).

  Wahabi menyalahkan kaum Sunni yang melakukan tradisi tahlilan, ziarah kubur, maulid nabi dan lain sebagainya. Padahal perilaku di atas merupakan sebuah tradisi atau kebiasaan bukan merupakan ibadah. Tradisi baik yang dilakukan kaum Sunni sebagai salah satu metode dakwah, seperti yang dibuktikan oleh para wali songo untuk mengislamkan nusantara.
Demikian sebagian dari metode-metode dakwah Wahabi dengan kedok memurnikan akidah umat, padahal tersebut justeru mendangkalkan akidah umat.

D.  Pentingnya Akhlak di atas Fikih
      Tersebut ada sepenggal kisah tentang Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii. Suatu hari, Imam Syafii salat di Baghdad yang dulunya bernama Kufah. Beliau tidak melaksanakan qunut pada waktu subuh. Lalu orang-orang bertanya: “Kenapa Anda tidak qunut?” Imam Syafii menjawab, “Aku menghormati shahib tilkal maqbarah” (penghuni kuburan di situ). Ketika itu, Imam Abu Hanifah sudah meninggal dunia dan orang di sekitar situ tetap mengikuti pahamnya. Maka, demi menghormati Abu Hanifah, Imam Syafii memutuskan untuk tidak membaca qunut.
      Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah adalah ahli fikih yang masing-masing memiliki pandangan dan pemahaman fikih yang berbeda. Kisah tersebut di atas mengkisahkan bahwa seorang Imam syafi’I memiliki sikap toleran dengan tidak membaca doa qunut demi menghormati Abu Hanifah.  Meskipun  di hadapan beliau saat itu hanyalah makam. Ini merupakan satu contoh keteladanan akhlak lebih tinggi di atas fikih. Terbukti Imam besar pada bidang fikih sendiri pun lebih meninggikan akhlak.
      Realita yang terjadi saat ini adalah satu golongan selalu merasa yakin bahwa fikih yang dianut itulah yang dirasa paling benar dan fikih orang lain dianggap keliru. Padahal pada dasarnya semua fikih memungkinkan adanya kesalahan. Ungkapan ini dipinjam dari ucapan seorang  ulama “ra’yî shawâb wa yahtamilul khata’ ” (pendapat saya benar, tapi memungkinkan adanya kesalahan). Hal ini bisa dilihat pada golongan Wahabi yang merasa paling benar, gerakan yang memprioritaskan fikih. Contoh kecilnya, adanya penolakan Wahabi terhadap praktik tawassul, ibadah
yang selalu dianggap membawa kepada syirik dan kekufuran. Seperti adanya kecaman keras ziarah  ke kuburan serta adanya bangunan kubah hijau (al-qubbatul khadra’) di kuburan seperti kuburan Rasulullah. Yang pada awalnya, Muhammad bin Abdul Wahab membolehkan berkunjung ke kuburan, dengan syarat dilakukan sesuai dengan ajaran Islam. Namun ketika ia melihat banyak umat Islam berziarah sambil bertawassul, mengambil berkah dari kuburan para nabi dan orang shaleh, akhirnya diharamkan ziarah kubur tersebut. Ia  berpendapat, seluruh makam yang dianggap “suci” tersebut harus diratakan bahkan makam Rasulullah sendiripun hendak diratakan, namun niat itu diurungkan oleh pihak internasional karena Wahabi dikecam dan diancam (Siradjuddin Abbas, 2008: 374-375).
      Ini merupakan satu kasus kesalahan Wahabi dalam memahami posisi fikih sehingga menghilangkan nilai-nilai etika dalam hubungan sosial antar makhluk. Padahal syari’at telah mengajarkan  di samping mengatur hubungan baik dengan Allah Swt, hubungan baik dengan manusia juga harus diperhatikan, sehingga tidak sampai terjadi pertikaian dan perpecahan umat (Yunahar Ilyas, 1999 : 12). Firman Allah Swt tentang ini :
  
       Artinya : dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Q.S. al-Maidah(6) : 153)
     
     
       Seperti tersebut dalam kitab Ihya `Ulumiddin, berkisah tentang seseorang perempuan  yang sangat rajin beribadah. Dalam satu hadis disebutkan datanglah seseorang melapor kepada Rasulullah “Inna fulanah tashumun nahara wa taqumul laila walakin tu’dzi jiranaha bilisaniha” (ada seorang yang rajin puasa siang dan salat malam, tapi suka menyakiti tetangga dengan lidahnya). Apa kata Rasulullah? “Hiya fin nar” (dia di neraka) (Ghazali, Imam al, 1998: 588). Kemudian, dalam satu perbincangan membahas perihal mana lebih diutamakan seorang yang memiliki akhlak yang baik namun salatnya buruk dan salatnya baik namun akhlaknya buruk, mereka sepakat bahwa akhlak yang bagus lebih diutamakan walaupun salatnya buruk. Demikian juga pada ibadah lainnya, seperti haji, sekalipun haji dijalankan sebaik-baiknya dan mungkin dilaksanakan setiap tahun, namun jika di dalam pelaksanaannya ada rafats (berkata kotor), fusuq (berbuat maksiat), dan jidal (bertengkar), maka hajinya akan dipandang rusak sampai ia membayar dam. Hal ini disyariatkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّـهُ ۗوَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ ﴿١٩٧
“ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.”(Q.S. Al-Baqarah(2) :197)

      Pelaksanaan sedekah disusul dengan ucapan yang menyakitkan hati yang menerimanya , maka sedekahnya akan batal. Dalam al-Qur’an diterangkan,
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّـهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٢٦٢
“orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima)”.(Q.S. Al-Baqarah(2) : 262)

      Dikisahkan terjadinya dialog antara nabi Yahya dan Iblis berbicara tentang keimanan seorang manusia, nabi Yahya bertanya kepada iblis apa yang paling disukai dan yang paling dibenci dari manusia, lalu iblis menjawab, "Orang mukmin yang paling aku sukai adalah orang mukmin yang bakhil. Sedangkan orang mukmin yang paling aku benci adalah orang mukmin yang fasik (rusak amalny) tetapi dermawan.". Dialog di atas menggambarkan bahwa akhlak seseorang lebih utama ketimbang amalannya yang boleh dikatakan sangat baik, sebab seorang mukmin yang taat akan tetapi kikir(bakhil) lebih berpotensi untuk digoda ketimbang mukmin yang tidak taat namun tidak kikir. Ini berarti akhlak jauh sangat tinggi derajatnya di atas ibadah, sebab sasaran akhir Islam adalah akhlak, jika seseorang tidak melaksanakannya berarti ia telah melupakan sasaran akhir tersebut. Dalam hadis Rasulullah juga disebutkan, “ Sesungguhnya Aku diutus kepadamu untuk menyempurnakan akhlak” (Lihat, Sunan Baihaqy al-Kubra, 21301: 191).
      Dari sekian banyak contoh perilaku fikih yakni shalat, puasa, haji dan sedekah seperti telah jelas di atas, semua ungkapan dan maknanya bermuara kepada pembentukan akhlak. Rasulullah juga bersabda dalam hadisnya, dari Anas: Nabi Saw bersabda : “ Sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat tinggi di hari akhirat dan kedudukan yang mulia karena akhlaknya yang baik walaupun ia lemah dalam ibadah”. (H.R al-Thabrani, al-Targhib 3:404).
      Imam as-Syatibi (wafat 790 h) yang mempelopori kajian maqasid sariah (tujuan syarak) secara sistematik, di dalamnya juga dituliskan prinsip yang mengaitkan fikih dengan akhlak. Hukum fikih tidak boleh dirumuskan apabila melanggar lima prinsip utama kemaslahatan (al-mashalih al-dharuriyyah), al-muwafaqat jil 1 pengantar awal as syatibi, yaitu (as-syatibi, 1997.1)

  1.  Memelihara agama, tidak boleh ada ketetapan fikih jika dapat merusak keagamaan seseorang.
  2. Memelihara jiwa, tidak boleh jika mengganggu jiwa orang lain atau menyebabkan orang lain menderita.
  3. Memelihara akal, tidak boleh jika mengganggu akal sehat, menghambat perkembangan pengetahuan atau membatasi kebebasan berpikir.
  4. Memelihara keluarga, tidak boleh jika berpotensi merusak hubungan kekeluargaan, seperti hubungan orangtua dan anak.
  5. Memelihara harta, tidak boleh jika menimbulkan kerusuhan seperti merampas kekayaan tanpa hak.

      Prinsip-prinsip di atas seharusnya mampu menjadi tolok ukur individu ataupun satu golongan seperti Wahabi untuk menjaga hubungan  baik mereka dengan golongan lain yang berbeda ajaran, tidak perlu saling menjatuhkan sehingga menghantarkan manusia pada kedamaian.

E.  Akhlak untuk Persatuan Umat
      Lama setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, orang bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah Saw,  “ akhlak beliau adalah al-Qur’an”. Ketika orang itu mendesak Aisyah, “ apa yang dimaksud dengan akhlak Rasulullah itu al-Qur’an?”. Aisyah menjawab, “ tidakkah kamu baca surah al-Mu’minun”. Versi lainnya, surah al-Hujurat. Jika ditelaah pada surah al-Mu’minun ayat 1-11, dalam kandungannya dirangkum perintah untuk salat, menjauhkan diri dari hal yang tidak berguna, menunaikan zakat, memelihara kehormatan dan amanah. Adapun dalam surah al-Hujurat ayat 1-12 diperintahkan, untuk bertakwa pada Allah dan Rasul-Nya, larangan meninggikan suara, perintah untuk bersabar, tidak ceroboh dalam menerima informasi sehingga tidak mencelakakan umat manusia, jika ada dua orang yang bertengkar maka damaikanlah sebab mukmin itu bersaudara, larangan mengolok-olok satu kaum dan memanggil dengan gelar yang buruk, larangan banyak prasangka, tidak mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak menggunjing.
      Jika diperhatikan, kandungan yang terdapat dalam surah al-Mu’minun ayat 1-11 intinya untuk kepribadian manusia, yakni mendidik mukmin supaya menjadi pribadi yang sukses. Adapun dalam surah al-Hujurat 1-12 diindikasikan untuk masyarakat, yakni untuk  membangun Negara yang berakhlak dan ideal maka akhlak masyarakat pun harus dibenahi. Demikianlah, kedua surah tersebut menjelaskan kepribadian Rasulullah yang seperti al-Qur’an itu.
Pada dasarnya seluruh ajaran yang ada dalam al-Qur’an adalah akhlak. Di dalam al-Qur’an banyak dikisahkan tarikh dari umat terdahulu. Ketika al-Qur’an berbicara tentang Fir’aun, misalnya ia dilukiskan sebagai simbol tiran yang berakhlak buruk.
 “Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”.(Q.S. al-Qashas( ):4)

Kemudian, ketika al-Qur’an menceritakan hari akhirat, penghuni surga dan penghuni neraka diceritakan lebih banyak dari segi akhlaknya di dunia.

 “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.”(Q.S. al-Shaff( ): 15-17)

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?", mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan Kami tidak (pula) memberi Makan orang miskin, dan adalah Kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya”. (Q.S. al-Mudatsir ( ): 42)

Kemudian, ada ikhtilaf di kalangan para ulama tentang jumlah ayat-ayat hukum dalam al-Quran. Mulai dari ratusan ayat sampai kepada puluh ayat saja. Barangkali satu-satunya ayat yang jelas-jelas mengajarkan fikih adalah ayat tentang wudlu
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”(Q.S. al-Maidah( ) :6)

      Hampir tidak ada perincian fikih di dalam al-Quran. Yang paling menarik adalah kenyataan bahwa ayat-ayat tentang fikih selalu dihubungkan dengan akhlak. Salat dalam defenisi Al-Quran adalah sesuatu yang dapat mencegah kekejian dan kemungkaran.
 “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. al-Ankabut( ) : 45)




      Puasa diwajibkan untuk melatih orang agar menjadi manusia yang bertakwa
 “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Q.S. al-Baqarah(2) : 183)

      Haji harus dilakukan dengan memelihara akhlak, barang siapa yang melakukan kewajiban haji, maka hendaklah dia tidak berkata kotor, tidak melakukan kefasikan dan tidak bertengkar pada waktu haji(Qs. Al-Baqarah: 197) . zakat menjadi sia-sia bila diikuti dengan kecaman dan kata-kata yang melukai hati: hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekah-mu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. (Qs. Al-Baqarah: 264).
Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam salah satu tulisannya menyatakan, bahwa ilmu fikih yang ada dimaksudkan untuk memelihara keutamaan, budi pekerti luhur, dan akhlak yang mulia. Dan ibadah disyariatkan untuk membersihkan diri, menyucikannya, dan menjauhkannya dari kemungkaran. Riba diharamkan untuk menyebarkan semangat saling membantu dan saling mencintai di antara sesama manusia, serta memelihara orang-orang yang kekurangan dari kerakusan pemilik harta. Menipu, berkhianat, melanggar janji, memakan harga dengan batil, dan hal-hal lainnya yang dapat merusak kesepakatan dilarang demi menyebarkan kasih sayang, meneguhkan kepercayaan, mencegah pertengkaran, mengangkat diri dari kotoran materi dan memuliakan hak orang lain (Jalaluddin Rakhmat, 2002: 152).
Dalam hal itu, maka jika agama dan akhlak dapat saling memperkukuh satu sama lain, terciptalan kesejahteraan individu dan masyarakat sekaligus. Dengan itu, juga dirintis jalan keabadian nikmat di alam akhirat. Kerinduan akan keabadian adalah cita-cita umat manusia sejak dahulu. Karena itu, tujuan akhir dari fikih adalah kebaikan manusia yang sebenarnya dan kebahagiaannya di dunia dan akhirat (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 1 : 22-23).


