Showing posts with label Ali M Hassan Palawa. Show all posts
Showing posts with label Ali M Hassan Palawa. Show all posts
Oleh: Ali M. Hasan Palawa***
Manusia pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur al- Jasm (jasmani, raga atau fisik), al-Nafs (nafsani, jiwa atau psikis), al- Ruh (rohani, sukma atau spirit). Ketiga unsur ini merupakan satu susunan kesatuan yang tidak dapat dipisah (integral) dan utuh (totalitas) dalam membentukan kedirian manusia. Akan tetapi, secara sederhana, demi mengikuti pemahaman masyarakat awam, Raja Ali Haji hanya membangi manusia dua unsur: rohani dan jasmani. Meskipun demikian, pada penjelasan-penjelasan berikutnya secara implisit Raja Ali Haji mengakui pembagian tiga unsur manusia: ruhani, nafsani dan jasmani. Kebenaran pernyataan disebut belakangan terlihat ketika Raja Ali Haji, misalnya menganjurkan agar penguasa memelihara ketiga unsur manusia tersebut, yaitu memelihara nyawa (rohani), memelihara nama (nafsani) dan memelihara badan (jasmanai).

Memelihara Ruhani.

      Pengertian al-ruh secara sederhana, menurut Raja Ali Haji, sama dengan nyawa yang befungsi sebagai sumber kehidupan manusia. Dalam pengertian semacam ini, ruh adalah “jisim yang halus yang terus-menerus hidup.” Roh dalam pengertian ini tetap menjadi rahasia Ilahi, sementara pemahaman manusia tentang ruh sangat terbatas. Dalam mempertegas argumentasinya, ia mengutif firman Allah: “ yasalûnaka ‘ani al-rûh kul al-rûh min ‘amri rabbî wa ma ûtîtum min al-‘ilmi illâ qalîlâ (dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Q.S. al-Isra’ [17]: 85). Bahkan Raja Ali Haji menyarankan bagi masyarakat awam untuk tidak membicarakannya, melainkan mengikuti saja pengertian ruh yang telah dijelaskan para ulama terdahulu. Raja Ali Haji menyarankan untuk mengikuti penjelasan ulama, mislanya pendapat Imam Haramain, Imam al-Ghazali, Syekh Ibrahim al-Laqani dan Imam Nawawi al-Banteni. (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, hal. 291-292 dan 28).

     Pada bagian lain, Raja Ali Haji terkadang juga secara umum dan sederhana mengkategorikan ruh sama dengan al-akal, al-qalb, dan al-nafs. (Raja Ali Haji, Tsamarat al-Muhimmah: 40) Misalnya, ia menyebutkan bahwa ruh merupakan entitas yang juga mengatahui hakekat segala sesuatu. Maka dalam pemahamahan semacam ini, ruh sama fungsinya dengan akal. Begitu pula, ruh berarti sama dengan al-kalb (hati) yang dapat merasakan kebahagian dan kesengsaraan. Ruh, juga merupakan “alat” bagi jasmani (badan atau raga) dan sumber mobilitas segala aktifitas manusia. (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa:. 292) Maka ketika ruh mengalami kerusakan akan berimplikasi mudharat kepada seluruh anggota badan. Oleh karena itu, melihat urgensi eksistensi roh, Raja Ali Ají menyimpulkan bahwa memelihara ruh hukumnya adalah wajib.

