MULTIKULTURAL DALAM PIAGAM MADINAH (Kajian Konsep Islam dalam Pembentukan Masyarakat Madani)

Oleh : Nabila el Chirri

tulisan ini bisa di download dalam file ms.word :
Multikultural Dalam Piagam Madinah.doc

A.  Pendahuluan
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ ...... ﴿١٤٣

Artinya : dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (al-Baqarah(2) : 143)

      Ayat di atas menjelaskan tentang penegasan Allah dalam al-Quran mengenai eksistensi umat Islam yang ummatan wasaton, yaitu umat yang ideal dan  moderat(umat yang adil) (Ahmad bin Hanbal, 1999: 11271) dan menurut Quraisy Syihab (1999: 328) ummat wasathan adalah umat yang tidak memihak ke kiri atau ke kanan sehingga dapat mengantar manusia berprilaku adil dalam keberagaman sosial masyarakat.  Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa umat Islam harus menjadi syuhada’ (bukti) atau saksi umat yang wasatan di tengah-tengah umat islam  atau umat lainnya. Allah juga tidak menjadikan umat yang satu, tetapi sebaliknya Allah menjadikan berbagai macam ragam bentuk budaya, etnis, suku, agama dan bahasa. Walaupun pada dasarnya tiada mustahil bagi Allah menjadikan umat yang satu. Seperti firman Allah :
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ﴿١١٨
Artinya : Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat. (Q.S. Hud(11) : 118)

Konsep pertama dalam surat al-Baqarah di atas pada dasarnya mampu mengakomodir keberagaman manusia, yang diciptakan dari berbagai bentuk suku,budaya,  etnis, agama dan bahasa. Sehingga perlu pemahaman yang matang untuk saling memahami keberagaman tersebut, inilah yang menjadi substansi dari multikultural, sebagai istilah yang digunakan untuk menjelaskan tentang ragam kehidupan dunia atau berbagai macam budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat (lihat, KBBI, 2007: 762).  Contoh besar itu telah dibuktikan oleh sejarah dalam kehidupan Rasul ketika beliau hijrah ke Madinah, yang disebut dengan piagam Madinah. Piagam Madinah menjadi sebuah jawaban dalam keberagaman budaya di Madinah sehingga menjadi ciri khas kota tersebut yang berbanding terbalik dengan kota Mekkah. Terbukti selama 13 tahun berdakwah di Mekkah beliau belum berhasil membentuk komunitas Islam yang bebas dan merdeka , tetapi di Madinah justeru mampu membentuknya bersama komunitas lain seperti kaum Yahudi dan kaum Nasrani, dalam rangka toleransi dan menjaga keharmonisan dalam suatu masyarakat yang madani, yang mana asal kata “madani” itu sendiri berasal dari “Madinah” yang berarti masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan di berbagai bidang baik ekonomi, sosial, politik maupun budaya.
      Namun, untuk menjadikan satu masyarakat madani bukanlah hal yang mudah, contoh kecil Indonesia, yang kita ketahui terdiri dari beragam suku, budaya, etnis dan sistem kepercayaan ini semuanya sudah ada sejak dahulu, hingga lahirlah istilah “ Bhinneka Tunggal Ika” berarti berbeda-beda tapi tetap satu. Namun, keberagaman itu terkadang menjadi muara perpecahan di Indonesia. Lalu, bagaimana Negara ini menyikapinya agar  tercipta masyarakat yang madani  seperti masyarakat kota Madinah?
      Untuk menjawab itu semua maka akan dibahas secara satu persatu, seperti apa yang dimaksud dengan multikultural, kemudian bagaimanakah konsep multikultural dalam piagam Madinah serta bagaimana konsep Islam dalam pembentukan masyarakat madani?  persoalan tersebut akan diurai dalam tulisan berikut.