F. Kesimpulan
      Kenyataan saat ini yang cukup fenomenal adalah perkara kontraversial fikih di kalangan manusia yang haus akan ilmu keagamaan, khususnya masyarakat Indonesia. Ditandai dengan berbagai macam paham atau aliran, seperti Ahlussunnah, Syi’ah, Ahmadiyah dan lain sebagainya yang masing-masing memiliki metode berbeda dalam  berdakwah.
      Salah satu aliran yang memiliki metode “anti bid’ah” adalah Wahabi, diketuai oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Yang mengaku-ngaku bahwa diri mereka sama dengan Salafi, mengaku bahwa golongan mereka lah yang benar, mencari-cari kesalahan orang lain dan golongan lain seperti Ahlussunnah dkk merupakan golongan sesat (Al-Husaini, Khalaf Muhammad, 2002: 142). Alasannya, perilaku fikih golongan lain adalah salah, seperti bertawassul, ziarah, tahililan dan semacamnya sehingga menghalalkan segala cara baik dengan tindak kekerasan sampai kepada pembunuhan demi memberantas inovasi dari bid’ah yang mereka yakini itu, padahal Rasul tidak pernah mengajarkan hal seperti itu.
      Ini jelas-jelas merupakan satu bentuk kesalahan fatal dalam membangun Islam. Padahal Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan kecuali dalam peperangan dan pelaksanaan rajam bagi pezina, bahkan dalam memilih agama pun Allah Swt tidak pernah memaksa. Ini berarti Allah Swt mengajarkan manusia untuk saling-menghargai satu sama lain, dengan cara memperhatikan kemaslahatan umat daripada fikih yang bisa-bisa saja berbeda dalam setiap aliran. Dari itu tidak wajar seseorang mengucilkan kelompok lain, tidak pula baik berprasangka buruk tanpa alasan, atau menceritakan keburukan seseorang dan menyapa dengan sebutan yang buruk(baca al-Hujurat(49) : 11-12) (Quraisy Syihab, 1996: 356). Pada dasarnya semua ijtihad fikih merupakan upaya nalar yang maksimal dalam mencari kebenaran hukum. Atas setiap upaya yang dilakuakn setiap golongan diberikan apresiasi berupa pahala satu poin, dan bagi yang bersesuaian dengan kebenaran di sisi Allah layak diberikan satu poin pahala lagi sebagai reward kesesuaian hukum. Maka, tiada kata perpecahan dalam menetapkan satu hukum karena manusia memang diciptakan oleh Allah dengan bentuk yang berbeda baik budaya, suku dan bangsa, namun tetap satu tempat muara yaitu tauhid atau Allah Swt (Surahman Hidayat, 2007: 143).
      Dari itu, salah satu cara untuk menjawab persoalan ini adalah tinggalkan fikih demi persaudaraan dan memandang benar pada   mazhab, maka tentu tidak akan sulit meninggalkan fikih demi persaudaraan di antara kaum muslimin. Dan boleh-boleh saja menganggap pendapat yang ada pada dirinya lebih kuat dari yang lain, tetapi ketika mengamalkannnya ikutilah yang lazim di tengah-tengah masyarakat dengan belajar dari teladan Nabi Saw dan para sahabatnya yang selalu dihiasi dengan akhlakul karimah. Wallahu a’lam.



JAKARTA, Susanto al-Yamin kembali menorehkan prestasinya di tingkat nasional. Kali ini ia berhasil meraih posisi terbaik 2 dalam seleksi Pemuda Pelopor Nasional 2014 bidang pendidikan yang ditaja oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia.

Prestasi ini diraihnya setelah berhasil melewati beberapa tahap seleksi yang ketat. Mulai dari seleksi tingkat Provinsi, Seleksi Tim Fact Finding Nasional, hingga seleksi akhir di Jakarta pada tanggal 20-22 Oktober 2014 lalu.

Kepeloporan Susanto bergerak dalam bidang pendidikan. Salah satu kepeloporannya adalah Pondok M2IQ Riau. Melalui program Pondok M2IQ, Susanto aktif memberikan pelatihan menulis gratis kepada generasi muda, memberikan pembinaan keagamaan bagi masyarakat pedesaan, dan training motivasi kepada anak-anak di beberapa desa. Selain itu, Susanto juga aktif sebagai Muballigh sejak masih berstatus pelajar.
“Alhamdulillah saya bersyukur atas prestasi ini, dan mengucapkan terima kasih kepada Dispora Riau, guru-guru saya, pengurus dan binaan Pondok M2IQ Riau, sahabat-sahabat seperjuangan, dan seluruh masyarakat Riau. Mudah-mudahan prestasi ini menjadi motivasi bagi pemuda lainnya”, demikian ujar da’i muda asal Kubu Babussalam ini.

Menurut Alimuddin, salah seorang tenaga pengajar di UIN Suska Riau, Kepeloporan Susanto terlihat dengan nyata pada pendirian Pondok M2IQ Riau. Dengan keterbatasan dana yang ada, tetapi dengan tekad dan keikhlasan, Susanto tetap melaksanakan sejumlah kegiatan. “Susanto juga memiliki kemampuan untuk mempresentasikan, menyampaikan gagasannya dengan baik. Artinya, Susanto selain “tajam” penanya, juga “fasih” lidahnya, demikian tambah Hakim M2IQ Provinsi Riau ini.

Atas prestasinya itu, Susanto akan menerima penghargaan yang akan diserahkan pada acara puncak Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-86 di Yogyakarta (Humas).

Oleh : Susanto Al-Yamin*
*Penulis adalah Pimpinan Pondok M2IQ Riau.

      “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah”, demikian firman Allah Swt dalam surat al-Kautsar/108: 1-2. Salah satu pesan penting dalam ayat ini adalah tentang perintah berkurban. Dalam kajian fikih, kurban merupakan ritual keagamaan dengan menyembelih hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu dan pada waktu tertentu, yaitu sejak 10 sampai 13 Dzulhijjah dalam rangka mendakatkan diri kepada Allah Swt.

     
      Jika dikaji lebih lanjut, ibadah kurban memiliki dua dimensi makna yang bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, ibadah kurban merupakan upaya pendekatan diri paling puncak antara seorang hamba dengan sang khaliq, Allah Swt. Ibadah kurban dalam makna vertikal tecermin pada keikhlasan shahibul Kurban (orang yang berqurban) dalam menyembelih hewan Kurban tanpa mengharap imbalan apa pun, kecuali ridho Allah Swt.
     
      Keikhlasan ini tidak cukup hanya bermodal niat tetapi juga realisasi dalam bentuk hewan kurban yang diharuskan tidak boleh cacat. Artinya, keikhlasan dalam berkurban di sini tidak karena mengikhlaskan barang yang sudah tiada manfaat baginya tetapi mengikhlaskan harta yang sebenarnya masih dicintainya (QS Ali Imran/3: 92). Hal ini dilakukan karena kecintaan kepada Tuhan lebih besar melebihi dunia seisinya.
     
      Dalam catatan sejarah, Qabil dan Habil, kedua putara nabi Adam, telah mempersembahkan kurban kepada Allah Swt (QS. Al-Maidah/5: 27). Konon, Habil mempersembahkan domba terbaik yang dimilikinya, sedangkan Qabil mempersembahkan tumbuh-tumbuhan yang tidak sempurna. Sehingga, kurban Habil diterima oleh Allah Swt, sedangkan kurban Qabil ditolak. Hal ini dikarenakan kerena kurban yang dipersembahkan Qabil tidak sempurna dan tidak ikhlas.
     
      Nabi Ibrahim juga telah memberikan teladan kepada kita dalam berkurban. Ia rela menyembelih putra tercintanya demi memenuhi panggilan Allah Swt. Sehingga, karena keikhlasan dan ketaatan nabi Ibrahim, Allah Swt menebus sang anak, Ismail Alaihissalam, dengan domba yang besar (QS. Al-Shaffat/37: 102-103), dan kemudian Allah Swt mengangkat derajat mereka menjadi hamba yang mulia.
     
      Ibadah Kurban di samping memiliki makna vertikal untuk menjadikan seseorang shaleh secara ritual juga memiliki makna horizontal yang diharapkan mampu menjdikan seseorang shaleh secara sosial. Artinya, berkurban selain sebagai wujud ketundukan diri kepada Sang Pencipta (keshalehan ritual) juga ditindaklanjuti dengan peningkatan solidaritas sosial (keshalehan sosial) para pelaku kurban. Perintah kurban bukan sekadar amal tanpa implikasi sosial yang jelas, melainkan sungguh suatu upaya menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Karena kurban menuntut manusia untuk dapat memetik nilai-nilai luhur kepedulian terhadap sesama dan merealisasikannya dalam kehidupan nyata.
     
      Kurban mengajarkan manusia untuk rela berkorban dan saling berbagi. Jangan sampai sifat-sifat buruk seperti pelit, kikir, tamak, dan serakah terus menjadi sifat dalam berkehidupan sosial. Sifat-sifat tersebut harus diganti dengan sifat-sifat rela berkorban, seperti; membantu fakir miskin, korban bencana, menyantuni anak yatim, dan sebagainya. Sifat-sifat rela berkorban untuk kelangsungan hidup bersama menjadi bagian penting dari pendidikan ibadah kurban.
     
      Sejatinya ibadah kurban adalah perintah Allah Swt untuk berkorban di jalan-Nya dengan menyembelih sifat egois,  mementingkan diri sendiri, rakus dan  serakah, kemudian dibarengi dengan kecintaan kepada Allah Swt yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas dan kerja-kerja sosial. Ibadah kurban mengajarkan kita untuk menolak segala bentuk egoisme dan keserakahan. Karena kedua sifat itu hanya akan merampas hak dan kepentingan kaum dhuafa (lemah) dan mustadh'afin (dilemahkan). Di sisi lain ibadah kurban dapat menjadi solusi terhadap berbagai bentuk ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang masih mewarnai negeri ini.
     
      Perintah berkurban bagi mereka yang diberi kelebihan rizki dan membagikan dagingnya untuk kaum miskin, mengandung pesan untuk berkorban harta, jiwa dan raga. Semangat menyembelih hewan kurban yang dagingnya dibagikan kepada kaum fuqara dan masakin (fakir dan miskin), jelas dimaksudkan agar terjadi solidaritas dan tolong-menolong antar anggota masyarakat. Yang kaya menolong yang miskin dan begitu juga sebaliknya. Sikap solidaritas ini diharapkan akan mengurangi kesenjangan sosial dan kondusif bagi pemberdayaan masyarakat.
     
      Dalam konteks kekinian, substansi kurban dapat direalisasikan dengan memberikan bantuan kepada kaum fakir dan miskin, anak yatim, anak jalanan, umat Islam yang sedang dijajah di Palestina dan umat Islam lainnya yang masih tertindas, para korban bencana seperti korban banjir, gempa bumi dan korban bencana alam lainnya. Memberikan sumbangan dalam bentuk apa pun, sesuai dengan kemampuan masing-masing, akan sangat besar manfaatnya.
     
      Selain itu, umat Islam dituntut untuk mengorbankan sebagian hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Karena tak sedikit dari mereka yang tidak memiliki tempat tinggal layak huni. Kemiskinan dan penindasan telah memaksa mereka untuk tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit, serta harus meminta-minta demi sesuap nasi. Untuk itu, perlu pengorbanan dari para aghniya’ (orang kaya) terhadap mereka yang membutuhkan. Karena dalam harta orang kaya itu ada hak kaum yang membutuhkan (QS Az-Zariat/51: 19, lihat juga QS al-Ma’arij/70: 24-24).
     
      Nah, di sinilah substansi Kurban mesti diterapkan. Jangan sampai dalam agama Islam, terdapat ajaran berkurban dan diikuti banyak kaum Muslimin namun mereka tidak bisa memetik makna di dalamnya. Jika pada hari raya Idul Adha, banyak umat Islam yang rela berkurban, namun setelah Idul Adha berakhir, mereka seolah menutup mata atas persoalan sosial umat Islam.
     