      Menurut Raja Ali Haji, sebab mula terjangkitnya “penyakit” pada rohani bagi manusia (baca: penguasa) dikarenakan “kedatangan beberapa bala’ dan susah atau anwa ‘ul bala’”. Hal tersebut dapat dilihat dari, sebagaimana dikutip secara in extenso dari Tsamarat al-Muhimmah: “Pertama, pada rezeki yakni sebab kepicikan rezeki yaitu hidup sebab papa; kedua, sebab kedatangan penyakit pada badan dan kepada tubuh; ketiga, sebab bercerai dengan kekasih, sama ada kepada manusia, seperti kematian anak-istri atau sanak keluarga, kaum kerabat dan sahabat handai atau sebab bercerai dengan kekasih, sayang daripada pangkat dan kebesaran dan kemulian …; keempat, dengan sebab kedatangan susah dari pada pihak yang ditakutkan hilang nyawa atau mudharat kepada badan yaitu kesusahan pada pihak seteruan, seperti di dalam permusuhan dan pergaduhan atau lainnya segala pekerjaan yang ditakuti; kelima, sebab kedatangan dihina-hinakan manusia atau barang sebagainya segala pekerjaan yang jatuh dirinya yang jadi menyusahkan dia….”
     Adapun cara mengobati penyakit rohani ini, pada hemat Raja Ali Haji, adalah dengan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadist serta nasehat-nasehat para ulama, dan “hendaklah sekedudukan dengan orang yang berilmu dan orang-orang sholeh”. Bahkan Raja Ali Haji menyarankan agar berdoa memohon pertolongan Allah guna mengobati penyakit ruh tersebut lewat sembahyang hajat. Lebih lanjut dalam mengobati penyakit ruh ini, Raja Ali Haji merekomendasikan, “Syahdan jika hendak terang kenyataan perkara yang tersebut itu hendaklah mentala’ah kitab-kitab ahli sufi seperti kebanyakan kitab al-Ghazali dan lainnya, intaha.” Raja Ali Haji, Tsmarat al-Muhimmah: 44).

     Kalaupun bala’ tersebut telah menimpa, Raja Ali Haji menganjurkan’ “hendaklah berbaik sangka kepada Allah Ta’ala sebab hikmahnya tiada kita ketahui.” Dalam menerima cobaan, di samping mengupayakan penyembuhannya, hendaknya dihadapi dengan ridha, “tidak berkeluh kesah dan mengadu kesana kemari,” penuh kesabaran serta tawakkal kepada Allah. Kerena “Allah mengasihi orang sabar dan meluaskan orang tawakkal.” Dengan begitu, Allah akan memberikan balasan yang lebih baik dan akan memberikan pahala bagi orang yang bersabar dan bertawakkal di dalam menghadapi cobaan. Anugrah dan pahala bagi orang yang sabar dan tawakkal, kata Raja Ali Haji, tidak saja akan diperolah di akhir, tetapi juga di dunia ini, sebagaimana yang telah dianugrahakan Allah kepada Nabi-nabi-Nya.

Memelihara Nafsani

     Manusia adalah makhluk yang, menurut Raja Ali Haji, diciptakan dari tiada menjadi ada (cretion ex nihilo). (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 28).Unsur kedirian manusia yang paling “hakiki dan sejati” adalah al-nafs (nafsani, jiwa atau psikis). Ia disebut demikian karena al-nafs berada dan segaligus “terombang ambing” antara pengaruh baik al-Ruh (rohani, sukma atau spirit) dan “pengaruh” buruk dari al-Jism (jasmani, raga atau fisik). Dalam pengertian ini, refresentasi perwujudan al-nafs ini dalam diri manusia adalah al-qalb (arti harfiahnya bolak-balik). Al-Qalb (hati) adalah cerminan bagi perbuatan baik dan buruk manusia. Kalau al-qalb dekat dan mengikuti pengaruh al-ruh, ia akan menjadi baik dan terangkat derajat kemanusiaanya, sebaliknya kalau al-qalb dekat dan mengikuti pengaruh al-jasm, ia akan menjadi buruk dan terjatuh derajat kemanusiannya. 

    Karenanya, untuk menuju kembali kesempurnaan diri manusia, menurut Nurcholish Madjid, ada tiga jenjang perjuangan pribadi yang harus dilakukan. Pertama, jenjang al-nafs al-ammârah bi al-su‘, yaitu berjuang dan mengalahkan dorongan “nafsu amarah” kepada kejahatan. Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (Q.S. Yusuf [12]: 53). Kedua, jenjang al-nafs al-lawwâmah, yaitu membangun kesadaran disertai dengan penyesalan akan kejahatan diri, “nafsu lawwamah”. Al-Qur’an menyebutkan, “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (Q.S. al-Qiyamah [75]:2.) Ketiga, jenjang al-nafs al-muthma‘innah, yaitu menggapai kebahagian surgawi dengan jiwa yang damai. Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku.” (Q.S. al-Fajr [89]:27-30).