 B.  Pengertian Multikultural
      Secara etimologi multikultural  berasal dari dua kata yaitu multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau kebudayaan).  Sedangkan secara terminologis, multikultural adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, agama dan politik yang dianut.
      Dari kata multikultural biasanya timbul pula istilah multikulturalisme, yang mendapat imbuhan “isme”  berarti paham.  Menurut Abdullah, multikulturalisme adalah sebuah faham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada, dengan kata lain bahwa penekanan multikulturalisme adalah kesetaraan budaya. Maka, multikulturalisme adalah merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sebuah faham tentang kultur yang beragam, dalam keragaman kultur ini meniscayakan adanya pemahaman, saling pengertian, toleransi dan sejenisnya, agar tercipta sebuah kehidupan  yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan (Ngainun Naim dkk, 2011: 125).
     
C. Rasulullah Merupakan Rahmatan li al-Alamin
       Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw dan umat Islam selama kurang lebih 13 tahun di Mekkah terhitung sejak pengangkatan Muhammad saw sebagai Rasul, belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat islam menjadi satu komunitas yang  bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrah ke Madinah, kota yag sebelumnya disebut Yatsrib (Harun Nasution, 1985: 88),  dinamakan Yatsrib karena seseorang yang membangunnya bernama Yatsrib bin Lauz  bin ‘Amliq bin Sam bin Nuh.  Kemudian diabadikan namanya sebagai nama kota tersebut. Ketika Nabi Muhammad saw  hijrah ke sana beliau menggantikan nama itu menjadi Madinah yang berasal  dari kata  tamaddun, yaitu  peradaban atau sesuatu tatanan yang tolak ukurnya adalah hukum, undang-undang atau kesetaraan. Inilah menjadi pondasi dasar nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya membangun peradaban  kota Madinah yang dikenal  dengan masyarakat madani (civil society). Untuk mengatur tata kehidupan yang berbagai macam ragam tersebut maka dibuatlah piagam Madinah (Ahmad Sukardja, 2012: 2).
       Seperti diketahui , saat hijrah ke Madinah  Rasulullah dihadapkan dengan berbagai macam ragam bentuk masyarakat, masyarakat yang masing-masing golongan bersikap bermusuhan terhadap golongan lain, terdiri dari 4 golongan besar dan masyhur saat itu. Di antaranya  muslim pendatang yaitu kaum muhajirin,  muslim pribumi (anshar)  yaitu ‘auz dan khazraj, umat  yahudi yang terdiri dari Bani Quraizhah, Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan umat Nashrani. Untuk itu, beliau melihat perlu adanya penataan dan pengendalian sosial dalam mengatur hubungan-hubungan antar golongan di bidang sosial,ekonomi, politik dan agama.
       Untuk membangun tatanan sosial dan keagamaan antara muslim dan non muslim di Madinah saat itu, maka Beliau membuat beberapa langkah. Langkah pertama adalah mempersatukan  umat muslim yang ada di Madinah, beberapa langkahnya sebagai berikut :

1. Membangun masjid,  selain sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan sebuah lembaga social kemasyarakatan (Syarif, Ahmad Ibrahim, 1972: 87),  dalam rangka persatuan umat islam dan menjadi tempat untuk pengajaran serta mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kaum muslimin dan penduduk kota Madinah. Kehadiran setiap orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda baik dari suku atau golongan menjadi prinsip pendirian mesjid, sehingga konsep masjid dapat diartikan sebagai symbol ajaran multikulturalisme di dalam islam.

2. Mempersaudarakan antara muhajirin dan anshar, Beliau melakukan hal ini karena menyambung tali silaturahmi akan memberikan keberkahan bagi hamba-Nya. Menurut Imam al-Qurthubi, secara umum kerabat dibagi menjadi dua yaitu kerabat umum dan kerabat khusus, maka persaudaraan antar muhajirin dan anshar ini termasuk persaudaraan umum karena terjalin dari faktor agama (Asy-Syahri, Shalih bin Ali, :57).   Usaha Rasul menyatukan dua golongan yang berbeda itu menimbulkan kesan mendalam, sejarah mencatat dengan tinta emas betapa indah dan tulusnya persaudaraan antara mereka (Yunahar  Ilyas, 2014: 222).  Ini merupakan fakta bahwa persaudaraan tersebut salah satu cara efisien. Misalnya persaudaraan antara Abu Bakar (muhajirin) dengan Kharijat bin Zuhair (anshar), Umar bin khattab (muhajirin) dengan ‘Itban bin Malik al-Khazraj (anshar) dan lain-lain. Hal ini merupakan  manifestasi dari firman Allah SWT :
 إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚوَاتَّقُوا اللَّـهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿١٠
“orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”(Q.S. al-Hujurat(49) : 10)