      Karena itu, jika ibadah kurban pada hari raya Idul Adha adalah sarana tarbiyah (pendidikan) dan latihan berkurban, maka pemberian bantuan kepada fakir miskin, korban bencana dan orang-orang yang membutuhkan adalah hasil dari tarbiyah dan latihan tersebut. Kurban adalah salah satu suri teladan sikap rela berkorban dalam kehidupan nyata. Dalam berkurban, seorang Muslim yang mempunyai kekayaan disunahkan mengikhlaskan sebagian hartanya, dimanfaatkan untuk saudaranya yang membutuhkan. Hanya saja, bentuknya ditentukan sebagaimana dalam syarat dan rukun kurban. Dalam kehidupan nyata, seorang yang kaya semestinya menyedekahkan sebagian harta untuk kelangsungan hidup saudaranya yang membutuhkan.
     
      Meskipun ibadah kurban hanya ada sekali dalam setahun, namun semangat berkurban tersebut seharusnya tidak  hanya lahir ketika Idul Qurban saja. Semangat berkurban harus terus-menerus hidup dalam diri kita walau di luar Idul Qurban. Semangat berkorban yang merupakan substansi ibadah kurban itu tidak harus berbentuk penyembelihan hewan. Ia dapat berupa apa saja yang bisa mendorong terwujudnya masyarakat yang sejahtera.
     
      Semoga dengan pelaksanaan ibadah kurban tahun ini, akan muncul semangat berkorban di masyarakat, apalagi pemerintah. Semangat berkorban ini sangat penting artinya dalam membangun masa depan bangsa dan negara ke arah yang lebih maju, lebih baik dan lebih sejahtera. Pemaknaan seperti inilah yang akan menemukan relevansinya dengan kondisi bangsa kita yang sedang didera banyak derita, bencana dan krisis di berbagai sektor. Semoga ibadah kurban kita semua menjadi ibadah yang hakiki baik dalam konteks ritual maupun sosial. Wallahu A’lam.
     
Sumber : Riau Pos
Oleh : Susanto Al-Yamin
* Penulis adalah Guru Aqidah dan Tafsir Hadits di Al-Ihsan Boarding School (IBS), Riau.

      Pekan ini, helat akbar Ujian Nasional tingkat SMP sederajat kembali digelar oleh Pemerintah. Pelaksanaan helat akbar tahunan ini hampir tidak pernah sepi dari masalah hingga menuai kontroversi. Banyak hal yang dipersoalkan terkait pelaksanaan Ujian Nasional ini. Mulai dari substansinya sebagai salah satu faktor penentu kelulusan peserta didik, isu kebocoran soal, penyebaran kunci jawaban, kecurangan dan lain sebagainya.
     
      Sebenarnya, Ujian Nasional dengan berbagai macam namanya, mulai dari Evaluasi Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), Ujian Akhir Nasional (UAN), dan sekarang Ujian Nasional (UN), sudah sejak lama dilaksanakan. Ujian Nasional telah dijadikan sebagai alat ukur yang digunakan oleh pemerintah untuk menilai keberhasilan proses belajar mengajar secara nasional.
     
      Sejak dijadikan sebagai penentu kelulusan, Ujian Nasional benar-benar menjadi momok yang menakutkan. Bagaimana tidak, keberhasilan pendidikan yang telah ditempuh selama tiga tahun, hanya ditentukan oleh Ujian Nasional yang hanya dilaksanakan beberapa hari saja. Ketakutan dan kekhawatiran itu, tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi kepala sekolah, kepala dinas, hingga kepala daerah. Hal ini terjadi karena keberhasilan UN yang dilihat dari tingkat kelulusan peserta didik di suatu sekolah atau daerah akan berpengaruh dalam meningkatkan gengsi sekolah atau daerah tersebut. Disadari atau tidak, kondisi ini secara otomatis telah menjadi faktor penting yang pendorong munculnya berbagai tindak kecurangan dan ketidakjujuran dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Mulai dari nyontek berjamaah, guru dan kepala sekolah yang menyebarkan kunci jawaban, jual beli kunci jawaban, dan sebagainya.
     
      Kejujuran sepertinya telah menjadi barang langka dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Lihat saja misalnya, kasus contek massal yang pernah terungkap. Kisah dramatis Alif dan ibunya. Alif dan ibunya diusir dari kampungnya karena tidak setuju dengan kecurangan itu. Untuk menyukseskan praktik mencontek itu, wali kelas Alif sempat melakukan simulasi, sehingga masing-masing siswa sudah tahu perannya masing-masing dalam aksi contek massal tersebut.
     
      Itu hanya sekelumit kisah kebohongan yang pernah terungkap. Mungkin masih banyak kebohongan lain yang terjadi dalam pelaksanaan Ujian Nasional di negeri ini. Inilah potret pendidikan kita. Masih jauh dari nilai-nilai kejujuran. Hal ini telah merusak wajah dunia pendidikan di negeri ini. Pendidikan yang seyogyanya berfungsi sebagai institusi yang berperan dalam membangun generasi bangsa secara fisik dan mental, sepertinya telah gagal. Sayangnya, kegagalan ini justru terjadi karena ulah dari para pelaku pendidikan itu sendiri. Jika hasil Ujian Nasional diperoleh dari perbuatan yang tidak jujur, maka bagaimana mungkin bisa digunakan sebagai alat ukur kualitas pendidikan negeri ini.
     
      Kita memang boleh berbangga dengan perolehan nilai akademik anak negeri ini. Kita juga boleh berbangga dengan banyaknya sekolah yang mampu meluluskan siswanya seratus persen. Tapi, pernahkah kita bertanya, sudahkah anak negeri ini dan para gurunya telah lulus ujian kejujuran? Bukankah kejujuran salah satu karakter terpuji yang akan kita tanamkan kepada anak didik kita? Bukankah mencetak generasi yang jujur merupakan salah satu cita-cita luhur pendidikan kita?
     
      Ya, kejujuran merupakan sifat terpuji yang akan melahirkan kebaikan-kebaikan lainnya. Namun sebaliknya, kebohongan merupakan sumber kejahatan. Kejujuran merupakan mutiara yang senantiasa memancarkan cahaya kebenaran di setiap ruang dan waktu. Setiap orang yang menghiasi dirinya dengan kejujuran pasti akan terlihat indah dan menawan.
     
      Ketika mutiara kejujuran telah tertanam dalam diri seseorang, maka ia akan memancarkan cahaya kebaikan. Karena kejujuran merupakan sumber segala kebaikan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah Saw "Hendaklah kamu berlaku jujur, kerena sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan membawa ke surga. Dan seseorang yang bersifat jujur dan menjaqa kejujuran, maka ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur… (Shahih Muslim, Bab Qabhu al-Kadzib wa Husnu al-Sidq wa Fadlh, hadits no. 4721).
     
      Namun sayang, kejujuran seakan menjadi barang langka untuk ditemui. Sebaliknya, kebohongan terjadi di mana-mana, mulai dari lembaga pendidikan sampai pada lembaga pemerintahan. Kebohongan telah dijadikan benteng pembelaan diri dari kesalahan dan kekurangan.
     
      Tatkala kejujuran telah hilang dan sulit ditemukan lagi, maka kebenaran akan semakin sulit dirasakan. Padahal, pada saat seseorang menyembunyikan kebenaran dengan memunculkan kepalsuan yang dibalut dengan rekayasa dan tipu daya, pada waktu bersamaan mereka telah membohongi hatinya. Sebab, kebenaran tak bisa ditutupi dari hati setiap manusia.
      Oleh karena itu, bangsa ini memerlukan sistim pendidikan yang mendorong penyelenggara pendidikan dan peserta didiknya untuk berlaku jujur. Sebenarnya, sejauh ini pemerintah telah menggagas dan mulai menerapkan pendidikan karakter di Sekolah. Namun pendidikan karakter dalam diri peserta didik yang dilakukan melalui pendidikan karakter dan sejumlah mata pelajaran lainnya, masih tetap dilingkupi oleh permasalahan pelik, formalitas. Sebagai proses penanaman nilai, pendidikan karakter terjebak dalam kedangkalan, normatif, dan formalitas, serta mengabaikan subtansi, kedalaman, pemaknaan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.
     
      Karenanya, menurut hemat penulis, diperlukan pendidikan karakter yang tidak hanya terbatas pada pendidikan formalitas di sekolah. Melainkan pendidikan karakter yang berorientasi pada penghayatan dan pengamalan. Penanaman karakter dalam pendidikan hendaknya tidak hanya berorientasi pada kecerdasan kognitif, melainkan harus menyentuh segala aspek kecerdasan siswa yaitu, afektif, kognitif dan psikomor. Karena manusia yang dididik adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika. Sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, Jasmani dan rohani, ilmu dan tingkah laku (M. Quraish Shihab, 1994: 173).
     
      Karena itu, untuk mensukseskan pendidikan karakter bagi generasi muda bangsa ini, diperlukan sistim pendidikan yang integral (menyatu) dan holistik (menyeluruh), baik dari segi meteri pembelajaran, proeses pembelajaran, maupun evaluasi pembelajarannya. Pelaksanaan evaluasi pembelajaran dan sistim penilaian hasil belajar siswa hendaknya tidak hanya dilihat dari kecerdasan kognitif saja, malainkan semua aspek, khususnya kejujuran.
     
      Sejauh ini, dalam praktek pendidikan kita lebih mementingkan aspek kognitif saja. Kriteria kelulusan siswa sebagian besar dilihat dari nilai akademiknya tanpa memperhatikan karakter terpujinya. Bayangkan saja, pendidikan yang mereka tempuh selama tiga tahun, sangat ditentukan oleh ujian tulis selama empat hari. Singkatnya, jika sistim pendidikan kita masih karut-marut seperti ini, maka ujian nasional yang digelar tidak akan mampu menumbuhkan karakter terpuji dalam diri generasi muda bangsa ini. Bahkan sebaliknya, mendorong kepala sekolah, guru, dan siswa untuk berbohong dan berlaku curang. Akhirnya penulis mengucapkan selamat menempuh ujian kejujuran. Semoga sukses. Wallahu A’lam.

Sumber : Riau Pos
Oleh : Susanto Al-Yamin
* Penulis adalah Pimpinan Pondok M2IQ Riau
     
     
Dalam beberapa pekan terakhir ini, kita dikejutkan oleh pristiwa tragis yang menimpa generasi muda bangsa. Aksi tawuran semakin marak terjadi. Pada hari Kamis (11/10/2012) kemaren, tawuran antar mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) kembali terjadi di Kampus UNM, Parangtambung, Makassar. Tawuran ini menyebabkan dua orang mahasiswa meninggal dunia (www.tribunnews.com). Sebelumnya, seorang pelajar, Deny Januar dari SMA Yayasan Karya meregang nyawa akibat pengeroyokan dalam tawuran pelajar yang terjadi di Jalan Minangkabau, Manggarai, Jakarta Selatan, Rabu (29/9/2012). Tak selang dari sepekan sebelumnya, Alawi Yusianto Putra, siswa SMA 6 Jakarta juga meninggal akibat tawuran dengan puluhan siswa dari SMA 70 yang lokasi sekolahnya tak jauh dari SMA 6 (www.tempo.com).

      Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, pada tahun 2011 tawuran pelajar mencapai 339 kasus dan korban tewas 82 orang. Jumlah ini meningkat 165 persen dari 128 kasus pada tahun sebelumnya. Tingginya kasus tawuran di kalangan pelajar dan mahasiswa merupakan "PR" bagi dunia pendidikan kita, baik formal maupun non formal.
     
      Kasus tawuran yang terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa merupakan akibat dari krisis karakter yang telah lama menimpa anak bangsa. Krisis karakter yang menimpa anak bangsa ini berdampak buruk. Selain berdampak menimbulkan tindakan kekerasan, krisis karakter juga menjadikan mereka sebagai generasi yang linglung dalam kontestasi pergaulan global, krisis karakter juga menjadi “kanker” dalam pertumbuhan dan perkembangan mentalnya. Untuk itu diperlukan upaya yang serius untuk merekonstruksi karakter anak bangsa.
     
      Untuk menjawab permasalahan tersebut, pemerintah telah menggagas dan mulai menerapkan pendidikan karakter di Sekolah. Bahkan pemerintah kembali memasukkan pelajaran PPKN pada tahun depan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah (www.jppn.com). Namun pendidikan karakter dalam diri peserta didik yang dilakukan melalui pendidikan karakter dan sejumlah mata pelajaran lainnya, masih tetap dilingkupi oleh permasalahan pelik, formalitas. Sebagai proses penanaman nilai, pendidikan karakter terjebak dalam kedangkalan, normatif, dan formalitas, serta mengabaikan subtansi, kedalaman, pemaknaan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.
      Karenanya, menurut hemat penulis, diperlukan pendidikan karakter anti kekerasan yang tidak hanya terbatas pada pendidikan formalitas di sekolah. Melainkan pendidikan karakter yang berorientasi pada penghayatan dan pengamalan. Pendidikan karakter anti kekerasan adalah upaya preventif yang paling efektif untuk menghapus tindakan kekerasan. Pendidikan sendiri merupakan “pabrik” sekaligus “bengkel” kemanusiaan.
     