    Eksistensi manusia diukur, dalam pandangan Islam, sangat tergantung dari akhlaknya yang kemudian dimanifestasikan dalam amal-amal shaleh. Islam tidak terlalu menekannkan prinsip “cogito ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada), sebagimana dianut oleh filosuf rasionalis Barat, Rene Descartes, tetapi lebih pada prinsip “labora ergo sum” (aku beramal, maka aku ada). Artinya, ukuran keberadaan seseorang lebih ditentukan amal-perbuatnnya, bukan yang lainnya, semisal kepandaian. Karenanya, seseorang yang beramal baik akan mendapat sebutan/ nama baik, sebaliknya seorang yang beramal jelek akan mendapat sebutan/ nama jelek pula. Dalam “Syair Nasehat” Raja Ali Haji menyebutkan: Jalan kehidupan ditunjukkan/ Berkebun berladang disukakan// Berbuat baik dipujakan/ Berbuat jahat dihinakan//
Untuk itu, menjaga/ memelihara nama baik, kata Raja Ali Haji, sama pentingnya “memelihara agama”. Kongkritnya, ia mengatakan untuk dirinya, “biaralah kita jadi orang miskin atau jadi orang kecil asal jangan kita cacat kepada agama dan nama. Karena apabila orang2 tiada memelihara yang dua perkara itu, tiada guna panjang umur di dunia karena sama juga dengan binatang.” (Ian van der Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan: 60). Umur panjang tiada artinya, tanpa menorehkan nama baik lewat amal sholeh. Dengan melakukan amal sholeh manusia sepeninggalannya akan dikenang kerena nama baiknya, seperti kata pribahasa manusia mati meninggalkan nama. Sebaliknya, manusia yang tidak melakukan amal sholeh, kedudukannya sama dan bahkan mungkin lebih rendah dari binatang. Bukankah binatang dikenang orang kerena sesuatu yang ada pada dirinya dan bermamfaat bagi manusia, seperti ungkapan pribahasa, “harimau mati meninggalkan belang.” 

     Oleh sebab itu, apabila seorang penguasa ingin mendapat predikat baik (nama baik), menurut Raja Ali Haji, hendaknya menunjukkan sikap-sikap yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Menurutnya, sejelek-jelek sebutan (asma’ al-sayyiah) atau seburuk-buruk akhlak (akhlaq al-madzmûmah) bagi seorang penguasa adalah sebutan zalim, bodoh, lalai, dan penakut. Sebaliknya, sebaik-baik sebutan (asma’ al-hasanah) atau semulia-mulia akhlak (akhlaq al-mahmûdah) bagi seorang penguasa adalah adil, cerdas, rajin dan pemberani. Diantara keempat tersebut yang paling hina dan keji disandang bagi seorang pengasa adalah sebutan zalim. Begitu pula sebaliknya, sebutan yang paling mulia dan terpuji bagi seorang penguasa, sebagaimana disebutkan dalam Tsamarat al-Muhimmah, adalah sifat adil. Karenanya, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Raja Ali Haji menjadikan sifat “adil” salah satu syarat utama untuk pengkatan seorang penguasa. 

     Raja Ali Haji memberikan pelajaran bahwa kalau hati itu di dalam tubuh, ibaratnya “raja di dalam kerajaan”. Kalau hati tidak dipelihara dari sifat zalim, misalnya, akan berakibat pada kehancuran segala anggota tubuh. Ibaratnya kalau seorang raja tidak terpelihari dari sifat zalim, misalnya, akan berakibat kehancuran pada kerajaan. Persisinya dalam Gurindam Duabelas Raja Ali Haji berutur dengan indahnya: “Hati itu kerajaan di dalam tubuh/ jikalau zalim segala anggotapun rubuh.” Begitu pula dalam kedirian seorang penguasa, beberapa sifat yang tercela dan hina sebagai “penyakit hati” yang harus ditinggalkan oleh penguasa demi menjaga kredibilitas (nama baik) di mata rakyatnya. Raja Ali Haji menyembut cara melihara hati dengan cara menjahui sifat yang tercela, seperti takabur, iri hati: “Adapun “hati” pula hendakalah peliharakan dia daripada takabur yakni membesarkan diri, melihat dirinya lebih semata-mata baik pada bangsa atau pada rupa atau pada harta atau pada ilmu. Maka yaitu ditegahkan oleh syarak. Dan demikian lagi hendaklah peliharakan dia daripada dengki akan seseorang yang mendapat nikmat. Dan hendaklah dipeliharakan dia daripada segala kejahatan hati seperti yang tersebut di dalam beberapa kitab karangan ulama yang besar-besar, istimewa pula di dalam Qur’an dan di dalam Hadis. Syahdan jika engkau berkehendak rujuklah engkau kepadanya adanya.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 79). Selanjutnya, untuk memelihara sifat baik (akhlâq al-mahmûdah) dan menjuhi sifat buruk (akhlâq al-madzmûmah) tersebut, menurut Raja Ali Haji, “tiada dapat tiada, hendaklah kita ketahui tertib segala penyakit hati yang membawa kepada anggota zahir,” seperti apa yang diuraikan dengan panjang lebar dalam bagian “khatimah” (penutup) Tsamarat al-Muhimmah. 