Jika langkah pertama dan kedua diatas ditujukan khusus kepada konsolidasi umat Islam, maka langkah beliau selanjutnya beliau tujukan kepada seluruh penduduk Madinah yaitu Muhajirin, Anshar, Yahudi dan Nashrani. untuk itulah beliau membuat sebuah perjanjian tertulis atau piagam yang menekankan pada persatuan yang erat  di kalangan kaum muslim dan non muslim, menjamin kebebasan beragama, menekankan kerja sama serta persamaan hak dan kewajiban bagi semua golongan. Hal ini merupakan suatu bukti yang menunjukkan  bahwa Nabi Muhammad merupakan Rasul bagi seluruh alam  atau Rahmatan li al-‘Alamin (Yusuf al-Qaradhawi, 2000: 58), dan juga merupakan bukti bahwa Beliau telah mempraktekkan sistem multikultikulturalisme,karena pada faktanya Beliau mampu membuat  umat  muslim dan non muslim bersatu dalam satu naungan dan masyarakat yang madani dengan dirumuskannya Piagam Madinah.

D.  Piagam Madinah dan Ajaran Multikulturalisme
      Menurut Ibnu Hisyam dalam kitab syarahnya Sirah Nabawiyah, piagam Madinah merupakan suatu   konstitusi yang dibuat oleh Rasulullah dalam membangun peradaban kota Madinah, menurut Imam Ali ra kesahihan piagam madinah berada setelah al-Qur’an, yang terdiri dari 47 pasal yang menjelaskan tentang tatanan masyarakat sosial Madinah.
      Adapun Prinsip-prinsip dalam piagam madinah ini adalah sebagai berikut :
      Pertama, Prinsip persatuan dan persaudaraan antar keberagaman suku serta berlaku adil satu sama lain, yang termaktub dalam piagam tersebut pada pasal 1-10 (Pulungan, J. Suyuthi, 1994: 141-142).  Prinsip ini sesuai dengan firman Allah :
إِنَّ اللَّـهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ﴿٩٠ 
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”(Q.S. al-Nahl(16) : 90)

Kedua, prinsip kebebasan beragama, penetapan prinsip ini merupakan jawaban terhadap situasi sosial penduduk Madinah yang memiliki keragaman komunitas agama dan keyakinan di kota itu (Pulungan, J. Suyuthi, 169). Prinsip ini sesuai dengan pasal ke 25 dalam piagam Madinah, serta bersesuaian dengan firman Allah yang berbunyi :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّـهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗوَاللَّـهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿٢٥٦
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”(Q.S. al-Baqarah(2) : 256)

      Ketiga, Prinsip tolong menolong antara umat muslim dan kaum yahudi, termaktub pada pasal 11-18 (Pulungan, J. Suyuthi, 189). Prinsip ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang berbunyi :
المؤمن للمؤمن كا البنيان يشدّ بعضه بعضا
Orang mukmin bagi orang mukmin lain seperti sebuah bangunan sebagiannya memperkokoh sebagian yang lain (jamius shagir, lihat Bukhari,   No. 2266:315).

      Keempat, Prinsip perdamaian antara muslim dan yahudi pada pasal 45 (Pulungan, J. Suyuthi, 196). Prinsip ini sesuai dengan firman Allah ta’ala :

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah”.

      Kelima,  Prinsip saling menghormati dalam hidup bertetangga hal ini termaktub pada pasal 40-41 dalam piagam. Dan prinsip ini sesuai dengan firman Allah :
وَاعْبُدُوا اللَّـهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا ﴿٣٦
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,”  (QS. Al-Nisa’(3) : 36)

Prinsip-prinsip di atas merupakan rangkuman yang ada dalam piagam Madinah, secara tidak langsung jika diperhatikan piagam tersebut telah mempraktekkan sistem multikulturalisme, yang pada kenyataannya mampu membawa pada kehidupan yang madani.