      Pendidikan dapat dijadikan solusi atas persolaan tawuran yang melilit generasi muda bangsa ini. Memberikan pendidikan sejak dini kepada anak bangsa dengan menanamkan sikap dan prilaku anti kekerasan, yang dikenal dengan istilah pendidikan karakter anti kekerasan, dapat dijadikan upaya preventif terhadap tindakan kekerasan. Pendidikan karakter anti kekerasan ini sebenarnya dapat dilaksanakan di mana saja, baik di sekolah, lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Namun pendidikan karakter anti kekerasan akan lebih efektif jika dilakukan di lembaga pendidikan formal.
     
      Keterlibatan pendidikan formal dalam upaya pencegahan tindak kekerasan memiliki kedudukan strategis-antisipatif. Upaya pemberantasan tindak kekerasan di kalangan pelajar dan mahasiswa terlebih dahulu dapat dilakukan dengan mencegah berkembangnya mental kekerasan sejak dini. Sebab masa yang tepat dalam pendidikan anak adalah di waktu kecil. Memperoleh pengetahuan untuk mencapai sifat yang akan terus melekat dalam jiwa itu sulit dan tidak mungkin kecuali dilakukan sejak dini. Pendidikan sejak usia dini akan mengakar dalam kesadaran si anak sehingga setelah dewasa akan sulit untuk dihapus.
     
      Pendidikan karakter anti kekerasan ini akan berpengaruh pada perkembangan psikologis peserta didik. Melalui pendidikan ini, diharapkan semangat anti kekerasan akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Munculnya generasi baru yang anti kekerasan diharapkan mampu mendobrak budaya kekerasan yang saat ini berdiri dengan kokoh. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana model pendidikan karakter anti kekerasan yang paling efektif untuk diterapkan.
     
      Paling tidak, terdapat dua model yang menjadi wacana dalam pelaksanaan pendidikan karakter anti kekerasan. Pertama, menjadikan pendidikan karakter anti kekerasan sebagai satu mata  pelajaran  khusus dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP). Kedua, melalui pengembangan kurikulum, pendidikan karakter anti kekerasan diintegrasikan (dipadukan) pada  materi-materi pelajaran dalam kurikulum KTSP yang dianggap mengandung nilai-nilai anti korupsi, seperti pada mata pelajaran Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Sejarah dan materi pelajaran lainnya. Materi-materi tersebut diintegrasikan agar dapat membangun nilai-nilai luhur anti kekerasan kepada peserta didik.
     
      Menurut hemat penulis, pendidikan anti kekerasan akan lebih efektif jika diintegrasikan dengan mata pelajaran yang telah ada melalui penanaman nilai-nilai anti kekerasan. Bahkan di sinilah substansi dari pendidikan anti kekerasan tersebut. Dengan demikian pendidikan anti kekerasan akan menyentuh ranah afektif dan psikomotor yang secara otomatis dapat membentuk sikap dan perilaku anti kekerasan pada siswa, menuju penghayatan dan pengamalan nilai-nilai anti kekerasan. Namun, jika pendidikan anti kekerasan terjebak pada penguasaan materi saja, maka tingkat kegagalannya pun akan semakin tinggi.
     
      Selama ini, proses pembelajaran selalu dilaksanakan secara tekstual, sehingga nilai-nilai anti kekerasan tersembunyi di balik setumpuk materi yang diajarkan. Stagnasi pengembangan materi pembelajaran mengakibatkan tidak  terintegrasinya materi dengan problem-problem kontekstual. Hal tersebut diperparah lagi dengan proses pembelajaran yang berjalan secara monoton dan hanya  berorientasi pada penguasaan materi konvensional (subject oriented curriculum).
     
      Selanjutnya perlu diperhatikan, penanaman nilai-nilai moral dalam pendidikan anti kekerasan tersebut hendaknya tidak hanya berorientasi pada kecerdasan kognitif, melainkan harus menyentuh segala aspek kecerdasan siswa yaitu, afektif, kognitif dan psikomor. Karena manusia yang dididik adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika. Sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, Jasmani dan rohani, ilmu dan tingkah laku (M. Quraish Shihab, 1994: 173).
     
      Pendidikan anti kekerasan membimbing para generasi bangsa menjadi manusia yang berbudaya anti kekerasan, berwatak anti kekerasan, dan bertanggung jawab terhadap problematika kekerasan. Dengan pendidikan karakter anti kekerasan, beberapa tahun ke depan generasi bangsa Indonesia diharapkan secara moral telah terbekali. Sehingga, mereka tumbuh menjadi anak bangsa yang berkarakter mulia. Semoga. Wallahu A’lam.***

Riau Pos, Senin, 22 Oktober 2012.
Oleh : Susanto Al-Yamin*
*Penulis adalah Pimpinan Pondok M2IQ Riau


      Suatu hari, Umar bin Khattab pernah menulis instruksi kepada para pegawai dan pejabat negaranya. Sosok yang bergelar al-Faruq ini menegaskan bahwa shalat dijadikan sebagai takaran profesionalisme kinerja dan performa seseorang. Shalat adalah tolok ukur konsistensi seseorang.

      Khalifah Umar bin Khattab yakin bila shalat seseorang terjaga maka orang tersebut tidak akan menelentarkan urusan lainnya. “Urusan terpenting bagiku dari kalian adalah shalat. Barang siapa yang menjaga dan membiasakannya maka ia telah memelihara agamanya. Jika meninggalkannya maka ia rentan menelantarkan urusan selain shalat”, demikian katanya sebagaimana yang dikutip oleh Nashih Nashrullah.

      Pernyataan Umar bin Khattab di atas sangat sesuai dengan ajaran dan pesan-pesan Islam, terutama yang terkandung dalam perintah shalat. Dalam ajaran Islam, Shalat merupakan ukuran kokohnya agama seorang hamba. jika ditinggalkan robohlah agamanya, sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah Saw dari Umar bin Khattab yang diriwayatkan Imam Baihaqi; “Shalat adalah tiang agama, siapa yang mendirikan shalat berarti telah mendirikan agama, dan barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti telah menghancurkan agama”. Raja Ali Haji melalui untaian kata puitisnya, Gurindam Dua Belas, juga menyebutkan, ”Barangsiapa meninggalkan sembahyang/seperti rumah tiada bertiang”.

       Perintah shalat adalah ibadah yang diterima langsung oleh Rasulullah Saw dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Ini merupakan bukti posisi vital perintah shalat. Shalat adalah tiang agama dan menjadi rukun kedua setelah syahadat. Shalat, seperti ditegaskkan oleh Rasulullah, merupakan identitas kuatnya agama seorang Muslim. “Beda antara Muslim dan kafir adalah shalat,” demikian sabda Rasulullah Saw.

       Shalat adalah perkara pertama yang akan dihitung (dihisab) pada hari kiamat. Luqman al-Hakim, seorang ayah yang bijaksana, seperti yang diabadikan oleh Allah Swt dalam Q.S. Luqman/31: 17, pernah berwasiat kepada anak-anaknya. Nasihat tersebut berisi seruan untuk mendirikan shalat dan menjadikannya sebagai daya dorong mengajak ke arah kebajikan dan mencegah perbuatan mungkar serta bersabar atas segala persoalan hidup. Ini merupakan pesan bahwa kesalehan spiritual shalat semestinya tidak terpisahkan dari kesalehan sosial.

        Dalam Islam, ibadah shalat merupakan sumber dari segala kebaikan. Bahkan seecara khusus, shalat dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari perbuatan keji dan munkar sehingga melahirkan pribadi yang shaleh secara spritual maupun sosial. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Ankabut/ 29: 45: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Firman  Allah Swt di atas menunjukkan  bahwa salah satu hikmah  penting perintah shalat adalah untuk menuntun pelakunya  menjadi sosok yang shaleh secara sosial yang selalu mengajak umat pada kebaikan dan mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Shalat menjadi “madrasah” untuk mendidik kecerdasan dan kepedulian sosial.  Seluruh rangkaian ritual shalat memiliki pesan penting untuk memupuk kesalehan spiritual dan sosial seseorang. Misalnya, ucapan salam pada penutup shalat yang diiringi dengan menoleh ke kiri dan ke kanan merupakan simbol kepedulian sosial. Ucapan salam yang merupakan doa untuk keselamatan dan kesejahteraan orang banyak, baik yang ada di depan kita maupun yang tidak,  dan  diucapkan sebagai  pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial.

        Dengan demikian, maka shalat yang dimulai (dibuka) dengan takbir sebagai pernyataan  hubungan harmonis antara hamba dan Tuhannya dan diakhiri dengan taslim (ucapan salam) sebagai simbol pernyataan hubungan harmonis dengan sesama manusia. Karena  itu,  jika shalat seseorang tidak mampu menumbuhkan kepedulian dan keshalehan sosial, maka berarti shalatnya merupakan suatu kegagalan dan diduga ada yang salah dengan pelaksanaan shalatnya. Sebagai contoh, misalnya shalat orang-orang munafik. Meskipun mereka shalat bersama Nabi saw, namun mereka justru menjadi penghuni neraka yang paling bawah. Karena shalat yang dilakukan dengan penuh kemalasan dan bermaksud untuk riya. Seakan-akan mereka mendirikan shalat dengan penuh khusyuk, namun sejatinya mereka tidak shalat. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, tetapi Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya (ingin dipuji) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (Q.S. An-Nisa/4: 142). Shalat seperti inilah yang akan mendapatkan celaan sebagaimana yang digambarkan Allah Swt dalam Q.S. Al-Maun/107: 4-5.

       Jadi, shalat yang mempu memberikan pengaruh positif bagi pelakunya bukanlah shalat asal-asalan yang dikerjakan sekedar untuk memenuhi kewajiban saja, melainkan shalat yang dilakukan dengan baik dan benar, penuh ketulusan dan kesungghuhan. Muhammad Ali Ash-Shobuni dalam kitab Safwah al-Tafẚsir (2004: 901) menjelaskan bahwa, shalat yang dapat mencegah perbuatan keji dan munkar adalah shalat yang didirikan sesuai dengan syarat, rukun dan adabnya, serta didirikan dengan penuh kekhusyukan sembari mengingat kebesaran Allah Swt.

       Dengan demikian, shalat yang khusyu’ dapat membangun keshalehan spiritual dan sosial. Shalat khusyu’ adalah shalat yang terlahir dari kesadaran setiap hamba yang memiliki kerinduan tertinggi kepada Penciptanya. Kesadaran itu lahir dari kerendahan hati dan kecintaan yang tulus seorang hamba kepada Tuhannya. Setiap muslim yang memiliki kesadaran tersebut akan senantiasa rindu dan ingin berdialog dengan tuhannya serta rela meluangkan waktu berlama-lama untuk “curhat” kepada Allah Swt dalam shalat, baik terkait persoalan pribadi, keluarga mapun bangsanya. Dengan kata lain, shalatnya dilakukan tidak sekedar untuk menggugurkan kewajiban, melainkan untuk membentuk pribadi unggul dan mulia.

       Shalat seperti inilah yang akan membuahkan keshalehan spiritual dan kepedulian serta keshalehan sosial bagi pelakunya. Oleh karena itu, dalam peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw tahun ini, marilah kita dijadikan sebagai momentum untuk mengevaluasi kualitas ibadah shalat kita. Jangan hanya dijadikan sebagai rutinitas formal dan acara seremonial yang “hampa makna”. Semoga. Wallahu A’lam.***

Riau Pos, Jum’at, 7 Juni 2013
Oleh : Susanto Al-Yamin
* Penulis adalah Pimpinan Pondok M2IQ Riau


Tak lama lagi rakyat Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi. Pemilihan presiden Republik Indonesia masa bakti 2014-2019 akan digelar pada tanggal 9 Juli 2014 mendatang. Ada dua pasangan capres dan cawapres yang akan dipilih langsung oleh rakyat pada Pemilu Presiden tahun ini, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Masing-masing tim sukses sudah gencar memperkenalkan sosok capres dan cawapres jagoan mereka. Berbagai kelebihan capres-cawapres dan keunggulan programnya pun telah disampaikan untuk menarik simpati pemilih.

Namun sayang, sebagaimana diberitakan di beberapa media, demi menjatuhkan lawan politik, terdapat kampanye hitam yang diduga dilancarkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab terhadap masing-masing capres-cawapres. Bentuk kampanye hitam tersebut sangat bervariasi, mulai dari masalah HAM, nasionalisme, SARA, dan bahkan tentang kadar ketaatan beragama dari capres atau cawapres. Lebih riskan lagi, kampanye hitam tersebut sudah sampai pada sikap saling mengkafirkan.