*Penulis adalah Mahasiswa S3 Sekolah Pasca-sarjana UIN Jakarta, dan salah seorang Pembina Pondok M2IQ Riau.

Unduh tulisan ini :


Terimakasi telah mengunjungi 

PONDOK M2IQ RIAU



Oleh: Ali M. Hassan Palawa***

       Negeri kepulauan nan elok-permai disebut-sebut sebagai gugusan zamrud khatulistiwa ini pada awalnya dikenal sebagai negari yang aman dan damai. Begitupun, penduduknya dikenal ramah, santun dan toleran serta berlapang dada. Dulu, orang luar mungkin iri dan menyesal tidak dilahirkan di negari ini, dan kita merasa tersanjung dengan sebutan itu sekaligus bangga dilahirkan di sini.

      Akan tetapi, belakangan negeri ini berubah menjadi negeri yang mengerikan dengan bom-bom yang meledak silih-berganti diberbagai tempat. Demikian pula, gelar yang disandang penduduknya tersebut hilang disapu, setidaknya, dicederai oleh serentetan konflik etnis yang mengenaskan disejumlah wilayah. Saat ini, orang luar tidak perlu lagi iri dan malah merasa beruntung tidak dilahirkan di sini. Dan kita menjadi malu sendiri melihat kondisi bangsa ini, meskipun belum/tidak menyesal dilahirkan di bumi pertiwi. 

      Kita bangga dan ternina-bobokan dengan keindahan dan kekayaan alam, tetapi ketika kita sadar, ternyata kita mendapatkan diri kira miskin dan malah termasuk negeri peringkat ketujuh terkorup di dunia. Kita terlena dengan keramahan-tamahan dan tolerensi penduduk negeri ini, padahal kita belum pernah diujui. Ketika diuji, ternyata, dibalik nilai-nilai positif dan baik itu dalam diri bangsa ini tersimpan potensi negatif dan buruk: kejam, sadis dan bringasan. Potensi yang disebut terakhir ini dapat saja aktus lagi dimana, kapan, dan oleh siapa saja. 

    Potensi-potensi negatif dan buruk itu harus diwaspadai karena sebentar lagi negeri ini akan menyelenggaran perhelatan akbar, pesta demokrasi: Pemilihan Umum (Pemilu) yang diawali dengan kampanye oleh kontestan partai-partai politik. Kewaspadaan itu menjadi semakin penting karena menurut analisa BIN, pemilu 2004 berporensi gagal. Potensi kegalalan pemilu, menurut kepala BIN, AM Hendoropriyono, ada dua faktor. Pertama, faktor internal: kesiapan KPU sebagai penyelenggaran pemilu; dan kedua, faktor eksternal: terkait dengan situasi keamanan dan ketertiban.

       Sedikit menggembirakan bahwa diantara kedua faktor ini, menurut kesimpulan BIN, faktor pertama lebih dominan dalam menentukan gagal atau tidaknya pemilu. Sementara faktor kedua, menurut Kepala BIN, kemanan dan ketertiban menjelang pemilu tidak akan sampai menggangu dan menggagalkan pemilu (Riau Pos. 4 Maret). Disebut sedikit menggembiran, karena kalau pemilu gagal karena faktor pertama, ongkosnya hanya lebih bersifat finansial, tenaga dan pikiran, khususnya dari penyelenggara pemilu.

