Gallery
















2 komentar:

Post a Comment

Melestarikan Tradisi Mengaji


Melestarikan Tradisi Mengaji

Oleh : Susanto Al-Yamin

Susanto Al-Yamin adalah Pimpinan “Pondok” M2IQ Riau.

        Sebelum azan maghrib di kumandangkan, bacaan “terahim" yang berisi untaian do’a dalam bahasa Melayu terlebih dahulu menggema di kampung itu. Para kholifah tarekat Naqsabandiyah membacakannya dengan suara merdu dan irama yang khas. Ketika bacaan “terahim” dilantunkan, para jama’ah segera berhenti dari segala aktifitas duniawi dan bersiap untuk menunaikan panggilan Ilahi. Anak-anak di kampung itu pun mulai berangsur menuju masjid, atau mushala. Anak laki-laki telah mengenakan pakaian ‘takwa” seperti yang diperintahkan al-Qur’an. Anak-anak perempuan pun semakin terlihat anggun dengan busana dan jilbab yang menutup auratnya. Mereka berjalan menuju masjid sambil menyandang kitab suci al-Qur’an dan membawa lampu colok sebagai penerang di kala matahari telah terbenam.
     Ketika adzan maghrib telah berkumandang. Semua anak sudah berwudlu’ dan mulai memenuhi masjid dan mushala. Mereka berbaris rapi di belakang shaf orang dewasa. Anak-anak pun mulai terbiasa melaksanakan shalat berjamaah, khususnya maghrib dan isya. Setelah selasai shalat maghrib, sambil menunggu waktu isya, mereka pun belajar mengaji kepada seorang ustadz. Mereka diajarkan bagaimana cara membaca al-Qur’an dengan baik dan benar, yang dimulai dengan materi pengenalan huruf hijaiyah hingga penyempurnaan bacaan. Tidak hanya itu, mereka juga diajarkan  tentang ajaran-ajaran pokok agama Islam. Sehingga ketika dewasa, mereka sudah terbiasa menjalankan kewajiban rukun Islam, seperti shalat dan puasa. Bahkan mereka siap menjadi imam shalat. Bacaan al-Qur’annya fasih dengan irama khas yang turun temurun.
     Selain di masjid, mereka juga belajar mengaji di rumah bersama orang tua mereka masing-masing. Karena di kampung itu, hampir seluruh orang tua pandai mengaji, dan jika ada yang buta aksara al-Qur’an, maka itu dipandang sebagai aib. Mereka tidak hanya sebatas pandai membaca al-Qur’an, tetapi juga gemar membacanya terutama selepas maghrib setelah melepas lelah dari aktifitas sehari-hari, dan setelah selesai shalat shubuh sebelum memulai aktifitas rutinnya. Singkatnya, lantunan ayat suci al-Qur’an selalu menggema dari setiap rumah di seluruh penjuru kampung itu. Ya, begitulah gambaran suasana religius puluhan tahun yang lalu di salah satu “kampung kecil” di negeri ini.
     Kini, suasana religius sebagaimana digambarkan di atas sudah sangat sulit ditemukan, baik di bumi lancang kuning ini, maupun daerah-daerah lainnya di Negeri ini. Kini, zaman telah berubah. Listrik telah menyala siang dan malam, televisi telah menjadi hiburan dan tontonan wajib, handpone dan warung internet sudah tidak asing lagi bagi para generasi muda Islam. Mereka tidak lagi meninggalkan permainan dan segera menuju masjid, tapi malah menjauh dari masjid dan terpaku di depan televisi dan warung internet. Gairah anak-anak untuk mengaji semakin hilang seiring dengan berkurangnya perhatian orang tua, para ustadz dan pemerintah dalam memelihara tradisi mengaji ini. Maka, wajar jika jumlah buta huruf al-Qur’an semakin bertambah dari tahun ke tahun.
    Inilah di antara kenyataan yang sangat memperihatinkan. Gairah anak-anak mengaji mulai hilang. Akibatnya, kemampuan membaca al-Qur’an dan kebiasaan beribadah pun semakin menurun. Rumah-rumah umat Islam tidak lagi dihiasi dengan lantunan ayat suci al-Qur’an. Anak-anak dan keluarga muslim yang tidak pandai membaca al-Qur’an tidak lagi dipandang sebagai aib. Fenomena ini bukan saja terjadi di lingkungan masyarakat perkotaan, tapi juga telah mewarnai masyarakat pedesaan.