Kapanye hitam semacam ini merupakan istilah lain dari ghibah. Ghibah dalam berpolitik. Dalam Islam, ghibah dimaknai dengan menceritakan tentang hal ihwal orang lain yang membuatnya tidak suka. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah?”, mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Beliau bersabda, “yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka”. Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ceritakan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahi-nya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah membuat kebohongan atasnya”. (HR. Muslim bab Tahrim al-Ghibah).

Ghibah merupakan perbuatan keji yang tidak dirihai oleh Allah Swt. Pelaku ghibah diumpamakan bagaikan manusia pemakan daging saudaranya. Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan (ghibah) satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang" (Q.S. Al-Hujarat/49: 12).

Imam al-Baihaqi pernah meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sekali-kali kamu melakukan pergunjingan, karena pergunjingan itu lebih berat dari perzinaan. Karena, jika seseorang yang berzina kemudian bertobat maka Allah mengampuninya. Sedangkan penggunjing tidak akan diampuni Allah, sebelum orang yang digunjingkan itu memaafkannya”.

Selain itu, ghibah juga dapat mengundang siksa kubur. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan imam Ahmad, diceritakan bahwa ketika Rasulullah SAW berjalan melewati dua kuburan, beliau mendengar suara manusia yang sedang diazab. Rasulpun menjelaskan bahwa salah satu penyebab penghuni kubur tersebut diazab adalah kerena ghibah.

Alangkah beratnya siksa yang akan dialami oleh para pelaku ghibah. Betapapun dia bertobat kepada Allah, pintu pengampunan tidak akan terbuka, kecuali dia datang dan bersungguh-sungguh meminta maaf kepada orang yang di-ghibahi itu. Tidakkah kita takut pada siksaan Allah SWT? Bagaimana bila orang yang dighibahi itu tidak bersedia memaafkannya? Jangan sampai hal ini terjadi.

Betapa besarnya dosa yang disebabkan oleh ulah lidah, menggosip (ghibah) dan mencela atau mencaci orang lain. Betapapun rajin kita beribadah di hadapan Allah Swt, maka ibadah kita tidak akan sempurna, selama lidah kita menggosip (ghibah) dan menyakiti orang lain. Bukankah Rasulullah Saw pernah menyampaikan bahwa seorang muslim yang baik itu adalah mereka yang membuat orang lain selamat dari bahaya lisan dan tangannya.

Muadz bin Jabbal pernah bertanya pada Rasulullah SAW, “Apakah kita akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang kita ucapkan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Hai Ibnu Jabbal, tidaklah manusia-manusia itu akan ditelungkupkan dengan hidungnya terlebih dahulu di neraka, melainkan karena apa yang dilakukan oleh lidahnya” (HR. al-Hakim).

Saat ini, ghibah seolah telah menjadi hal biasa. Ghibah seolah menjadi menu pokok yang disuguhkan media kepada masyarakat. Wajar jika kemudian ghibah telah menjadi tontonan yang mampu mengangkat rating tayangan televisi. Dalam dunia politik, ghibah merupakan senjata yang paling ampuh untuk mehancurkan harga diri, popularitas, dan reputasi lawan politiknya. Ghibah sangat marak terjadi dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Bahkan ghibah telah menjalar hingga ke akar rumput perpolitikan negeri ini. Banyak sekali materi politik yang ditampilkan melalui media baik elektronik, cetak maupun televisi yang mengandung unsur ghibah atau menjelekkan lawan ataupun orang yang berseberangan dengan pandangan politiknya. Sehingga wajar jika kemudian banyak terjadi sengketa, permusuhan, dan perkelahian dalam pesta demokrasi di negeri ini.

Inilah potret panggung politik di negeri tercinta ini. hanya kekurangan dan keburukan orang lain saja yang banyak ditampilkan demi mengundang simpati pemilih. Sungguh lebih arif dan bijak bila mereka berkata apa adanya tentang capres-cawapres mereka dan mengedepankan pandangan politik terkait pembangunan dan kemajuan bangsa serta rakyat yang akan dipimpinnya, daripada harus sibuk mencari dan membeberkan (meng-ghibah) kekurangan dan aib capres-cawapres lainnya.

Karena itu, marilah kita tampilkan sikap politik yang santun dan jujur. Lebih fokus menyusun dan melaksanakan program strategis untuk pembangunan bangsa ini. Hentikan segala bentuk ghibah politik (kampanye hitam). Sungguh tidak ada manfaatnya mengumbar aib dan keburukan orang lain. Kalaupun pelaku ghibah menang, itu hanyalah kemenangan semu dan sementara. Karena kebenaran pasti menang, dan kebohongan akan terungkap. Semoga Allah Swt melindungi dan memelihara kita dari ghibah dan memberikan pemimpin terbaik untuk negeri ini demi terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Semoga.***

Riau Pos, Rabu, 11 Juni 2014.


Uje

Oleh : Susanto Al-Yamin*
*Susanto Al-Yamin adalah Pengasuh Kajian Islam MT. Raudhatul Jannah, Pekanbaru.


Jum’at pekan lalu, umat Islam di seluruh penjuru Indonesia dikejutkan oleh berita wafatnya seorang da’i kondang, ustad Jeffri al-Buchori. Ustad Jeffri al-Buchori atau yang akrab disapa Uje, meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Da’i gaul yang masyhur ini meninggal dunia dalam usia yang masih muda, 40 tahun.

Keluarga, sahabat, dan jamaah seolah tak percaya akan berita kematian itu. Uje pergi begitu cepat. Ia meninggalkan dunia yang fana ini tanpa sakit yang berarti. Sengguh kematian yang sangat mendadak. Tapi, begitulah kematian.

Kematian pasti datang tepat waktu, tak bergeser walau sedetikpun ((QS. Al-A’raf/7: 34 dan Ali-Imran/3: 145), merenggut nyawa dengan paksa, melenyapkan segala kenikmatan dunia. Kematian tak pernah memilih baik tua maupun muda, sehat ataupun sakit, rakyat biasa maupun pejabat, para da’i maupun jama’ah. Singkatnya, semua yang bernyawa pasti mati (QS. Ali-Imran/3: 185).

Rumah yang kokoh dan megah tak mampu melindungi kita dari kematian. Tumpukan uang tak mampu menyogok malaikat Maut untuk menunda kematian. Bahkan, benteng yang kokohpun tak mampu melindungi seseorang dari kematian (QS. An-Nisa’/4: 78).

Kematian selalu datang mendadak, dan tak seorangpun mengetahui kapan datangnya. Karena itu, sebelum kematian datang merenggut, persiapkanlah bekal (QS. Al-Hasyr/59: 18), dan sebaik-baik bekal adalah takwa (QS. Al-Baqarah/2: 197).

Dalam pandangan penulis, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Uje termasuk orang yang beruntung. Ia telah berhasil bangkit dari lembah kelam yang sempat menjerumuskannya. Ia telah mengisi hari-harinya dengan amal dan budi baik. Dakwah dan kebaikannya akan selalu dikenang ummat. Kepergiannya menghadap Ilahi, diiringi do’a dari ribuan jam’ah. Semoga semua itu juga dinilai baik di sisi Allah Swt. Amiin.

Demikianlah, Uje telah pergi menghadap Ilahi dengan bekal yang telah disiapkannya. Lalu, bagaimana dengan kita? Kapan, di mana, dan bagaimana kita akan diwafatkan? Sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk perjalanan panjang itu? Sudahkah kita menanam budi kepada sesama manusia? Akankah kepergian kita diiringi dengan “tangisan suci” dan untaian do’a dari banyak orang? Atau sebaliknya? Wallahu A’lam.***

Oleh : Alfuzanni*
*Penulis adalah Peserta M2IQ, binaan Pondok M2IQ Riau.


Nampaknya karakter pemimpin bangsa ini semakin hari semakin lemah. Buktinya, kasus korupsi semakin banyak dilakukan oleh para pemimpin. Selain itu, masih ada beberapa   kasus amoral yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini, yaitu seperti kasus bupati Garut, Provinsi Jawa Barat,  Aceng Fikri yang menikahi gadis hanya 4 hari, lalu menceraikannya. Kemudian membuat penghinaan terhadap mantan istrinya tersebut (kompas.com).

Jika kejadian seperti yang diceritakan di atas terus dilakukan pemimpin bangsa ini, maka bagaimana nasib bangsa ini? Dan bagaimana nasib rakyat? Apakah hal ini tidak pernah terfikirkan oleh para pemimpin yang telah melakukan tindakan yang jelas-jelas merugikan rakyatnya. Seharusnya mereka sebagai pemimpin bagi masyarakat bisa memberikan contoh teladan yang baik, karena mereka adalah orang yang dianggap mampu mengemban amanah rakyat dan dipercaya. Tetapi, kenyataan yang terjadi malah kepercayaan rakyat di salahgunakan oleh sebagian mereka dengan melakukan korupsi dan prilaku amoral lainnya.

Manusia memang diciptakan Allah sebagai pemimpin(QS.Al-Baqarah(2): 30). Akan tetapi, pemimpin seperti apa yang dikehendaki oleh Allah SWT dan umat manusia. Pemimpin yang dikehendaki oleh Allah SWT dan umat manusia adalah pemimpin berkarakter Qur’ani yang senantiasa memegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist.

Seorang pemimpin harus memiliki karakter atau dalam Islam disebut dengan akhlak. Karakter dan akhlak sebenarnya dua kata yang berbeda namun memiliki arti dan makna yang sama. Saat ini akhlak di Indonesia lebih populer dengan bahasa karakter. Sehingga saat ini pendidikan karakter menjadi “trending topic” dalam dunia pendidikan setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyinggung hal tersebut (eramuslim.com).

Konsep karakter (akhlak) dalam Islam merupakan konsep hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan alam sekitarnya dan manusia dengan manusia itu sendiri. Pada prinsipnya karakter yang diinginkan oleh Islam adalah karakter yang senantiasa konsisten dan tetap dalam pendirian atau teguh dalam pendirian.

Itulah karakter yang sebenarnya, bukan karakter yang mudah berubah-ubah. Berubah-ubahnya watak dan kepribadian seseorang menunjukan lemahnya karakter. Perubahan-perubahan perilaku manusia ini disebabkan pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai relatif yang terus berkembang. Jika ingin menanamkan karakter yang tak lekang dengan waktu, maka harus menggunakan referensi yang juga tak lekang dan universal, dan ini ada pada konsep akhlak dalam Islam yang referensinya adalah Al-Qur’an dan hadist, yang pada akhirnya akan tercipta para pemimpin berkarakter Qur’ani dari generasi-generasi muda.

Dalam perspektif Islam adapun ciri-ciri pemimpin yang berkarakter harus memiliki 4 sifat, sebagaimana sifat yang dimiliki oleh Rasulullah SAW yakni Shidiq(benar, jujur), amanah(terpercaya), tabligh(komunikator) dan fathanah(cerdas). (Zubaedi, 2011 :171).

Selanjutnya, pengembangan karakter merupakan proses seumur hidup. Pengembangan karakter  anak merupakan upaya yang melibatkan semua pihak yaitu keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah. Ke empat pihak ini harus berjalan secara terintegrasi. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika ia tumbuh dilingkungan yang berkarakter juga. Dengan begitu, fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembag secara optimal dan memiliki karakter yang kuat tak lekang di makan waktu.

Di tengah kondisi Negara yang saat ini sangat krisis terhadap pemimpin yang berkarakter , maka diperlukan berbagai upaya yang harus dilakukan oleh umat Islam terkait mempersiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam membentuk pemimpin berkarakter melalui peran berbagai pihak, diantaranya :

Pertama keluarga, paling tidak ada 3 peran penting keluarga dalam pembentukan karakter anak sebagai calon pemimpin masa depan. Pertama, keluarga berkewajiban menciptakan suasana yang hangat dan tentram. tanpa ketentraman, akan sukar bagi anak untuk belajar apa pun dan anak akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan jiwanya. ketegangan dan ketakutan adalah wadah yang buruk bagi pembentukan karkter anak. Kedua, keluarga harus bisa menjadi panutan yang positif bagi anak. Sebab, anak  banyak belajar dari apa yang dilihatnya daripada yang didengarnya. karakter orang tua yang diperlihatkan melalui tindakan sehari-hari merupakan bahan pelajara utama yang akan diserap oleh anak. Ketiga, keluarga harus mampu mendidik anak dengan baik, artinya mengajarkan karakter yang baik dan mendisiplinkan anak agar berprilaku sesuai dengan apa yang telah diajarkan.

Salah satu ciri anak yang berkarakter  adalah selalu menunjukkan sikap sopan dan hormatnya pada orang tua. Karakter  yang melekat pada setiap orang bukan datang dengan sendirinya, melainkan harus diciptakan. Terutama dalam keluarga, bukan merupakan keturunan. Dengan kata lain, karakter tidak merupakan keturunan melainkan merupakan produk pendidikan dalam keluarga perpaduan antara akal, kehendak dan rasa.