        Namun, sekali lagi, tetap saja bangsa ini harus tetap waspada. Karena kalau ternyata kegagalan pemilu disebabkan justru oleh faktor kedua, maka ongkos dan resiko yang akan ditangung oleh bangsa ini sunguh luar besar dan berat. Kegembiraan yang tersisa sedikit tadi akan habis, dan yang tinggal hanyalah kepiluan dan ratapan berkepanjangan. Dapat dibanyangkan, ketika keamanan dan ketertiban tidak terjaga, sangat memungkinakan akan terjadi konflik horisontal antara massa-massa pendukung-pendukung (fanatik) partai. Akibatnya, kerusahan terjadi dan boleh jadi ongkos pemilu akan dibayar oleh darah-darah, bahkan nyawa dari anak-anak bangsa. Nauzu billah.

       Agar pemilu kali ini berhasil, apa lagi tidak berdarah-darah, kecerdasan intelektual (pengetahuan tentang politik, demokrasi, pemilu, dll.) yang dimiliki oleh masyarakat tidak memadai dan menjamin. Justru yang lebih menjamin adalah kecerdasan emosional. Bagaimana masyarakat memaknai perbedaan pendapat dengan jiwa toleran dan berlapang dada (hanif al-samhah). Karena orang yang memiliki kecerdasan intelektual, tinimbang masyarakat yang mempunyai kecerdasan emosional, justru yang cenderung berpeluang bersifat jahiliyah.

      Jahiliyah, akar kata dari “jhl” selama ini senantiasa dikontradiktifkan (sebagai lawan kata) dengan kata “Ilm”. Padahal, dalam kebudayaan dan kesusatraan pra-Islam ditemukan kata jhl yang, menurut penelitian Goldziher, arti pokoknya bukan lawan kata ilm (kepintaran), melainkan lawan kata dari hilm. Kata “hilm” dalam bahasa Arab artinya kelamah-lembutan; ketenangan (sakinah); sifat menahan diri dan taqwa, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an: Ketika orang kafir membangkitkan dalam hatinya kesombongan --kesombongan jahiliyah-- maka Allah menurunkan ketenangan atas rasul dan mereka yang beriman, dan mewajibkan mereka menahan diri. Dan mereka memang berhak dan patut memilikinya. Dan Allah mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Fath [48]: 26).

      Jadi, orang-orang kafir disebut jahiliah bukan kerena mereka tidak berilmu pengetahuan, apa lagi bodoh (tidak pintar). Malah orang-orang Arab pra-Islam sangat masyhur dengan kecerdasan intelektualnya, misalanya ditandai dengan kekuatan hafalannya. Akan tetapi, orang-orang pra-Islam disebut jahiliyah lebih karena mereka tidak dapat menahan diri dan sikap berutal mereka. 

     Sikap kejam dan tanpa prikemanusia ini dengan jelas tercermin, misalnya, pada diri Khalid bin Walid, ketika ia diutus oleh Rasul untuk menyampaikan misi keislaman dan berdakwah mengajak orang-orang di daerah sekitar Mekkah untuk masuk Islam. Sebelumnya Rasul memerintahkan Khalid bin Walid melaksanakan tugas tersebut secara damai serta tidak melakukan kekerasan dan pertumpahan darah. Tetapi apa yang terjadi, setelah sampai ditujuan, Khalid berseru: ”Letakkan senjata, karena setiap orang telah memuluk Islam.” Begitu orang-orang di sekitar Mekkah meletakkan senjata, Khalid memerintahkan pasukannya, “ikat tangan mereka ke belakang dan pancung leher meraka.” Ketika berita ini sampai di telinga Rasul, ia menyuruh Ali bin Abi Thalib ke sana dan menyelidiki kejadian tersebut serta “memerintahkan agar menghapus semua praktek-praktek jahiliah.” 

    Begitu juga, kejadian serupa tampak nyata lima puluh tiga tahun sepeninggalan Rasul, ketika dinasti Umayyah melakukan belas dendam terhadap orang Anshar yang mendukung khilafah Abdullah bin Zubair, sampai tega membombardir kota Madina, memperkosa para gadisnya, membunuh sekitar 80 orang sahabat Rasul dan membunuh sekitar sepuluh ribu orang Anshar dan keturunnanya. Jelas bahwa sikap ini merupakan aspirasi jahiliyah. 

     Setelah itu, untuk mengelimasi kebobrokan pada masa dinasti Umayyah, dibuatlah konsep baru tentatng jahiliyah dengan menambah kata “zaman.” Sehingga kesannya, zaman jahiliyah telah berlalu dengan datangnya Islam. Padahal, jahiliyah tidak terkait dengan “zaman” yang merujuk pra-Islam atau diidentikkan dan didefinisikan dengan masa sebelum kelahiran Nabi Muhammad. 