E. Konsep Islam dalam Pembentukan Masyarakat Madani
      Menurut Nurcholish Madjid masyarakat madani adalah suatu tatanan kemasyarakatan yang mengedepankan toleransi, demokrasi, dan berkeadaban serta menghargai akan adanya kemajemukan.
      Kemudian, jika diamati dan dicermati kehidupan pada masyarakat madani ini , maka didapati beberapa karakter untuk  mampu hidup seimbang baik di dunia maupun akhirat. Dalam hal ini Yusuf al-Qaradhawi mencatat di dalam bukunya al-Khasha'ish al-?Ammah li al-Islam ada tujuh karakteristik  dalam hal tersebut. Ketujuh karakteristik tersebut antara lain; ketuhanan (al-rabbaniyah), kemanusiaan (al-insaniyyah), komprehensifitas (al-syumuliyah), kemoderatan (al-wasathiyah), realitas (al-waqi`iyah), kejelasan (al-wudhuh), dan kohesi antara stabilitas dan fleksibelitas (al-jam’ bayna al-tsabat wa al-murunah).
      Ketujuh karakteristik inilah yang kemudian menjadi pegangan setiap Muslim dari masa ke masa. Dari ketujuh karakteristik tersebut, ada dua karakteristik yang menjadi tolok ukur pembangunan masyarakat madani, yaitu humanisme (al-insaniyyah) dan kemoderatan (al-wasathiyyah). Lima karakteristik lainnya kecuali al-rabbaniyyah sekurangnya mampu dikategorikan ke dalam kategori toleran (al-samahah). Sebab , menurut al-Qaradhawi, al-rabbaniyah merupakan titik klimaks dari masyarakat madani itu sendiri (Yusuf al-Qaradhawi, 2008: 52).
      Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Rasulullah mengajarkan tiga karakteristik keislaman yang menjadi fondasi pembangun masyarakat madani, yaitu masyarakat yang humanis, masyarakat yang moderat, dan masyarakat yang toleran. Yang akan dijelaskan di bawah ini.
     
1. Masyarakat yang Humanis
      Yang dimaksud dengan masyarakat yang humanis di sini adalah bahwa substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah, semuanya sesuai dengan fitrah manusia. Allah berfirman,
 فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّـهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّـهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٣٠
"Maka hadapkalah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah tersebut. Tidak ada perubahan terhadap fitrah Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." (Q.S. al-Rum(30) : 30)

      Karena itu, dalam aktualisasinya, ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah  dengan mudah diterima oleh akal pikiran manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam sejatinya adalah ajaran yang memanusiakan manusia dengan sebenar-benarnya.
      Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa berdasarkan fitrahnya manusia  memiliki kecendrungan untuk melakukan hal-hal yang bersifat baik dan buruk, sebab dalam al-Qur’an juga telah disebutkan bahwa manusia diberi sifat yang baik ( taqwa) maupun buruk (fuujur). Dalam hal ini, lingkungan memberikan pengaruh yang begitu kuat dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Islam, sebagai agama paripurna, diturunkan tiada lain untuk mengarahkan manusia kepada hal yang bersifat membangun dan mendatangkan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam permasalahan ini, manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalannya sendiri tatkala telah dijelaskan, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang terpuji dan mana yang tercela.
      Islam berhasil mengatur hak-hak personal dan hak-hak sosial secara seimbang, sehingga melahirkan nilai-nilai persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan universal
      Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut, manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna. Kesempurnaan itu akan berimplikasi pada kesempurnaan tatanan hidup bermasyarakat jika manusia mengikuti instruksi-instruksi Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat al-Isra’ ayat 23-34 (Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, 2002: 21-22).
     
2. Masyarakat yang Moderat
      Yang dimaksud dengan masyarakat yang moderat adalah keseimbangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Kemoderatan pulalah yang membedakan substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah  dengan ajaran-ajaran lainnya, baik sebelum Rasulullah  diutus maupun sesudahnya. Secara etimologis, kata 'moderat' merupakan terjemahan dari al-wasathiyah yang memiliki sinonim al-tawazun (keseimbangan) dan al-i?tidal (proporsional) (Lihat Munjid, 2005: 900). Dalam hal ini Allah  menjelaskan karakteristik umat Rasulullah sebagai umat yang moderat. Seperti firman allah dalam surat l-baqarah 143 :

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan.”