Kedua masyarakat, masyarakat merupakan lingkungan social kedua setelah keluarga dan memiliki peran penting dalam pembentukan karakter anak. Namun, tidak semua masyarakat tahu akan peran tersebut. Walaupun tahu, terkadang seolah-olah masyarakat tutup mata dan telinga terhadap apa yang terjadi pada anak dilingkunganya. Prilaku masyarakat yang seperti ini tentu dipengaruhi oleh beberapa factor. Factor tersebut bisa datang dari dalam masing-masing maupun dari pengaruh lingkungan. Peran masyarakat yang begitu besar menjadi sedikit terbengkalai dan dikesampingkan.

Pemuda sebagai generasi calon pemimpin bangsa harus memiliki karakter  yang kuat. Nah, dalam menumbuhkan karakter dapat melalui tokoh-tokoh masyarakat, para ulama dan LSM dengan cara membentuk remaja masjid, mengajak bergotong-royong, mengadakan pertandingan antar pemuda dan banyak lagi kegiatan yang dapat di lakukan. itu semua dilakukan dalam rangka memperat hubungan antara masyarakat dan pemuda. jika hubungan baik telah terjalin, maka sikap dan prilaku positif mudah terbentuk dan mudah juga untuk ditanamkan kepada diri pemuda. dengan demikian peran masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Ketiga dunia pendidikan. Peran yang dapat dilakukan oleh dunia pendidikan dalam pembentukan karakter dijalankan oleh para pendidik. Pendidik merupakan figur yang diharapkan mampu mendidik anak yang berkarakter. Adapun peran guru di sekolah sebagai pendidik dituntun menjalankan enam peran yaitu pertama, harus terlibat dalam proses pembelajaran dengan melakukan melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran. kedua, harus menjadi contoh teladan (role mode) kepada siswa dalam berprilaku dan berbicara.ketiga, harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif. keempat, harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya. kelima, harus mampu membantu dan mengembangkan emosi serta kepekaan sosial siswa agar menjadi lebih takwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar (soft skill) yang berguna bagi masa depan. keenam, harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa, sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.

Pemimpin berkarakter  tidak lahir begitu saja, ia lahir dari proses pembinaan dan pendidikan sebelum seseorang menjadi pemimpin. Keberhasilan pendidikan karakter akan menghasilkan stok pemimpin nasional yang berkarakter, dengan demikian akan menghasilkan wajah bangsa dan Negara yang berkarakter pula. untuk itu, Indonesia Oleh karena itu , semua pihak baik lembaga formal, informal dan nonformal harus berbagi tanggungjawab dalam mempersiapkan pemimpin berkarakter. sudah saatnya dipimpin oleh pemerintah yang baik dan mampu mengembangkan good governance dengan nnilai-nilai transparency, independenci, accountability, responsibility, fairness dan social awareness.


*oleh : Alfuzanni, Juara 1 MMQ pada MTQ tingkat Kab. Pelalawan 2014

A. Pendahuluan

      Ramalan saat ini sudah menjadi tren baru. Ramalan bukan hanya datang dari tukang ramal dengan cara bertanya langsung, namun saat ini bisa masuk ke rumah-rumah umat Islam dengan begitu mudah, baik lewat media cetak, TV, atau pun internet. Ramalan yang terupdate  sering diperlihatkan di berbagai media seperti di televisi, radio, majalah, tabloid, koran maupun buku khusus untuk menyuguhkan informasi  mengenai peruntungan, karir, asmara (jodoh), kesehatan ataupun keuangan (rezeki), contohnya seperti iklan ketik REG RAMAL kirim ke 6677 yang ditayangkan oleh para peramal seperti Deddy Corbuzer atau Mama Laurent, maka berbondong-bondong para generasi muda mengirimkan SMS karena ingin mengetahui hasil dari ramalan tersebut, dan mereka terkesan sangat mempercayai hasilnya.
     
      Ramalan-ramalan yang sering terbukti tentu membuat peramalnya terkenal, seperti Mama Laurent, Deddy corbuzer dan lainnya yang dekat dengan Astrologi. Namanya dan ramalan-ramalannya semakin hari semakin tenar seiring dengan semakin nyatanya ramalan-ramalan yang disebutkannya. Padahal itu semua hanya kebohongan belaka.
     
      Fenoma ramalan sepeti ini hadir di  tengah masyarakat muslim sebagai suatu hal baru dan menarik perhatian. Hal baru yang ternyata sudah ada sejak zaman jahiliyah, namun umat Islam banyak yang tidak menyadari bahkan tidak mengetahui itu dikarenakan tidak adanya kepedulian terhadap agama yang diimaninya. Islam secara tegas menyatakan bahwa ramalan itu termasuk syirik dan dosa besar bagi yang mempercayai. Akan tetapi, saat ini umat islam tidak sadar.
     
      Sebagian besar rakyat indonesia mungkin telah tidak asing lagi mendengar kata-kata Sihir, Dukun, ataupun ramalan. Namun banyak diantara mereka tidak tahu dan tidak mau tahu mengenai bagaimana Islam memandang hal tersebut.
     
       Saat ini banyak hal-hal kecil yang nampaknya sepele, akan tetapi mampu mendangkalkan bahkan merusak akidah.  Salah satu contohnya adalah ramalan. Ini merupakan sebuah tantangan tersendiri baik bagi umat Islam dalam sebuah tradisi, masyarakat, alam dan teknologi serta peradaban modern, maupun terhadap diri sendiri (gejolak hawa nafsu).
     
      Dalam mempertahankan akidah yang benar di zaman modern yang serba canggih, umat Islam khususnya generasi muda harus berhadapan dengan kekuatan materialisme, zionisme dan sekularisme yang berusaha mengrogoti akidah umat Islam, ibarat rayap yang hinggap pada sebuah pohon kemudian secara  perlahan-lahan merusak dan membunuh pohon itu.
     
       Dengan adanya fenomena inilah maka penulis tertarik untuk mengupas pembahasan tentang Ramalan dan Pendangkalan Akidah. Semoga pembahasan dalam tulisan ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran dan pencerahan bagi umat Islam dan generasi muda dalam membangun akidah yang benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasul Allah dalam Al-Qur’an  dan Sunah  untuk menghadapi persoalan akidah kedepannya.

B. Hakikat Makna Akidah

      Akidah yang menjadi pembahasan pokok pada tulisan ini memiliki hakikat makna yang perlu diperjelas sebagai dasar dalam pembahasan. Akidah secara bahasa berasal dari kata al-'aqdu yang berarti ikatan, at-tautsiiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah yang berarti mengikat dengan kuat. Sedangkan akidah secara terminologi bermakna : sesuatu yang diyakini sesorang, diimaninya dan dibenarkan dengan hatinya baik hak ataupun batil. Kemudian makna akidah ditinjau dari pengertian syariat Islam adalah beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, para malaikat-Nya, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya beriman kepada hari akhir dan taqdir (ketentuan) Allah yang baik maupun buruk. Selanjutnya, dari kata akidah ini dipinjamkan pula beberapa arti yang lain, seperti sumpah setia dan perjanjian. Dalam penggunaan sehari-hari atau secara istilah, khususnya dalam konteks agama, kata akidah lazim diartikan dengan“kepercayaan/keimanan/keyakinan”(1).
     
        Pengertian akidah tersebut di perkuat oleh Desy Anwar dalam kamus Bahasa Indonesia yang berarti kepercayaan atau keyakinan(2). Selanjutnya didukung dalam kitab Mu’jam Al-Fasafi oleh Jamil shaliba yang mengartikan akidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh(3). Dalam hubungan ini Yusuf Al-Qardawi mengatakan bahwa akidah menurut pengertian yang sebenarnya ialah kepercayaan yang meresap kedalam hati dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu, serta member pengaruh terhadap pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari(4).

         Dari berbagai pendapat tentang pengertian akidah tersebut di atas bermakna bahwa betapa pentingnya akidah itu ada dalam diri setiap umat Islam karena merupakan hal pokok yang harus dimiliki seseorang jika ingin memeluk agama Islam. Karena jika akidah tidak sesuai antara praktek dan arti sebenarnya maka akan berakibat sangat fatal yang menyebabkan dangkalnya akidah. Sehingga, akidah harus mutlak kebenarannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Ikhlas ayat 1-4 :
      Artinya: “Katakanlah: “Dialah Allah yang Maha Esa”.(1) Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala urusan(2).Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan(3). dan tidak ada seorang pun setara dengan-Nya.(4)
(Q.S. Al-Ikhlas : 1-4)
         Dr. ‘Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahman Bin Ishaq Alu Syaikh dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan bahwa sesungguhnnya Allah Yang Tunggal dan satu-satunya, yang tiada tandingan, tanpa pembantu, juga tanpa sekutu dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Ini menjelaskan bahwa Allah itu Maha Esa yang tidak membutuhkan siapapun, Dialah pemilik segalanya sebagai yang Maha Sempurna. Hal selaras dengan sifat-Nya yang harus diyakini dan di imani dengan akidah yang benar(5).

         Selanjutnya M.Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menyatakan bahwa kata Ahad yang di sebutkan dalam surah Al-Ikhlas mengandung arti keEsaan zat Allah yang tidak ada unsur-unsur dan bagian-bagian yang  menyatakan akan  zat Allah Yang Maha Esa yang wajib di imani dan diyakini dengan sepenuh hati tanpa keraguan sedikitpun dan tanpa mensekutukan-Nya(6).

        Kemudian dalam Ensiklopedia Al-Qur’an menyebutkan bahwa kata Ahad biasa diterjemahkan dengan “Esa”. Kata ini ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 53 kali, akan tetapi hanya sekali yang digunakan sebagai sifat Allah. Ini mengandung isyarat tentang keesaan-Nya yang sedemikian murni, hingga sifat Ahad yang menunjuk kepada-Nya hanya sekali dalam Al-Qur’an, dan hanya ditujukan kepadaNya semata, yaitu pada Q.S Al-Ikhlas (112) ayat 1-4(7). Kata ahad tidak sama dengan kata wahid yang artinya satu, sehingga makna kata Esa tidak sama dengan makna kata satu. Satu adalah bilangan pertama dari bilangan asli matematika dan merupakan bilangan bulat yang dapat dibagi menjadi beberapa bilangan pecahan sampai tak terhingga. Adapun kata Esa sebagai terjemahan dari kata ahad bukanlah bilangan, sehingga tidak dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil(8).

      Berdasarkan ayat dan tafsir serta penjelasan di atas penulis menyatakan bahwa Akidah yang benar adalahnya akidah yang merujuk kepada kata Ahad  yang berarti mengesakan Allah SWT tanpa adanya campur aduk dengan yang lain yang dalam artian menyekutukan (menduakan) Allah dengan penuh keyakinan dalam hati tanpa adanya keraguan. Jika seorang umat Islam yang telah menyatakan dirinya menganut ajaran Islam haruslah menyatakan akan keesaan-Nya dengan mengucapkan kalimah syahadat yaitu Tiada Tuhan Selain Allah, dan Muhammad itu Utusan Allah. Kalimat ini bukan hanya sekedar  untuk memenuhi syarat belaka yang hanya sekedar di ucapkan habis perkara, namun kalimat ini mengandung makna yang sangat dalam yang inti dari kalimat syahadat tersebut yaitu akidah Islam yang sebenarnya yang akan terus dipakai oleh umat Islam dalam menjalankan segala aktivitas amal ibadahnnya.

C. Pengertian Ramalan

      Ramalan merupakan suatu ilmu yang dipercaya bisa melihat masa depan orang lain tentang segala aspek kehidupan melalui media alam gaib. Ramalan adalah prediksi mengenai peristiwa-peristiwa yang akan datang. Bentuk ramalan saat ini misalnya, zodiac,shio dan kartu. Kata ramal sendiri diambil dari bahasa Arab yaitu raml yang artinya adalah suatu ilmu untuk menafsir, menilik, melihat atau memprediksi nasib seseorang, atau apa yang akan terjadi di masa depan. Orang yang bekerja meramal disebut sebagai peramal.
     
      Kemudian ramalan bila dilihat dari aspek kebahasaan sendiri dibagi tiga bagian; pertama, ramalan yang berasal dari wahyu Allah SWT kepada para Nabi dan Rasulnya. Ramalan ini terdapat di dalam Kitab suci Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur’an. Serta ada juga yang disampaikan melalui para Nabi. Seperti yang disampaikan Nabi Muhammad SAW di dalam haditsnya; kedua, Ramalan Ilmiah, ramalan ini dilakukan oleh para ilmuwan setelah melalui penelitian-penelitian secara ilmiah. Seperti ramalan cuaca, ramalan tanggal kelahiran seorang anak dari ibu hamil; ketiga, Ramalan Mistik. Ramalan ini berdasarkan informasi dari makhluk ghaib atau melalui media lain yang biasa digunakan oleh seorang peramal. Ramalan ini dilakukan oleh paranormal, dukun dan sebutan lainnya.
     