      Namun, jahiliyah lebih merupakan sikap kejiwaan yang tetap ada sampai kedatangan Islam, bakan hingga saat ini, sampai-sampai kita mengenal istilah “Jahiliah Modern” lewat sebuah judul buku, misalnya. Sebagai orang yang hidup zaman modern yang akan melaksanakan pemilu, nota bene piranti demokrasi yang diklaim milik orang modern, kiranya kita memiliki kecerdasan hilmiyah, bukan kecerdasan jahiliyah.
Ma taufiq wa al-hidayah illah billah.

*Penulis adalah Mahasiswa S3 Sekolah Pasca-sarjana UIN Jakarta, dan salah seorang Pembina Pondok M2IQ Riau.

Tulisan ini bisa di download dalam format PDF dan Word, pilih dibawah :


Terima kasih telah mengunjungi

PONDOK M2IQ RIAU






Oleh: Ali M Hassan Palawa

Penulis adalah Mahasiswa S3 Sekolah Pasca-sarjana UIN Jakarta, dan salah seorang Pembina Pondok M2IQ Riau.
       Proses  pemurnian kepercayaan kepada Allah, tidak berhenti hanya pada  Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah, tetapi harus pla diikuti dengan Tauhid Husuniyyah. Artinya, setelah seorang mengakui bahwa Allah satu-satunya Wujud yang mencipta/ memelihara; dan bahwa Allah satu-satunya Wujud yang harus disembah, maka seseorang harus meneruskan pada sebuah kesadaran tauhid bahwa Allah adalah satu-satu Wujud Yang Terbaik dan Pengawas serta senantiasa hadir agar manusia berbuat (juga) yang terbaik.

       Dewasa ini, tidak sulit melihat dengan kasat mata ada orang yang saleh secara individul dengan indikasi, misalnya, rajin salat lima waktu, menunaikan ibadah haji ke Makkah sampai dua-tiga kali, serta umrah saban waktu dikehendakinya. Adalah benar bahwa ibadah umrah, haji dan terutama salat sebagai wujud nyata pengejawantahan yang paling representatif dari Tauhid Uluhiyyah. Akan  tetapi, ia tidak memaknai ibadah-ibadah tersebut sebagai kesalehan pribadi yang mempunyai implikasi kesalehan sosial, sehingga salatnya tidak fungsional, yaitu tidak dapat mencegahnya untuk berbuat keji dan jahat terhadap sesama manusia dan ciptaan Allah lainnya, seperti alam dan lingkungannya.

     Makanya, tidak mengherankan kalau ada orang begitu ”kelihatan” saleh secara individual sewaktu di masjid —salatnya begitu khusyuk, berdoa dengan raja‘ wa khawf  (harap dan cemas kepada Allah). Atau sewaktu di Haramayn —Makkah dan Madinah— seluruh rangkaian ibadah haji/ umrahnya begitu dekat sama Allah, doanya disertai cucuran air mata karena menyesal atas dosa-dosanya. Namun, setelah pulang dari salat atau pulang dari haji atau umrah, “Allah” ditinggal dalam masjid atau di Kakbah. Artinya, ia tidak lagi memiliki Tauhid Husuniyyah, yaitu Allah tidak mengawasinya lagi, dan Allah tidak lagi hadir dalam dirinya. Sehingga, matanya menjadi “hijau” kalau melihat uang rakyat. Karena tidak bisa dikorupsi secara langsung —kalau itu dilakukanya secara langsung juga, lalu apa bedanya ia dengan perampok—, kemudian ia rekayasalah sedemikian rupa sehingga uang rakyat itu “sah” menjadi miliknya.

     Seandainya, sekali lagi, ini seandainya orang tersebut tidak “meninggalkan” Allah di dalam masjid atau Kakbah di Makkah, tentu ia selalu merasa diawasi dan Allah senantiasa hadir kapan, dimanapun serta bagaimanapun dalam dirinya. Sehingga, misalnya, kalau  mau menyuap ia akan mengurungkan niatnya karena Allah mengawasinya. Atau kalau akan disuap ia akan menolak karena Allah selalu hadir dalam hidupnya. Kalau mau mengambil kebijakan/keputusan yang merugikan masyarakat, ia mengurungkan niatnya. Sayangnya, ini hanya pengandaian dan kalau hanya terus menjadi mengandaian, maka pencegahan korupsi tinggal angan-angan yang absurd dan utopis.