      Dalam histori kehidupan Rasulullah, hal seperti ini sudah secara sempurna diaplikasikan Rasulullah. Terbukti adanya hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah pernah berkata dalam penggalan doanya, "Ya Allah, perbaikilah agamaku sebab ia adalah penjaga urusanku. Perbaikilah pula duniaku karena di sinilah tempat hidupku. Dan perbaikilah pula akhiratku kerena di sanalah tempat kembaliku", (Lihat Shahih Muslim, 2720).
      Dari kemoderatan inilah konsepsi-konsepsi kemasyarakatan yang asasi diturunkan menjadi konsep yang utuh dalam membangun masyarakat Madinah yang solid dan memegang teguh nilai-nilai dan norma keislaman. Konsep-konsep kemasyarakatan tersebut adalah keamanan, keadilan, konsistensi, kesolidan, superioritas, dan kesentralan (Yusuf al-Qaradhawi, 2008: 119-122). Konsep integral inilah yang kemudian merasuk ke alam bawah sadar setiap masyarakat madinah yang diiringi dengan aktualisasi konsep tersebut secara multidimensi, sehingga lambat laun konsep tersebut menjadi identitas keislaman yang diajarkan Rasulullah di Madinah dan menjadi masyarakat tauladan bagi siapa saja yang datang setelahnya.
     
3. Masyarakat yang Toleran
      Kata toleran merupakan terjemahan dari al-samahah atau al-tasamuh yang merupakan sinonim dari kata al-tasahul atau al-luyunah yang berarti keloggaran, kemudahan, fleksibelitas, dan toleransi itu sendiri (Munjid ). Kata 'toleran' di dalam ajaran Islam memiliki dua pengertian, yaitu yang berkaitan dengan panganut agama Islam sendiri (Muslim), dan berkaitan dengan penganut agama lain (Nonmuslim).
      Jika dikaitkan dengan kaum Muslimin, maka toleran yang dimaksud adalah kelonggaran, kemudahan, dan fleksibelitas ajaran Islam bagi pemeluk-pemeluknya.  Sebab pada hakikatnya, ajaran Islam telah dijadikan mudah untuk dipahami maupun diamalkan. Sehingga Islam sebagai rahmatan li al-alamin benar-benar dimanifestasikan di dalam konteks masyarakat Madinah pada masa Rasulullah.
      Bukti logis bahwa Islam sebagai rahmatan li al-alamin yang baik pada setiap zaman dan tempat, maka substansi ajaran Islam harus benar-benar mudah dipahami dan mudah pula untuk diamalkan. Sehingga di dalam perjalanannya, banyak didapati teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menyinggung masalah tersebut. Allah berfirman,

 "Allah tidak membebani seseorang hamba, melainkan pembebanan tersebut sesuai dengan kesanggupannya." (Q.S. al-Baqarah(2) :286)

"Allah hanya menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran sedikit pun." (Q.S. al-Baqarah(2) : 185)

      Maka tatkala ajaran Islam memiliki konsekuensi supaya sesuai dengan fitrah dan kondisi manusia, Allah pun mengetahui sifat lemah pada diri manusia sehingga Ia mengatakan,

 "Allah hanya menghendaki keringanan untuk kalian, dan manusia telah diciptakan dalam keadaan lemah." (Q.S. al-Nisa’(4) : 28)

      Inilah bentuk kemudahan dan kenyamanan dalam ajaran Islam, dan juga masih banyak teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menjadi bukti bahwa ajaran Islam sangat mencintai kemudahan, kasih sayang, dan kedamaian bagi para pemeluknya, maupun terhadap mereka yang berbeda agama, sebagai upaya mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai dan norma keislaman. Sehingga ajaran Islam yang mengarah kepada kekerasan dan sikap non toleran pun tidak akan didapati sedikit pun, kecuali pada dua hal:
      pertama, ketika berhadapan dengan musuh di dalam peperangan, bahkan Allah memerintahkan untuk bersikap keras, berani, dan pantang mundur (Lihat al-Taubah : 153). Hal tersebut diperintahkan untuk menjaga marwah Islam dan tidak memungkinnya berlemah lembut di hadapan musuh, ini semua demi kemenangan dan kejayaan Islam.
      Kedua, tegas  dalam menegakkan serta melaksanakan konsekuensi hukum syar’i ketika  dilanggar. Sehingga Allah tidak mengenal belas kasihan terhadap orang yang melanggarnya.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّـهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”(an-Nur : 2)
     