      Pada karya tulis kali ini penulis akan membahas ramalan mistik. Di dalam istilah keislaman sendiri ramalan mistik dikenal dengan tathayyur. Kata ini berasal dari thair yang artinya burung. Sejarah dari tathayyur berawal dari kebiasaan orang Arab pada jaman dahulu, jika seseorang hendak melakukan perjalanan, maka ketika melihat burung terbang menuju arah kanan berarti dia akan mendapat keuntungan. Tapi jika burung tersebut terbang ke arah kiri maka akan terjadi kesialan.
     
      Ada berbagai jenis tathayyur yang sekarang berkembang, seperti astrologi misalnya, ramalan mengenai kehidupan suatu individu yang berdasarkan rasi bintang ini bisa kita temukan diberbagai media disetiap minggunya. Astrology pertama ditemukan di Babylonia, yang mengamati sekaligus meramalkan kejadian dilangit adalah pekerjaan mereka dahulu, selebih itu mereka juga beranggapan bahwa setiap gerak benda-benda dilangit adalah pesan penguasa alam yang harus mereka tafsirkan, kemudian astrology berkembang ke Asia, Eropa dan Timur Tengah, seperti China, India dan Yunani.
     
      Seiring dengan perkembangan zaman, Astrology kemudian berbaur dengan bentuk Astrology yang sudah ada terlebih dahulu, sehingga sekarang kita mengenal tiga aliran besar Astrology yaitu Astrology yang dikembangkan oleh orang-orang Barat, Astrology yang dikembangkan oleh orang-orang China, dan juga Astrology menurut ajaran Hindu (India). sehingga bermunculan 12 lambang zodiac yang dikenal saat ini, yaitu Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagittarius, Capricorn, Aquarius, Pisces.
     
      Kadang Astrologi dan Astronomy dihanggap 2 hal yang sama, padahal keduanya berbeda, Astronomi adalah ilmu yang berurusan dengan Posisi, Energi, Ukuran, Komposisi serta gerakan benda-benda langit. Dalam hal ini adalah pergerakan benda-benda luar angkasa seperti planet, satelit, komet dan lain sebagainya. Khususnya dalam islam untuk kepentingan beribadah, seperti shalat dan puasa. Sedangkan ilmu Astrologi adalah ilmu yang menghubungkan antara gerakan benda-benda tata surya (planet, bulan, dan matahari) dengan nasib manusia. Karena semua planet, matahari, dan bulan beredar di sepanjang lingkaran ekliptik, otomatis mereka semua juga beredar di antara zodiak. Ramalan astrologi didasarkan pada kedudukan benda-benda tata surya di dalam zodiak.
     
      Seseorang akan menyandang tanda zodiaknya berdasarkan kedudukan matahari di dalam zodiak pada tanggal kelahirannya. Misalnya, orang yang lahir awal Desember akan berzodiak Sagitarius, karena pada tanggal tersebut Matahari berada di wilayah rasi bintang Sagitarius. Kedudukan Matahari sendiri dibedakan antara waktu tropikal dan waktu sideral yang menyebabkan terdapat 2 macam zodiak, yaitu zodiak tropikal dan zodiak sideral. Sebagian besar astrolog Barat dan astrolog Indonesia menggunakan zodiak tropikal, dan sejak kini seluruh Dunia Menggunakan zodiak tropical.

D. Jenis-Jenis Ramalan

   Adapun ramalan memiliki berbagai jenis yang arti dan makna serta tujuannya berbeda-beda, yaitu :
1. Palmistry
      Palmistry adalah jenis ramalan ini menggunakan bentuk garis tangan sebagai dasar peramalan. Ilmu ini percaya bahwa beberapa garis yang ada dalam telapak tangan merupakan kondisi dari beberapa pusat otak. Itu merupakan cerminan dari pikiran bawah sadar yang membentuk garis-garis tersebut. Karena garis tersebut mewakili pikiran kita, mereka terus menerus berubah, dalam menjaga harmonitas antara pikiran dan juga sikap kita yang dinamis dan terus berubah. Artinya sikap positif yang kita miliki akan berdampak pada garis lurus yang memiliki arti baik, sedangkan pikiran negatif membuat efek sebaliknya. Maka itu banyak sekali wejangan yang beredar dalam masyarakat kita untuk terus menjaga pikiran positif, dalam arti kata sebenarnya dapat mempengaruhi jalan nasib seseorang.
     
2. Numerology
      Numerology adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan antara nomor dengan beberapa kejadian. Metode ramalan yang menafsirkan arti-arti angka, tanggal dan jumlah huruf.
     
      Numerology memiliki kaitan erat dengan ramalan yang akan terjadi di masa mendatang. Tidak hanya ramalan baik saja, ada juga yang menghubungkan angka tertentu dengan suatu kejadian atau hal negatif, contohnya angka 666 adalah simbol setan.
     
3. Kartu Tarot 
      Tarot adalah sekelompok kartu berjumlah 78 lembar yang umumnya digunakan untuk kepentingan spiritual atau ramalan nasib. 22 kartu disebut Arcana Mayor dan 56 kartu disebut Arcana Minor. Set Tarot yang paling populer adalah Tarot Rider-Waite-Smith yang diciptakan oleh A.E Waite dan ilustrator Pamela Colman Smith. Dokumen sejarah mengindikasikan bahwa Tarot berasal dari Italia. Sampai saat ini, permainan kartu Tarocchi masih sangat populer di Eropa.    

E. Ramalan Menurut Pandangan Islam 

      Ramalan dalam pandangan Islam merupakan salah satu dari ciri-ciri sifat syirik (menyekutukan Allah). Karena dalam ramalan itu pada hakikatnya mempercayai sesuatu yang gaib dari selain Allah dan dalam akidah Islam adalah hal yang terlarang dan merupakan dosa besar yang digolongkan ke dalam kategori ilmu sihir dan bentuk kesyirikan. Karena di dalamnya mengajarkan ramalan tentang kejadian yang belum dan akan terjadi, juga pengakuan mengetahui ilmu gaib yang menjadi kekhususan Allah, seperti rejeki, jodoh, umur, dan lain-lain.
     
      Ramalan atau lebih dikenal sebagai ilmu Astrologi termasuk amalan jahiliyyah yang telah dibatalkan dan diharamkan oleh Islam, dengan penjelasan bahwa itu merusak akidah dan  termasuk perbuatan syirik, karena mengandung ketergantungan kepada selain Allah dan keyakinan adanya manfaat dan mudharrat dari selain Allah. Dalam Islam seorang peramal selain syirik juga dinyatakan kafir karena ia telah mengklaim bahwa dirinya mengetahui sesuatu yang gaib yang sebenarnya hanya diketahui Allah SWT. Bahkan Allah SWT telah menegaskan itu semua dalam firman-Nya surat An-Naml ayat 65 :

      Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (Q.S An-Naml : 65)

      M.Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah Menyatakan bahwa  ayat di atas membatalkan kepercayaan menyangkut pengetahuan tentang hal gaib yang diakui oleh para penyembah berhala pada masa jahiliyah.  Ayat tersebut juga memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengatakan kepada kaum musyrikin bahkan kepada siapapun bahwa “tidak ada satu makhluk pun di langit dan dibumi yang mengetahui perkara gaib yang mutlak seperti datangnya hari kiamat, kecuali Allah SWT semata-mata” dan mereka kendati bekerja sama, tidak akan berhasil, bahkan tidak merasakan apalagi mengetahui kapan mereka dibangkitkan dari kubur.(9)
     
      Kemudian Dr. ‘Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahman Bin Ishaq Alu Syaikh dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan Allah SWT Menyuruh Rasulullah SAW agar mengajarkan kepada seluruh makhluk bahwa tidak ada seorangpun dari kalangan penduduk langit dan bumi yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah SWT. Firman Allah “Kecuali Allah” merupakan Istitsna munqathi, yakni tidak ada seorang pun mengetahui itu kecuali Allah Azza Wa Jalla, karena Dialah sendiri Yang Esa tanpa sekutu bagi-Nya yang mengetahui hal gaib. (10)
     
      Dari tafsir dan uraian di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya dialam jagat raya ini baik dlangit maupun dibumi tidak ada satu makhluk pun yang bisa dan mengetahui hal gaib kecuali Allah SWT. Oleh karena itulah, maka barang siapa yang mengaku bisa mengetahui dan bisa meramal masa depan seseorang maka itu hanya kebohongan besar. Bagi umat Islam yang secara terang-terangan maupun tidak, tetapi mempercayai ramalan seseorang maka ia termasuk kepada musyrik dan kafir, karena menyekutukan Allah.
     
      Rasulullah SAW juga mengatakan dalam sebuah hadistnya bahwa orang yang mendatangi dan mempercayai peramal tergolong kepada kafir. Hadist tersebut berbunyi :
     
       Artinya: Dari Abu Hurairah Rasulullah SAW berkata “Siapa yang mendatangi seorang dukun / peramal, lalu mempercayai apa yang ia katakan, maka dia telah kafir kepada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad saw” .
( HR. Abu Daud). (11)    

F. Solusi bagi Umat Islam

       Percaya terhadap ramalan seperti yang dicontohkan di atas telah menjadi sesuatu yang tidak asing lagi bagi umat Islam. Jika ini tidak segera di sadari oleh generasi muda, orang tua, masyarakat maupun pemimpin maka tidak tahu apa jadinya generasi muda Islam kedepannya. Oleh karena sangat diperlukan bagi generasi muda perhatian serta bimbingan dari orang tua, kepedulian dari masyarakat, serta tanggungjawab dari pemerintah. Jika dari segala aspek telah bisa bekerjasama dan peduli kepada generasi muda maka akan terciptalah generasi yang tangguh akan segala hal dan prilaku yang akan mendangkalkan akidahnya. Bahkan bisa menjadi penghalang terhadap pendangkalan akidah kedepannya bagi generasi selanjutnnya. Adapun hal yang dapat dilakukan umat islam untuk menghindari kesyirikan dari percaya terhadap ramalan, yaitu ;

Beriman kepada Takdir Allah
      Islam mengajarkan untuk berserah diri pada ketentuan nasib (takdir) sebagai bagian dari iman kepada Qadha dan Qadar Allah. Sikap ini sangat penting untuk membebaskan diri dari segala bentuk peramalan. Sangatlah manusiawi jika manusia mempunyai harapan, impian atau cita-cita di masa depan, namun hal tersebut janganlah keingintahuan yang tinggi kan masa depan menjadikan dia buta sehingga melangar apa yang telah Allah atur. Islam telah mengatur segalanya, Allah mengharamkan segala bentuk dengan pemanfaatan, penggunaan dan/atau mempercayai segala praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah).
     
      Jika seorang mukmin mempunyai harapan, impian atau cita-cita, maka bulatkanlah tekad (azam) lalu bertawakallah kepada Allah, seraya dibarengi dengan ikhtiar (usaha) semaksimal mungkin. Perkara hasil, serahkanlah semuanya kepada Allah karena hasil pada dasarnya merupakan pemberian dari Allah. Allah mempunyai hak penuh untuk mengabulkan sesuai permohonan hamba-Nya atau tidak. Yakinlah apa yang telah Allah rencanakan itu adalah baik, jangan gunakan kacamata manusia. Allah SWT berfirman:
 “… apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran [3] : 159).

      Berdoalah kepada Allah hal-hal yang baik untuk masa yang akan datang, karena doa adalah senjata orang yang beriman. Jika hasil sudah sesuai harapan (diberi nikmat) maka bersyukurlah, namun jika belum sesuai harapan (ditimpa musibah) maka bersabarlah karena segala urusan seorang beriman adalah baik, sebagaimana Nabi bersabda: “Aku takjub dengan perihal orang yang beriman. Semuanya ada kebaikan. Tidak ada sesuatu kebaikan pun kecuali ianya untuk orang beriman. Apabila diberikan sesuatu nikmat, dia bersyukur. Maka itu baik baginya. Apabila diuji dengan suatu ujian, dia akan bersabar. Maka itu juga baik baginya” (Hadis Riwayat Imam Muslim).
     