    Ironisnya lagi, lambat laun, orang semacam ini hatinya tidak lagi memancarkan “cahaya” hatinya tidak lagi “nurani” bersifat cahaya-terang, tetapi sudah “zulmani” bersifat gelap gulita. Dengan begitu,  ia tidak dapat lagi melihat kejahatan yang dilakukannya sebagai kejahatan. Malahan, kejahatan yang dilakukannya sudah dilihatnya seolah-olah menjadi ”baik” dan ”halal”. Termasuk kejahatan uang hasil korupsi yang ia sumbangan ke masjid-masjid baginya “baik-baik” saja; atau uang hasil korupsi yang dipergunkan naik haji dan umrah berulang-ulang kali setiap kali ini diinginkannya, itu pun buat dirinya “halal-halal” saja.

    Padahal, hakikat tujuan ibadah mahdah, terutama salat adalah agar manusia menjadi baik dan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Inna al-shalah tanha ‘an al-fahshai wa al-munkar. (QS al-Ankabut: 45), termasuk tentunya dari kejahatan korupsi. Bahkan bagi orang yang salat sekalipun, tetapi tidak memiliki Tauhid Husuniyyah, justru ia menjadi orang yang celaka. ”Maka celakalah orang yang salat, yaitu orang-orang lalai terhadap salatnya, yang berbuat ria, dan enggan memberikan bantuan”. (QS Al-Ma‘un. 4-7).

    Seseorang yang tidak memililki Tauhid Husuniyyah pada satu sisi boleh saja (kelihatan) khusuk dalam salatnya, tetapi pada sisi lain, rakus korupsi. Meskipun segera harus ditambahkan, bahwa “khusuk dalam salat di sini bukan dalam  makna sebenarnya (hakiki), tetapi dalam makna artifisial, sekadar di permukaan dengan motivasi ingin pamer, riya atau  ingin dilihat orang lain. Sedemikian berbahaya penyakit hati ini bagi keintregralan harkat dan martabat kemanusiaan, sampai-sampai Nabi menyatakan: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu sekalaian ialah syirik kecil, yaitu riya”.

     Begitu pula, seseorang yang tidak mempunyai kesadaran Tauhid Husuniyyah, kalaupun ia berbuat kebaikan, misalnya memberikan derma kepada orang lain, dapat dipastikan tidak ada keikhlasan dalam perbuatannya itu, sebab bukan Allah yang menjadi motivasi dan orientasinya. Ketika akan berderma, misalnya, ia mengundang publik agar semua orang mengenalnya sebagai seorang dermawan. Sifat kedermawannya itu hanya akan muncul pada waktu-waktu tertentu, seperti kalau ada pemilihan legislatif atau momen lain.

     Dalam ajaran Islam, berbuat baik, misalnya berderma/ bersedakah, meskipun tidak akan batal karena disampaikan (diumumkan) kepada orang banyak secara wajar, akan lebih baik apabila dilakukan secara diam-diam. (Al-Baqarah: 271). Untuk itu, seseorang yang beriman, dalam segala amal ibadahnya, ia hanya terdorong untuk meraih rido atau “wajah” Allah. (Al-Baqarah: 272; dan Al-Insan: 9). Konsekwensi logisnya, manusia yang memiliki keyakinan Tauhid Husuniyyah tidak lagi berada pada tataran meminjam term dalam tasawuf  Takhalli, yaitu mengosongkan dirinya dari perbuatan buruk dan  keji (munkar dan fahsha), tetapi sudah berada pada tataran Tahalli, yaitu mengisi dirinya dengan perbuatan baik dan terpuji (Al-ma‘ruf dan Al-khayr). Akhirnya, manusia yang memiliki keyakinan  Tauhid Husuniyyah berada pada tataran Tajalli. Yaitu tersingkapnya tabir rahasia antara dirinya dengan Allah dalam radiyah-mardiyyah.  Wa Allah ‘alam bi al-Sawab.***


Syukron, Anda telah mengunjungi 

PONDOK M2IQ RIAU


Donwload artikel ini