     
      Sikap keras dan tegas ini merupakan upaya untuk menghindari penyebab terganggunya konstelasi kehidupan bermasyarakat yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma kemanusiaan.
      Pada realnya, jika kita cermati hukum-hukum Islam seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain, kita akan mendapati kemudahan di sana. Kita juga akan mendapati berbagai indikasi augmentatif yang secara tidak langsung mengukuhkan eksistensi setiap anggota masyarakat sebagai khalifah di muka bumi, baik aspek personal maupun sosial, seperti peningkatan mutu kepribadian seseorang, baik yang berbentuk konkret maupun abstrak atau perintah untuk membangkitkan kepekaan sosial yang dibangun atas dasar persaudaraan dan solidaritas. Karena itu, dalam perjalanan sejarahnya syariat Islam tidak pernah menghambat laju peradaban. Islam justru selalu mendorong umat manusia untuk melakukan inovasi demi kemaslahatan manusia banyak. Islamlah yang senantiasa menyeru umat manusia untuk tekun menuntut ilmu dan melakukan berbagai kegiatan ilmiah guna menunjang eksistensi atau keberlangsungan umat di dunia ini (Lihat 58:11, 6: 50).
      Sedangkan jika kata toleran dikaitkan dengan Nonmuslim, maka yang dimaksud adalah nilai-nilai toleransi yang dipahami oleh khalayak pada umumnya. Dalam hal ini, ajaran Islam sangat menghargai perbedaan keyakinan. Mereka yang berbeda keyakinan akan mendapatkan hak-hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Dengan kata lain, Islam benar-benar menjamin keselamatan dan keamanan jiwa raga mereka, selama mereka mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Darah mereka haram ditumpahkan sebagaimana darah kaum Muslimin. Allah  berfirman,

"Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan ketentuan yang sesuai." (Q.S. al-An’am: 151)

      Rasulullah juga bersabda, "Barang siapa yang membunuh dzimmi (Nonmuslim yang hidup di daerah kaum Muslimin dengan ketentuan yang telah disepakati) tanpa alasan yang jelas, maka Allah mengharamkan baginya masuk surga" ( Raghib al-Sirjany, 2010: 22).
      Umar Abdul Aziz Quraisyi menjelaskan bahwa sikap toleran Islam terhadap penganut agama lain dibangun atas empat dasar:
      pertama, dasar nilai-nilai keluruhan sebagai sesama manusia, meskipun dari beragam agama, etnis, dan kebudayaan
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا ﴿٧٠ 
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”  (al-Isra : 70)

      kedua, dasar pemikiran bahwa perbedaan agama merupakan kehendak Allah semata,
 وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ ﴿٩٩
“dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? “(QS. Yunus : 99 )