       Kondisi ini harus segera diatasi. Jangan sampai di bumi melayu yang identik dengan ajaran Islam ini jauh dari tradisi mengaji. Tradisi mengaji adalah warisan luhur para ulama dan masyarakat melayu yang harus dipelihara dan dilestarikan. Semua pihak, baik pemerintah, ormas-ormas Islam, para ustadz, maupun orang tua, harus memainkan perannya dalam melestarikan tradisi mengaji ini.
     Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh berbagai kalangan dalam rangka memelihara tradisi mengaji di bumi lancang kuning ini. Pertama, peran serta pemerintah. Dalam hal ini, pada bulan Agustus 2012 lalu, pemerintah provinsi Riau telah mencanangkan gerakan masyarakat maghrib mengaji sebagaimana tertuang dalam Peraturan Gubernur Riau nomor 35 tahun 2012. Gerakan maghrib mengaji ini juga telah dijadikan sebagai salah satu program strategis Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Riau. Himbauan untuk menghidupkan gerakan maghrib mengaji semakin gencar dilakukan, terutama ketika helat akbar Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) berlangsung.
     Upaya-upaya yang dilakukan di atas adalah wujud dari perhatian pemerintah Provinsi Riau untuk memelihara tradisi mengaji. Namun upaya-upaya tersebut tidak akan membuahkan hasil maksimal jika tidak segera disusul dengan langkah konkrit yang tidak terjebak dalam “penjara formalitas”.
     Kedua, ormas-ormas Islam juga harus memainkan perannya dalam menggerakkan masyarakat untuk menghidupkan gerakan maghrib mengaji. Karena, ormas Islam biasanya memiliki pengikut yang banyak dan dekat dengan masyarakat. Nahdlatul Ulama misalnya, yang secara kultural lebih dekat dengan masyarakat desa, dapat memobilisasi kader-kadernya di daerah untuk mengaktifkan kembali kegiatan mengaji selepas maghrib. Apalagi para kader NU hampir bisa dipastikan memiliki kemampuan untuk melakukan hal ini. Begitu juga dengan ormas-ormas Islam lainnya.
     Ketiga, peran para ustadz/da’i. Para da’i adalah pewaris Nabi dalam menyampaikan pesan al-Qur’an. Mereka tidak hanya dituntut untuk berceramah, tetapi juga mengajarkan cara membaca al-Qur’an. Para da’i juga diharapkan berperan aktif dalam melestarikan tradisi mengaji, dengan cara membentuk dan membina kelompok mengaji di lingkungannya masing-masing.
    Keempat, peran serta orang tua. Orang tua harus bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya, serta harus memberikan teladan dalam mengaji al-Qur’an. Orang tua, khususnya ibu adalah orang yang paling dekat dan berpengaruh terhadap perkembangan anak-anaknya. Ibu dalam Islam diposisikan sebagai madrasah al-ula. Ini berarti bahwa ibu adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknnya. Maka, ibu diharapkan menjadi tokoh utama dalam menghidupkan gerakan maghrib mengaji di tengah sebuah keluarga muslim.
     Singkatnya, semua pihak bertanggung jawab dan harus memainkan perannya masing-masing dalam memelihara tradisi mengaji di bumi melayu ini.  Sebab al-Quran adalah pedoman hidup  (way of life) bagi seluruh umat manusia (Q.S. al-Baqarah/2 : 185), dan ‘mengaji’ adalah sebuah tradisi yang berusaha menjaganya untuk tetap melekat di dada generasi muda muslim.
     Mudah-mudahan, dengan usaha semua pihak, tradisi mengaji tetap hidup dan tak pernah hilang di bumi melayu ini. Sehingga setiap rumah umat Islam senantiasa dihiasai dengan bacaan al-Qur’an, dan tingkah laku masyarakatnya senantiasa seiring dan sejalan dengan ajaran al-Qur’an, demi terwujudnya masyarakat agamis sebagaimana yang tertuang dalam visi Riau 2020. Semoga. Wallahu A’lam.

Sumber : Riau Pos, 2013.

Tulisan ini bisa anda download dalam format PDF dan Word, silakan klik tombol download!



0 komentar:

Post a Comment