G. Penutup

1. Kesimpulan
   Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan mendasar tentang ramalan dan pendangkalan akidah yang terjadi saat ini, yaitu :
a. Ramalan merupakan perbuatan syirik yang dilarang oleh Allah SWT, dan bagi pelaku baik yang meramal dan yang mempercayai hasil ramalannya maka berdosa besar.
b. Islam mengajarkan umatnya untuk tidak percaya dan menghindari ramalan. Salah satu langkahnya umat Islam diajarkan untuk percaya dan yakin terhadap adanya takdir yang sudah Allah SWT tetapkan. Selanjutnya bagi umat Islam yang memiliki keinginan dan cita-cita dalam sesuatu hal harus berikhtiar atau berusaha dan dibarengi dengan doa. Setelah usaha dan doa dilakukan maka umat Islam harus bertawakal menerima segala sesuatu yang didapatkan. Jika hasil sudah sesuai harapan (diberi nikmat) maka bersyukurlah, namun jika belum sesuai harapan (ditimpa musibah) maka bersabarlah karena segala urusan seorang beriman adalah baik, sebagaimana Nabi bersabda: “Aku takjub dengan perihal orang yang beriman. Dengan demikian umat Islam tidak perlu untuk percaya terhadap ramalan yang hanya kebohongan belaka serta sangat dilarang oleh Allah SWT.
2. Saran
a. Kepada umat Islam dilarang untuk percaya terhadap ramalan dan melakukan ramalan terhadap orang lain
b. Umat Islam harus percaya dan meyakini bahwa sesungguhnya manusia memiliki takdir hidup masing-masing yang sudah ditentukan Allah SWT


Endnote
1. Dr. Suryan A. Jamrah. MA, Studi Ilmu Kalam, Pekanbaru: UIN SUSKA Riau dan LSFK2P, 2007. Hal 35
2. Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: AMELIA, Tanpa Tahun.hal 23
3. Prof. Dr. H. Abuddin Nata. MA, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.hal 84
4. Ibid.hal 85
5. Dr. Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahim Bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir ibnu Katsir, jilid 8, Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2006.hal 111-112
6. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, kesan, dan Keserasian Al-Qur’an jilid9, Jakarta: Lentera Hati, 2009. hal 457-460
7. M.Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an, Jakarta: Tanpa Penerbit dan Tanpa Tahun. 2011.hal 60-67
8. Kusnadi, Akidah Islam dalam Konteks Ilmiah Populer, Jakarta: Amzah, 2007.hal 2
9. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, kesan, dan Keserasian Al-Qur’an jilid10, Jakarta: Lentera Hati, 2002. hal 259-261
10. Dr. Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahim Bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir ibnu Katsir, jilid 3, Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2000.hal 648-649
11. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Kesesatan Ramalan Bintang, Jakarta: Akbar, 2004. Hal 32.
     
     

Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan Terjemahan
A. Jamrah Suryan, Studi Ilmu Kalam, Pekanbaru: UIN SUSKA Riau dan LSFK2P, 2007.

Anwar Desy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: AMELIA, Tanpa
Tahun.

Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Alu Syaikh Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahim Bin Ishaq, Tafsir ibnu
Katsir, jilid 8, Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2006.

Shihab M. Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan, kesan, dan Keserasian Al-Qur’an jilid9, Jakarta: Lentera Hati, 2009.

Shihab M.Quraish, Ensiklopedia Al-Qur’an, Jakarta: Tanpa Penerbit. 2011.

Kusnadi, Akidah Islam dalam Konteks Ilmiah Populer, Jakarta: Amzah, 2007.

Shihab M. Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan, kesan, dan Keserasian Al-Qur’an jilid10, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Alu Syaikh Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahim Bin Ishaq, Tafsir ibnu Katsir, jilid 3, Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2000.

Al-Jauziyah Ibnul Qayyim, Kesesatan Ramalan Bintang, Jakarta: Akbar, 2004.      

Oleh: Alfuzanni*
*Peserta Musabaqah Makalah Qur’an Kab.Pelalawan 2014
sumber gambar : riau.kemenag.go.id

Di Indonesia, sebagai sebuah negara yang memiliki penduduk yang bermacam-macam suku dan adat istiadat tentu memiliki tradisi yang bermacam-macam pula. Tradisi itu lahir dari kebiasaan nenek moyang masing-masing suku. Salah satu tradisi yang masih sangat kental di tanah melayu Riau adalah Balimau Kasai yang diadakan setiap satu tahun sekali, ketika akan menyambut bulan suci ramadhan.

Tradisi mandi balimau kasai ini sudah sangat melekat sekali di tanah melayu Riau ini. Karena tradisi ini dapat dipastikan setiap tahun tidak pernah absen diadakan baik oleh masyarakat maupun dari pemerintah daerah setempat.

Balimau Kasai adalah tradisi mandi menggunakan jeruk nipis yang awalnya berkembang dari kalangan masyarakat zaman dahulu dan biasanya dilakukan pada kawasan tertentu yang memiliki aliran sungai dan tempat pemandian. Diwariskan secara turun temurun, tradisi ini dipercaya telah berlangsung selama berabad-abad. Latar belakang dari Balimau Kasai adalah membersihkan diri secara lahir dan batin sebelum memasuki bulan Ramadhan, sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu menyucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa. Secara lahir, mensucikan diri adalah mandi yang bersih.

Balimau Kasai merupakan sebuah upacara tradisional yang istimewa bagi masyarakat Pelalawan di Provinsi Riau untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Acara ini biasanya dilaksanakan beberapa menjelang masuknya bulan puasa. Upacara tradisional ini selain sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan memasuki bulan puasa, juga merupakan simbol penyucian dan pembersihan diri. Balimau sendiri bermakna mandi dengan menggunakan air yang dicampur jeruk yang oleh masyarakat setempat disebut limau. Jeruk yang biasa digunakan adalah jeruk purut, jeruk nipis, dan jeruk kapas.

Sedangkan Kasai adalah wangi-wangian yang dipakai saat berkeramas. Bagi masyarakat Pelalawan, pengharum rambut ini (kasai) dipercayai dapat mengusir segala macam rasa dengki yang ada dalam kepala, sebelum memasuki bulan puasa. Zaman dahulu tidak setiap orang bisa mandi dengan bersih, baik karena tak ada sabun, maupun wilayah yang kekurangan air, atau bahkan karena sibuk bekerja dan sebab yang lain. Saat itu pengganti sabun di beberapa wilayah adalah limau (jeruk nipis), karena sifatnya yang melarutkan minyak atau keringat di badan.

Sebenarnya upacara bersih diri atau mandi menjelang masuk bulan ramadhan tidak hanya dimiliki masyarakat Pelalawan saja. Kalau di Pelalawan upacara ini sering dikenal dengan nama Balimau Kasai Potang Mamogang, maka di Kota Kampar lebih dikenal dengan nama Balimau Kasai saja. Di Sumatera Barat juga dikenal istilah yang hampir mirip, yakni Mandi Balimau. Khusus untuk Kota Pelalawan, tambahan kata Potang Mamogang mempunyai arti menjelang petang karena menunjuk waktu pelaksanaan acara tersebut.

Pada tahun ini, pemerintah kabupaten Pelalawan tetap mengadakan tradisi tersebut dengan mengangkat tema Balimau Negeri Amanah yang terdiri dari dua acara, yang pertama acara Balimau Sultan Pelalawan yang diadakan pada hari senin tanggal 21 Juni 2014 di kecamatan Pelalawan tepatnya dipinggir sungai Pelalawan dekat Istana Sayap. Kedua acara Balimau Kasai Potang Mamogang yang diadakan pada hari Kamis tanggal 26 Juni 2014 di kecamatan Langgam.

Balimau Sultan Pelalawan yang diadakan pada hari senin tersebut dihadiri oleh bupati Pelalawan H.M Harris dan wabup. Selain itu juga dihadiri oleh Sultan Pelalawan T.S. Kamaroedin Haroen, ninik mamak, tokoh masyarakat, tokoh adat beserta pihak-pihak terkait.

Mandi Balimau kasai tersebut bukanlah termasuk sunnah rosulullah, melainkan hanya sebagai tradisi semata yang memiliki nilai filosofis yang tinggi bagi masyarakat pelalawan dan sekitarnya, Selain momen membersihkan diri secara zahir, mandi Balimau Kasai juga merupakan momentum untuk menjalin silaturrahmi dan acara saling maaf memaafkan dalam rangka menyambut tamu agung yaitu Syahru Ramadan Syahrus Siyam, jadi bukanlah sebuah keyakian yang memiliki dalil naqli secara qat’i. tapi ini lebih kepada sebuah adat yang bersendikan syara’ (Syariat Islam) syara’ bersandikan Kitabullah yang secara filosifisnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan zaman hari ini, secara langsung maupun tidak memberikan dampak positif dan negative terhadap kehidupan kita. Dalam kerangka adat istiadat, banyak terjadi distorsi sejarah, salah interpretasi terhadap nilai-nilai adat yang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan, termasuk mandi Balimau Kasai. Bisa di lihat dari tahun ketahun kegiatan mandi Balimau Kasai sebagian telah dinodai dengan tindakan yang yang berseberangan dengan syariat Islam, diantaranya berhura-hura, berboncengan laki-laki dan perempuan yang bukah muhrim, mandi massal yang bercampur antara laki-laki dan perempuan, mabuk-mabukan sampai kepada musik yang menjauhkan masyarakat dari mengingat Allah Swt.

Padahal dulunya, tradisi ini merupakan hal yang tergolong urgen dan sakral. Sebelum memasuki bulan puasa atau sebelum magrib, anak kemenakan dan menantu atau juga yang tua serta murid akan mendatangi orang tua, mertua, mamak (paman), kepala adat, atau guru ngaji mereka datang dalam rangka meminta maaf menjelang masuk bulan suci.

Namun, pada pelaksanaan Balimau Kasai Potang Mamogang yang diadakan di Kabupaten Pelalawan yang bertempat di sungai Pelalawan samping Istana Sayap yang terbakar beberapa waktu lalu tidak tampak adanya budaya negatif seperti mandi bercampur baur antara laki-laki dan perempuan. Pada acara tersebut, penyiraman air Balimau Kasai dilakukan oleh bupati Pelalawan terhadap camat, lurah, kepala desa dan beberapa orang lainnya. Setelah itu acara selesai, yang kemudian dilanjutkan oleh anak muda laki-laki mandi disungai beberapa orang saja.

Dengan demikian, semoga tradisi yang diadakan setiap tahun sekali di kabupaten Pelalawan itu tidak merusak nilai-nilai Islami yang sesungguhnya mensucikan diri dalam menyambut bulan Ramadhan. Bulan yang penuh dengan keberkahan dan bulan penuh ampunan. Sehingga, sebagai umat Islam mendapatkan keberkahan dan ampunan dari Allah SWT.


Susanto al-Yamin adalah guru, penulis dan da’i muda asal Riau. Pernah menerima penghargaan sebagai Pemuda Pelopor Nasional Bidang Pendidikan Kemenpora RI tahun 2014. Ia juga pernah meraih juara cabang Menulis Makalah Ilmiah Al-Qur’an (M2IQ) pada MTQ Nasional tahun 2012 di Ambon, Maluku.  

    Beberapa tulisannya telah terbit dalam buku Renaisans; Sebuah Percikan (Pekanbaru: LPP UIN Suska Riau, 2011), buku Mutiara Dakwah (Pekanbaru: MDI Provinsi Riau, 2013), dan yang paling fenomenal adalah buku Pendidikan Anti Korupsi: Memotong Generasi Korup (Yogyakarta: WR, 2015). Ia juga pernah diminta menjadi tim penulis buku Paduan Musabaqah Makalah Al-Qur’an (Pekanbaru: LPTQ Bengkalis, 2017), dan buku Al-Qur’an dan Problema Kebangsaan: Kumpulan Karya Terbaik MMQ Rohil (Yogyakarta: WR, 2019). Ia juga kerap diminta menjadi editor, memberikan endors, dan menulis prolog buku.

       Tulisan-tulisannya juga sering dimuat di media cetak maupun online, diantaranya: Riau Pos, Koran Riau, Majalah Dinamis Kanwil Kemenag Riau, Tribun Pekanbaru, Buletin Bandung Agamis MUI Kota Bandung, Harian Sumut Pos, Metro Siantar, Harian Babel Pos, Manado Pos, Jambi Ekspres, Radar Sulbar, Radar Tegal, Posmetro Rohil, Majalah Ahsanta, dan sejumlah media online lainnya.

          Selain menulis, ia juga aktif menjadi hakim dan pelatih MMQ Kabupaten Rokan Hilir dan Kota Dumai, mengisi seminar dan pelatihan terutama tentang kepenulisan dan MMQ di berbagai kabupaten/kota di Riau. Beberapa binaannya berhasil meraih juara dalam berbagai perlombaan menulis baik di tingkat kabupaten maupun nasional. 

              Dalam rangka membumikan dakwah lewat tulisan, juara M2IQ yang dikenal produktif berkarya ini bersama teman-temannya mendirikan Pondok M2IQ Riau; sebuah komunitas sederhana tanpa fasilitas memadai namun memiliki semangat berkarya. M2IQ merupakan singkatan dari Menulis Makalah Ilmiah al-Qur’an, yang merupakan salah satu cabang yang diperlombakan dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Dari wadah yang didirikannya ini, ia  berharap mampu melahirkan generasi muda yang unggul dan produktif dalam  menghasilkan karya tulis, baik karya M2IQ maupun karya tulis bernuansa dakwah lainnya. Menurutnya, siapapun boleh bergabung dan belajar di Pondok M2IQ Riau. 

            Bagi yang ingin bersilaturahim dan berbagi pengalaman, ia menyediakan alamat e-mail: 

susanto_alyamin@yahoo.com dan pondokm2iqriau@gmail.com. Atau dapat mengunjungi Blog: pondokm2iq.blogspot.com.