       ketiga, dasar pemikiran bahwa kaum Muslim tidak berhak sedikit pun untuk menjustifikasi kecelakaan mereka yang berlainan keyakinan selama di dunia, karena hal itu merupakan hak Allah di akhirat kelak, sedangkan
       keempat, adalah pemikiran bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil dan berakhlak mulia, meskipun terhadap mereka yang berlainan agama.
Beberapa hal di atas merupakan trik-trik Rasulullah dalam membentuk Madinah sebagai kota yang aman serta kota yang dihuni dengan masyarakat yang madani dan bermartabat. Jika kita bandingkan dengan negara-negara yang ada saat ini seperti Indonesia, apakah system yang telah dipraktekkan Rasulullah tersebut  juga dipraktekkan oleh Indonesia? tentu sudah dipraktekkan. Terbukti dari keberagaman suku, agama, bahasa, budaya dan etnis yang ada di Indonesia dapat bersatu di bawah naungan pancasila, sebab isi pancasila sebagai dasar Negara berasal dari syariat islam. Sedangkan, islam di Indonesia saat ini merupakan agama mayoritas, sehingga islam selalu menghargai seluruh perbedaan yang ada baik dari segi agama, ras, suku, budaya dan etnis. Sehingga, Indonesia bisa bersatu dan tidak pecah. Karena pada dasarnya setiap Negara yang didominasi oleh umat muslim tidak akan memerangi umat non muslim. Namun, jika dilihat kembali pada sebuah Negara yang mana Islam merupakan agama minoritas, maka muslim di dalamnya  seperti terpenjara, tidak bebas untuk menjalankan syariat agamanya, seperti kisah seorang pendatang Indonesia yang bekerja di sebuah perusahaan besar di Eropa, menyatakan kekecewaannya karena tidak adanya kebebasan di kantornya untuk melaksanakan ibadah salat jika sudah tiba waktunya, sehingga ia harus mencuri-curi kesempatan dan waktu untuk melaksanakan ibadah tersebut. Ini merupakan satu bukti bahwa muslim minoritas pada umumnya didiskriminasikan, yang pada dasarnya harus menghargai hak satu sama lain baik beragama maupun berbudaya.
      Dari itu, Islam jelas-jelas mampu menghargai hak dan kewajiban satu sama lain, sehingga tidak mengesampingkan makna dari umat yang ideal tersebut serta mampu menjadi contoh bagi umat lain. Inilah konsep multikulturalisme dalam Islam yang mampu menghantarkan umatnya ke gerbang masyarakat madani (civil society).
     
F. Kesimpulan
      Konflik keberagaman yang ada di Indonesia akhir-akhir ini, berpotensi membawa kepada perpecahan Negara berlambang pancasila ini. Tentu harus ada solusi untuk mengembalikan “Bhinneka Tunggal Ika” ini kepada arti kata yang sebenarnya yaitu “berbeda tapi tetap satu jua”. Maka,  jika Negara ini ingin menjadi Negara yang madani, langkah untuk menciptakannya adalah pemerintah bersama masyarakat harus saling bekerja sama dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing, seperti menegakkan kehidupan berdemokrasi dan berlaku adil, adanya persamaan hak dan kewajiban satu sama lain, kebebasan dalam menentukan agama yang dianut serta bermusyawarah demi memajukan Negara.
Jika Negara Pancasila ini ingin seperti Madinah, maka tiada kata mustahil untuk mewujudkannya. Mari  kita tilik kembali kepada ajaran umat Islam dahulu (awal), Dimana mereka tidak mendikotomikan dunia terhadap akhiratnya. Yakni tidak mementingkan dunia di atas akhirat maupun mementingkan akhirat di atas dunia. Mereka bersikap tawassuth dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Kemudian, negara juga harus memiliki masyarakat yang humanis yaitu yang memanusiakan manusia sebenar-benar manusia dan juga berupaya menjadi masyarakat yang toleran yang memberikan kelonggaran, kemudahan, dan fleksibelitas ajaran Islam bagi pemeluk-pemeluknya.  Sebab pada hakikatnya, ajaran Islam telah dijadikan mudah untuk dipahami maupun diamalkan.  Jika sikap yang melekat pada masyarakat madinah mampu dipraktekkan pada negara kita, niscaya kebangkitan Islam akan menunggu waktu saja. Semoga Negara ini mampu menjadi sebuah Negara madani serta mampu diisi dengan masyarakat madani pula. Amin.
Demikianlah akhir dari tulisan ini, penulis berharap semoga ada hikmah-hikmah yang dapat dipetik dan mampu diaktualisasikan dalam kehidupan bernegara khususnya Indonesia. Dan ungkapan akhir penulis jika ada kata-kata yang salah dalam penulisan ini, mohon ampun saya kepada Allah Swt mohon maaf kepada pembaca. Wallahu Muwafiq

1 komentar:

asslamualaikum akh. mohon maaf, makalah tentng radikalisme ada gak yah?

August 16, 2017 at 2:06 PM comment-delete

Post a Comment